Kedaulatan Energi dan Listrik
Mudrajad Kuncoro ; Guru Besar FEB UGM
|
KOMPAS, 11
Februari 2016
Pemerintah akan
memangkas target proyek pembangkit listrik dari 35.000 megawatt menjadi
16.000 MW. Pernyataan Rizal Ramli, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan
Sumber Daya, ini bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo dan
Menteri ESDM yang berkukuh tetap akan menjalankan program pembangunan
pembangkit listrik 35.000 MW.
Kontroversi semacam
ini jelas ”tidak menyejukkan”, kontra-produktif, dan memberikan sentimen
negatif bagi iklim investasi di Indonesia. Apakah ini cermin dari kebijakan
energi yang tidak jelas arah dan targetnya? Ataukah memang kedaulatan energi
dan listrik hanya cita-cita?
Dampak pertumbuhan rendah
Perekonomian Indonesia
pada triwulan II tahun 2015 tumbuh 4,67 persen (year on year/yoy) yang
melambat dibandingkan dengan triwulan II tahun 2014 yang mampu tumbuh 5,03
persen. Pada triwulan I- 2015, ekonomi Indonesia tumbuh 4,72 persen.
Pertumbuhan ini didorong oleh semua lapangan usaha, kecuali pertambangan dan
penggalian. Pertumbuhan tertinggi dicapai jasa pendidikan yang tumbuh 12,16
persen, diikuti informasi dan komunikasi (9,56 persen), jasa kesehatan dan
kegiatan sosial (8,16 persen), pertanian (6,64 persen), dan industri
pengolahan (4,42 persen). Sektor pertambangan dan penggalian mengalami
kontraksi tajam, tumbuh negatif 5,87 persen.
Artinya, melambatnya
pertumbuhan ekonomi terutama akibat sektor pertambangan tumbuh negatif. Ini
diperparah pengadaan listrik dan gas yang tumbuh rendah hanya 0,5 persen.
Anjloknya nilai rupiah, menurunnya semua harga komoditas tambang, dan
tingginya komponen impor bahan baku dan penolong merupakan akar masalah
buruknya kinerja pertumbuhan di kedua sektor ini.
Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjelaskan bahwa arah paket
kebijakan ESDM adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menjamin kepastian
hukum, memudahkan investasi, menggerakkan sektor riil, dan memperkuat
industri hilir. Menteri ESDM juga mengeluarkan tiga peraturan menteri terkait
pendelegasian wewenang pemberian izin di bidang ketenagalistrikan (Permen
ESDM Nomor 35 Tahun 2014), bidang migas (Permen ESDM Nomor 23/2015), dan
bidang minerba (Permen ESDM Nomor 25/2015) ke pelayanan terpadu satu pintu
(PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kementerian ESDM memangkas
perizinan sampai 60 persen dalam 6 bulan. Apabila tahun 2014 ESDM memegang
218 perizinan, sejak awal 2015 menyusut menjadi 89 perizinan di mana 63 di
antaranya telah didelegasikan ke PTSP di BKPM.
Langkah positif
tersebut agaknya belum cukup. Masalah mendasar energi adalah posisi ketahanan
energi Indonesia semakin merosot beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data
Dewan Energi Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada
2014. Peringkat itu melorot tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada
2010, Indonesia berada di peringkat ke-29 dan pada 2011 turun ke peringkat
ke-47. Indonesia akan terus menjadi net importir minyak jika tidak berupaya
mendapatkan cadangan minyak baru. Dengan 60 persen kebutuhan BBM nasional
masih impor dan semakin besar jumlahnya, maka akan semakin besar
ketergantungan Indonesia terhadap harga BBM dunia.
Khusus gas, masalah
utamanya terjadi kenaikan permintaan gas yang melebihi pasokan. Hingga 2012,
ekspor memang lebih banyak daripada kebutuhan domestik. Namun, dengan tren
permintaan gas domestik lebih dari 6 persen per tahun, sejak 2013, konsumsi
domestik melebihi ekspor. Tahun 2014, defisit gas mencapai 1,773 mmscf per hari.
Sektor industri, pupuk, dan listrik mulai berteriak kekurangan pasokan gas di
hampir semua provinsi. Sungguh ironis ketika PT Pupuk Kaltim mengeluh
kekurangan gas, padahal LNG Badak berada di kota yang sama. Rakyat Madura
kekurangan gas ketika tambang gas ada di pulau tersebut.
Pemerintah
Jokowi-Kalla menyadari urgensi masalah energi ini. Dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2015-2019, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan
masuk prioritas ke-7 Nawacita, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan
menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedaulatan energi
merupakan sasaran sektor ESDM dengan target pendapatan pemerintah Rp 1.994
triliun. Total investasi dan pendanaan pada sektor energi dan sumber daya
mineral tahun 2015-2019 ditargetkan sebesar 273 miliar dollar AS, dengan
pendanaan APBN pada Kementerian ESDM Rp 71,5 triliun.
Prioritas kebijakan
Tidak mudah mewujudkan
Nawacita ke-7 ini. Kedaulatan energi adalah kemampuan bangsa menetapkan
kebijakan, mengawasi pelaksanaan, dan memastikan jaminan ketersediaan energi
dengan harga yang terjangkau dan mudah diakses oleh pengguna, baik rumah
tangga, industri, maupun kementerian/lembaga/pemda. Untuk itu, diperlukan
prioritas kebijakan energi dan ketenagalistrikan berikut ini.
Pertama, realisasi
produksi minyak bumi tahun 2009 sampai 2015 selalu lebih rendah daripada
target APBN-P. Akibatnya, makin lama impor minyak, makin tinggi dan kita
menjadi net importer oil. Permasalahan yang menyebabkan target produksi
minyak dan gas bumi tidak tercapai perlu dicari solusinya. Kenyataannya,
makin sulit mencari minyak dan gas di wilayah daratan, laut dangkal, dan
Indonesia barat dengan biaya rendah.
Insentif berupa
pengurangan, apalagi penghapusan Pajak Pertambahan Nilai, untuk eksplorasi ladang
migas baru perlu diterapkan. Insentif fiskal bagi mobil, bus, truk, sepeda
motor hybrid dan listrik saatnya dicoba. Di Inggris dan Eropa, tarif pajak
untuk moda transportasi berbasis listrik dan hybrid dikenai tarif pajak yang
jauh lebih murah daripada BBM.
Kedua, pemanfaatan gas
bumi untuk kebutuhan domestik harus diutamakan. Ini perlu karena tanpa
domestic obligation yang pasti, industri dan rakyat akan terus kekurangan
gas. Defisit gas dialami oleh sejumlah provinsi di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, NTB, dan Maluku.
Potensi cadangan gas
yang akan dikembangkan letaknya jauh dari pusat konsumen/industri dan
kebanyakan di laut dalam yang lokasinya kebanyakan di kawasan timur
Indonesia. Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat: (1) pembangunan floating
storage regasification unit (FSRU), atau terminal LNG yang berada di lepas
pantai untuk mengatasi sulitnya pembebasan lahan di daratan; (2) pembangunan
pipa gas dengan total panjang sekitar 6.362 km; (3) pembangunan SPBG sebanyak
118 unit; (4) kontrak jangka panjang batubara sebagai energi primer PLTU, dan
memberi insentif bagi industri batubara yang melambat akibat melambatnya
pertumbuhan ekonomi Tiongkok, India, dan negara mitra dagang utama.
Ketiga, deregulasi dan
debirokratisasi perlu terus dilanjutkan agar investasi di sektor energi dan
listrik bergairah di tengah pelambatan ekonomi dunia dan nasional. Birokrasi
di industri migas pasca UU Migas baru di mana adanya perluasan wewenang
Direktorat Jenderal Migas dan dibentuknya SKK Migas memunculkan berbagai
birokrasi tambahan. Langkah Menteri ESDM memangkas perizinan dan
mendelegasikan izin ke PTSP di BKPM perlu diapresiasi dan dilanjutkan agar
menurunkan tingginya ”biaya birokrasi”.
Keempat, sektor
kelistrikan pemerintah harus terus mendorong pengembangan energi baru dan
terbarukan serta mendorong pembangkit listrik berbasis gas, bukan diesel.
Untuk itu, dibutuhkan insentif bagi pembangkit listrik yang berbasis gas,
surya, angin, air, dan lain-lain. Dengan memberikan kelonggaran regulasi,
insentif fiskal, dan moneter untuk mempercepat kenaikan rasio elektrifikasi
khususnya di Kawasan Timur Indonesia (Katimin) dan daerah/desa tertinggal.
Hingga kini, FSRU baru segelintir dan terpusat di Lampung dan Jawa Barat.
Dengan konsentrasi penduduk dan industri di Jawa dan Sumatera, perluasan
jalur pipa gas hingga ke pelosok desa mutlak diperlukan. Untuk Katimin,
dibutuhkan lebih banyak FSRU dengan jaringan LNG mengambang berbasis tol
laut.
Kelima, perlunya
sinergi kebijakan energi dengan kebijakan industri dan BUMN. PGN, Pertamina,
Pelindo, dan PLN perlu menyusun road
map bersama agar tidak memperebutkan ”kue” di hulu dan hilir sektor
energi, listrik, dan distribusinya. Strategi coopetition—yaitu mengawinkan strategi bekerja sama dan sekaligus
bersaing di industri hulu dan hilir energi, amat relevan untuk perusahaan
pelat merah agar menomorsatukan kepentingan nasional. Alternatifnya, barang
kali perlu dijajaki merger antara BUMN di bidang energi, khususnya PGN dan
Pertamina, ataupun Pelindo dan PLN mengingat kesamaan bisnis yang digeluti
dan sinergi yang bisa ditingkatkan apabila perusahaan pelat merah itu
”dikawinkan”.
Percepatan pembangkit
listrik 35.000 MW perlu dilakukan dengan program aksi yang jelas. Sudah tidak
saatnya berwacana, mulailah bekerja. Semoga kedaulatan energi dan listrik
tidak hanya cita-cita, tetapi menjadi realitas. Rakyat menunggu bukti, bukan
janji dan wacana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar