Pemilikan Lahan dan Ketimpangan
Fadli Zon ; Wakil Ketua DPR
|
KOMPAS, 10
Februari 2016
Diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, 22
Desember 2015, hanya sedikit sekali mendapat tanggapan. Padahal, PP tersebut
bersifat kontraproduktif terhadap agenda reforma agraria yang pernah
disuarakan pemerintah.
Sebelumnya, di luar
soal reforma agraria, dari sisi perundangan ada tiga persoalan terkait isi
PP. Pertama, soal jangka waktu. Pemberian hak pakai untuk orang asing selama
30 tahun, dengan opsi perpanjangan hingga maksimal 80 tahun, jelas
bertentangan dengan PP No 40/1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
dan Hak Pakai. Meski tak spesifik mengatur kepemilikan properti untuk orang
asing, dalam PP No 40/1996 dijelaskan bahwa jangka waktu hak pakai, baik di
atas tanah negara maupun hak milik pribadi, hanya 25 tahun. Begitu juga dalam
UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, hak pakai diberikan maksimal 70 tahun.
Kedua, soal status
kepemilikan. Pasal 3 PP No 103/2015 menyebut bahwa WNI yang melakukan
perkawinan dengan orang asing dapat memiliki hak atas tanah yang sama dengan
WNI lain. Artinya, WNI yang menikah dengan orang asing bisa membeli tanah
dengan status hak milik. Masalahnya, menurut UU No 1/1974 tentang Perkawinan,
jelas tertulis bahwa WNI yang menikah dengan WNA boleh menjadikan harta benda
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta milik bersama. Ini berpotensi
melahirkan persoalan di belakang.
Ketiga, soal kontrol.
PP No 103/2015 tak membatasi bahwa hak pakai itu diberikan hanya atas tanah
negara, sebagaimana yang, misalnya, diatur dalam UU No 5/1960 tentang UU
Pokok-pokok Agraria (UUPA). Konsekuensinya, karena hak pakai untuk orang
asing tak dibatasi hanya untuk tanah negara, melainkan juga atas tanah hak
milik, pemerintah akan kesulitan melakukan kontrol. Sebagaimana yang sudah
terjadi di Bali atau Lombok, PP itu bisa memicu terjadinya peralihan
kepemilikan lahan ke asing lebih masif lagi.
PP tersebut juga tak
dilengkapi pengaturan soal pembatasan zonasi dan harga. Padahal, di
negara-negara lain batas minimal harga properti untuk orang asing diatur
sedemikian rupa. Di beberapa negara tetangga, harga properti untuk orang
asing, misalnya, dipatok minimal Rp 3 miliar-Rp 5 miliar. Tujuan pengaturan
itu jelas, agar hak kepemilikan bagi orang asing tak bertubrukan dengan hak
bagi warga negara, terutama dengan mereka yang berasal dari kalangan menengah
ke bawah. Ini diperparah dengan tidak adanya pengaturan zonasi, yang mengatur
hak kepemilikan itu hanya berlaku untuk kawasan tertentu saja. Kontrol akan
semakin sulit dilakukan.
Namun, di luar soal
perundangan tadi, persoalan paling serius yang tersembunyi di balik diterbitkannya
PP tersebut adalah soal ketimpangan pemilikan lahan yang terus memburuk di
Indonesia, yang berimplikasi pada kian memburuknya ketimpangan ekonomi.
Menurut laporan Bank Dunia (2015), faktor penyebab ketimpangan ekonomi yang
makin melebar di Indonesia saat ini, selain disebabkan oleh korupsi, tidak
meratanya penguasaan aset uang dan properti, serta kesenjangan upah antara
sektor pertanian dan nonpertanian, juga disebabkan oleh ketimpangan
kepemilikan lahan.
Indeks gini kita saat
ini memang mencapai 0,41, yang merupakan indikator ketimpangan ekonomi paling
buruk yang pernah terjadi di Tanah Air. Dan, ketimpangan tersebut sebanding
dengan ketimpangan kepemilikan lahan, yang menurut Sensus Pertanian 2013,
indeksnya mencapai 0,72. Artinya, struktur kepemilikan lahan di Indonesia
sangat timpang sekali.
Konsentrasi kepemilikan
Sensus Pertanian 2013
memang menunjukkan bahwa telah terjadi konsentrasi pemilikan lahan. Pada
2003, rata-rata penguasaan lahan per rumah tangga petani hanya 1,43 hektar. Angka
ini meningkat menjadi 2,65 ha pada 2013. Hanya, di sisi lain penguasaan lahan
nonpertanian oleh rumah tangga petani juga merosot drastis, dari 0,4 ha pada
2003 menjadi 0,07 ha pada 2013. Artinya, telah terjadi konsolidasi pemilikan
lahan di tangan kalangan tertentu. Tak heran jika sensus yang sama juga
menunjukkan jumlah rumah tangga petani terus menurun, dari 31,17 juta pada
2003, menjadi 26,13 juta pada 2013, turun rata-rata 1,75 persen per tahun.
Implikasi langsung
dari terjadinya konsentrasi pemilikan lahan, selain berakibat pada turunnya
jumlah rumah tangga tani, juga bisa dilihat pada tingginya laju konversi
lahan pertanian. Rata-rata konversi lahan sawah di Sumatera, Kepulauan Riau,
dan Bangka Belitung, misalnya, mencapai 17.550 ha per tahun, sedangkan di
Jawa 7.923 ha dan Bali 1.000 ha per tahun. Angka itu tentu saja tidak
menggembirakan, apalagi Jawa berkontribusi terhadap 53 persen produksi pangan
nasional.
Tanah adalah alat
produksi bagi petani, dan terjadinya konsentrasi pemilikan tanah telah
membuat banyak petani kehilangan alat produksinya. Strategi pembangunan
pemerintah yang terlalu fokus pada penarikan investasi asing kian memperburuk
persoalan agraria ini. Jika dibandingkan negara lain, meski sering disebut
negara agraris, sebenarnya ketersediaan lahan pangan per kapita Indonesia
amat sempit, hanya 359 meter persegi untuk sawah (atau 451 meter persegi bila
digabung lahan kering). Angka itu jauh di bawah Vietnam (960), Thailand
(5.226), atau Tiongkok (1.120).
Tak heran, sejak 2007
Indonesia terus mengalami defisit perdagangan pangan. Impor pangan melejit
lebih cepat daripada ekspor sehingga defisitnya terus melebar. Laju
permintaan pangan di Indonesia kini mencapai 4,87 persen per tahun, dan tak
mampu dikejar oleh kemampuan produksi nasional. Salah satu masalah penting
yang memengaruhi tingkat kesejahteraan petani adalah soal kepemilikan lahan.
Sekitar 56 persen penduduk pedesaan buruh tani, atau petani gurem, dengan
kepemilikan tanah rata-rata di bawah 0,5 ha. Struktur agraria semacam itulah
yang telah menyebabkan tingginya angka ketimpangan.
Sebelum ini,
konsentrasi pemilikan lahan terutama memang dipengaruhi UU penanaman modal
kita yang memberi konsesi sangat besar kepada investor, termasuk pemberian
hak guna usaha yang mencapai 95 tahun. Itu sebabnya, tanah-tanah kita kini
banyak terkonsentrasi sebagai lahan perkebunan besar serta konsesi
pertambangan. Fungsi tanah pun semakin jauh dari amanat UUPA, yang menyebut
bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Ketimpangan agraria tadi hanya
bisa diatasi dengan agenda reforma agraria. Sebab, jika dibiarkan,
ketimpangan akan kian memperbesar jurang kemakmuran. Selain kontraproduktif,
penerbitan PP No 103/2015 juga telah membuat agenda reforma agraria kembali
mundur ke belakang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar