Politik Clique di Balik Imlek
Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan panajournal.com
|
KORAN TEMPO, 05
Februari 2016
Tahun baru Cina,
Imlek, adalah konstruksi dua perkara: (1) persilangan sejarah negeri dengan
riwayat pribadi; dan (2) persilangan sejarah itu sendiri dengan mitos.
Sejarah negerinya adalah periode Negara-negara Berperang (475-221 SM) dan
pribadi yang diriwayatkan adalah penyair Qu Yuan (340/339-278 SM), yang
bahkan disebut sebagai dewa puisi. Namun, dalam konteks Imlek, Qu Yuan adalah
politikus, tepatnya politikus jujur, yang dasar riwayatnya disebut
semi-historis dan dengan senang hati dimaknai khalayak Tiongkok lebih jauh
sebagai mitos [Burkhardt, 1967 (1954): 27].
Periode Negara-negara
Berperang semasa Tiongkok Kuno merupakan laboratorium terbaik bagi seni
perang maupun seni politik. Sun Bin, cicit generasi ketiga dari Sun Wu (alias
Sun Ji, penulis Seni Perang yang termasyhur sebagai Sun Tzu), hidup pada masa
ini sebagai ahli strategi kenamaan Kerajaan Qi. Kitab Seni Perang Sun Bin
yang ditulisnya, meski tidak semasyhur buku nenek moyangnya, sebetulnya
adalah penyempurnaan buku Sun Tzu.
Pada masa itu,
Tiongkok terbagi menjadi tujuh kerajaan, yakni Qin, Chu, Qi, Yan, Zhao, Han,
dan Wei. Di antara mereka, Qin adalah yang terkuat, serta Qi dan Chu adalah
yang terkuat kedua dan ketiga. Ketujuh kerajaan ini saling berperang, saling
berebut kota dan wilayah nyaris tanpa henti.
Dalam situasi itu, Qu
Yuan adalah Menteri Kiri atau Menteri Pengawasan pada Kerajaan Chu, yang
berhasil mendapat kepercayaan Raja Huai karena strategi jitu: selama enam
negara bersekutu, Qin tidak akan gegabah menghadapi enam negara sekaligus.
Kepercayaan berlanjut dengan tugas baru, yang merupakan usulan Qu Yuan
sendiri, yakni membuat rancangan undang-undang untuk perubahan politik dalam
negeri.
Para bangsawan dan
pejabat tinggi yang merasa kepentingannya terancam, yang dikepalai Pangeran
Zhi Lan, mengutus Menteri Jin Shang membaca isi rancangan, tetapi Qu Yuan
menolak. Intrik dan clique politik ini diketahui mata-mata Kerajaan Qin, yang
segera melaporkannya. Qin pun melakukan manuver untuk memanfaatkan
perpecahan, dengan mengirim Perdana Menteri Zhang Ji agar mengusulkan
persekutuan Kerajaan Chu dan Kerajaan Qin.
Tokoh pertama yang
didatangi Zhang Ji adalah Qu Yuan, yang langsung menyatakan persekutuan enam
negara tidak akan berubah. Dari sini Zhang Ji menemui Jin Shang, yang
memperkenalkannya kepada Zhi Lan. Menurut Zhi Lan, dasar kepercayaan Raja
Huai kepada Qu Yuan adalah berhasilnya persekutuan enam negara. Hancurnya
persekutuan akan menghancurkan juga kepercayaan itu.
Zhang Ji tentu
menangkapnya sebagai pesan bahwa persekutuan Chu dan Qin hanya mungkin dengan
menyingkirkan Qu Yuan. Zhi Lan lantas mengajak Permaisuri Zheng Xiu masuk ke
dalam clique, yang ternyata segera
memberikan usulan-usulan taktis: Zhang Ji agar memfitnah Qu Yuan menerima
suap di depan raja. Dia sendiri akan menggarap Raja Huai supaya mempercayai
fitnah itu. Kepada mereka, Zhang Ji membagikan barang-barang berharga.
Fitnah ditelan Raja
Huai dan dampaknya fatal: Qu Yuan diasingkan, persekutuan dengan Qin
membubarkan persekutuan enam kerajaan, imbalan tanah hanya 6 li persegi dari
janji 600 li persegi wilayah Shangyu sehingga persekutuan batal, dan ketika
Chu menyerang Qin, justru Qin sudah bersekutu dengan Qi. Kerajaan Chu berada
di ambang kehancuran, tetapi Qu Yuan berhasil membujuk Raja Xuan dari Qi agar
menarik pasukannya.
Namun, clique Zhi Lan,
Zheng Xiu, dan Jin Shang berhasil membuat Raja Huai menugasi Qu Yuan yang
berjasa itu di luar Ying, ibu kota Chu. Untuk seterusnya Qu Yuan menjadi
saksi segala kemunduran Chu maupun persekutuan enam negara: terdesak oleh
Qin, Raja Huai ditawan ketika datang ke Qin untuk berunding, dan mati di Xian
Zhang, ibu kota Qin. Raja Qing Xiang, yang menggantikannya sejak tertawan,
menolak usulan Qu Yuan untuk mempersatukan enam negara melawan Qin.
Setelah Jenderal Bai
Qi membawa pasukan Qin membumihanguskan Ying pada 271 SM, Qu Yuan yang sudah
tua mengembara dan sampai ke tepi Sungai Milo di wilayah Hunan pada 278 SM.
Tepat tanggal 5 bulan 5, ia mengikat dirinya pada batu besar, lalu terjun ke
sungai (Tung & Liu, 1958). Itulah bunuh diri ritual sebagai bentuk protes
melawan jiwa korup pada masanya. Juga merupakan konsekuensi kedukaan terdalam
atas jatuhnya tempat kelahiran maupun penderitaan bangsanya-yang hanya
mungkin terjadi karena clique
politik.
Patriotisme,
begitulah, tidak pernah kekurangan dimensi politik, meski maknanya diangkat
ke tempat yang lebih tinggi, betapa patriotisme bukan tentang orang-orang
dalam keterikatan negeri, melainkan kehendak demokratisnya [Riff, 1995
(1982): 195-6). Imlek boleh ditafsir menggarisbawahi kenyataan bahwa memang
ada clique dalam politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar