Kamis, 11 Februari 2016

Kedaulatan Energi dan Listrik

Kedaulatan Energi dan Listrik

Mudrajad Kuncoro  ;   Guru Besar FEB UGM
                                                     KOMPAS, 11 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah akan memangkas target proyek pembangkit listrik dari 35.000 megawatt menjadi 16.000 MW. Pernyataan Rizal Ramli, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, ini bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo dan Menteri ESDM yang berkukuh tetap akan menjalankan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW.

Kontroversi semacam ini jelas ”tidak menyejukkan”, kontra-produktif, dan memberikan sentimen negatif bagi iklim investasi di Indonesia. Apakah ini cermin dari kebijakan energi yang tidak jelas arah dan targetnya? Ataukah memang kedaulatan energi dan listrik hanya cita-cita?

Dampak pertumbuhan rendah

Perekonomian Indonesia pada triwulan II tahun 2015 tumbuh 4,67 persen (year on year/yoy) yang melambat dibandingkan dengan triwulan II tahun 2014 yang mampu tumbuh 5,03 persen. Pada triwulan I- 2015, ekonomi Indonesia tumbuh 4,72 persen. Pertumbuhan ini didorong oleh semua lapangan usaha, kecuali pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan tertinggi dicapai jasa pendidikan yang tumbuh 12,16 persen, diikuti informasi dan komunikasi (9,56 persen), jasa kesehatan dan kegiatan sosial (8,16 persen), pertanian (6,64 persen), dan industri pengolahan (4,42 persen). Sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi tajam, tumbuh negatif 5,87 persen.

Artinya, melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama akibat sektor pertambangan tumbuh negatif. Ini diperparah pengadaan listrik dan gas yang tumbuh rendah hanya 0,5 persen. Anjloknya nilai rupiah, menurunnya semua harga komoditas tambang, dan tingginya komponen impor bahan baku dan penolong merupakan akar masalah buruknya kinerja pertumbuhan di kedua sektor ini.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjelaskan bahwa arah paket kebijakan ESDM adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menjamin kepastian hukum, memudahkan investasi, menggerakkan sektor riil, dan memperkuat industri hilir. Menteri ESDM juga mengeluarkan tiga peraturan menteri terkait pendelegasian wewenang pemberian izin di bidang ketenagalistrikan (Permen ESDM Nomor 35 Tahun 2014), bidang migas (Permen ESDM Nomor 23/2015), dan bidang minerba (Permen ESDM Nomor 25/2015) ke pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kementerian ESDM memangkas perizinan sampai 60 persen dalam 6 bulan. Apabila tahun 2014 ESDM memegang 218 perizinan, sejak awal 2015 menyusut menjadi 89 perizinan di mana 63 di antaranya telah didelegasikan ke PTSP di BKPM.

Langkah positif tersebut agaknya belum cukup. Masalah mendasar energi adalah posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data Dewan Energi Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada 2014. Peringkat itu melorot tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada 2010, Indonesia berada di peringkat ke-29 dan pada 2011 turun ke peringkat ke-47. Indonesia akan terus menjadi net importir minyak jika tidak berupaya mendapatkan cadangan minyak baru. Dengan 60 persen kebutuhan BBM nasional masih impor dan semakin besar jumlahnya, maka akan semakin besar ketergantungan Indonesia terhadap harga BBM dunia.

Khusus gas, masalah utamanya terjadi kenaikan permintaan gas yang melebihi pasokan. Hingga 2012, ekspor memang lebih banyak daripada kebutuhan domestik. Namun, dengan tren permintaan gas domestik lebih dari 6 persen per tahun, sejak 2013, konsumsi domestik melebihi ekspor. Tahun 2014, defisit gas mencapai 1,773 mmscf per hari. Sektor industri, pupuk, dan listrik mulai berteriak kekurangan pasokan gas di hampir semua provinsi. Sungguh ironis ketika PT Pupuk Kaltim mengeluh kekurangan gas, padahal LNG Badak berada di kota yang sama. Rakyat Madura kekurangan gas ketika tambang gas ada di pulau tersebut.

Pemerintah Jokowi-Kalla menyadari urgensi masalah energi ini. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan masuk prioritas ke-7 Nawacita, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedaulatan energi merupakan sasaran sektor ESDM dengan target pendapatan pemerintah Rp 1.994 triliun. Total investasi dan pendanaan pada sektor energi dan sumber daya mineral tahun 2015-2019 ditargetkan sebesar 273 miliar dollar AS, dengan pendanaan APBN pada Kementerian ESDM Rp 71,5 triliun.

Prioritas kebijakan

Tidak mudah mewujudkan Nawacita ke-7 ini. Kedaulatan energi adalah kemampuan bangsa menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaan, dan memastikan jaminan ketersediaan energi dengan harga yang terjangkau dan mudah diakses oleh pengguna, baik rumah tangga, industri, maupun kementerian/lembaga/pemda. Untuk itu, diperlukan prioritas kebijakan energi dan ketenagalistrikan berikut ini.

Pertama, realisasi produksi minyak bumi tahun 2009 sampai 2015 selalu lebih rendah daripada target APBN-P. Akibatnya, makin lama impor minyak, makin tinggi dan kita menjadi net importer oil. Permasalahan yang menyebabkan target produksi minyak dan gas bumi tidak tercapai perlu dicari solusinya. Kenyataannya, makin sulit mencari minyak dan gas di wilayah daratan, laut dangkal, dan Indonesia barat dengan biaya rendah.

Insentif berupa pengurangan, apalagi penghapusan Pajak Pertambahan Nilai, untuk eksplorasi ladang migas baru perlu diterapkan. Insentif fiskal bagi mobil, bus, truk, sepeda motor hybrid dan listrik saatnya dicoba. Di Inggris dan Eropa, tarif pajak untuk moda transportasi berbasis listrik dan hybrid dikenai tarif pajak yang jauh lebih murah daripada BBM.

Kedua, pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik harus diutamakan. Ini perlu karena tanpa domestic obligation yang pasti, industri dan rakyat akan terus kekurangan gas. Defisit gas dialami oleh sejumlah provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Maluku.

Potensi cadangan gas yang akan dikembangkan letaknya jauh dari pusat konsumen/industri dan kebanyakan di laut dalam yang lokasinya kebanyakan di kawasan timur Indonesia. Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat: (1) pembangunan floating storage regasification unit (FSRU), atau terminal LNG yang berada di lepas pantai untuk mengatasi sulitnya pembebasan lahan di daratan; (2) pembangunan pipa gas dengan total panjang sekitar 6.362 km; (3) pembangunan SPBG sebanyak 118 unit; (4) kontrak jangka panjang batubara sebagai energi primer PLTU, dan memberi insentif bagi industri batubara yang melambat akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, India, dan negara mitra dagang utama.

Ketiga, deregulasi dan debirokratisasi perlu terus dilanjutkan agar investasi di sektor energi dan listrik bergairah di tengah pelambatan ekonomi dunia dan nasional. Birokrasi di industri migas pasca UU Migas baru di mana adanya perluasan wewenang Direktorat Jenderal Migas dan dibentuknya SKK Migas memunculkan berbagai birokrasi tambahan. Langkah Menteri ESDM memangkas perizinan dan mendelegasikan izin ke PTSP di BKPM perlu diapresiasi dan dilanjutkan agar menurunkan tingginya ”biaya birokrasi”.

Keempat, sektor kelistrikan pemerintah harus terus mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan serta mendorong pembangkit listrik berbasis gas, bukan diesel. Untuk itu, dibutuhkan insentif bagi pembangkit listrik yang berbasis gas, surya, angin, air, dan lain-lain. Dengan memberikan kelonggaran regulasi, insentif fiskal, dan moneter untuk mempercepat kenaikan rasio elektrifikasi khususnya di Kawasan Timur Indonesia (Katimin) dan daerah/desa tertinggal. Hingga kini, FSRU baru segelintir dan terpusat di Lampung dan Jawa Barat. Dengan konsentrasi penduduk dan industri di Jawa dan Sumatera, perluasan jalur pipa gas hingga ke pelosok desa mutlak diperlukan. Untuk Katimin, dibutuhkan lebih banyak FSRU dengan jaringan LNG mengambang berbasis tol laut.

Kelima, perlunya sinergi kebijakan energi dengan kebijakan industri dan BUMN. PGN, Pertamina, Pelindo, dan PLN perlu menyusun road map bersama agar tidak memperebutkan ”kue” di hulu dan hilir sektor energi, listrik, dan distribusinya. Strategi coopetition—yaitu mengawinkan strategi bekerja sama dan sekaligus bersaing di industri hulu dan hilir energi, amat relevan untuk perusahaan pelat merah agar menomorsatukan kepentingan nasional. Alternatifnya, barang kali perlu dijajaki merger antara BUMN di bidang energi, khususnya PGN dan Pertamina, ataupun Pelindo dan PLN mengingat kesamaan bisnis yang digeluti dan sinergi yang bisa ditingkatkan apabila perusahaan pelat merah itu ”dikawinkan”.

Percepatan pembangkit listrik 35.000 MW perlu dilakukan dengan program aksi yang jelas. Sudah tidak saatnya berwacana, mulailah bekerja. Semoga kedaulatan energi dan listrik tidak hanya cita-cita, tetapi menjadi realitas. Rakyat menunggu bukti, bukan janji dan wacana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar