Revisi UU (Pelemahan) KPK
Emerson Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption
Watch
|
JAWA POS, 09
Februari 2016
PADA era reformasi, harus diakui bahwa Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi
di Indonesia. Komisi itu telah berhasil menjerat ratusan aktor korupsi yang
berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan swasta.
Juga, menyelamatkan uang negara hingga
triliunan rupiah. Namun di balik kinerja KPK yang luar biasa, masih saja ada
pihak-pihak yang berharap sebaliknya, yang ingin KPK dilemahkan, bahkan
dibubarkan.
Ironisnya, upaya pelemahan KPK saat ini muncul
dari sejumlah partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pelemahan KPK
kini datang melalui mekanisme yang sah, yaitu proses legislatif dengan cara
melakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (revisi UU KPK).
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch
(ICW), usaha sejumlah partai politik di DPR untuk mengusulkan dan membahas
revisi UU KPK sudah dimulai lima tahun lalu. Proses legislasi revisi UU KPK
adalah yang paling aktif sejak lima tahun terakhir karena berkali-kali
diusulkan, kemudian dibatalkan setelah mendapat penolakan dari publik.
Meski banyak penolakan, tampaknya tidak
sedikit pula yang tetap nekat membahas dan mengesahkan revisi UU KPK tahun
ini. Sedikitnya ada 45 anggota DPR dari 6 fraksi yang menjadi pengusul revisi
UU KPK. Pada Senin, 1 Februari 2016, revisi UU KPK mulai kembali dibahas
dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi DPR.
Secara logika akal sehat, merevisi sebuah
regulasi adalah upaya memperkuat atau memperbaiki regulasi sebelumnya. Namun,
berbeda dengan rencana revisi UU KPK yang disiapkan DPR. Secara substansi,
rancangan revisi UU KPK yang diusulkan DPR awal Februari lalu jika kembali dicermati
justru bermaksud melemahkan institusi KPK.
Pertama, pembentukan Dewan Pengawas KPK. Dewan
pengawas bertugas melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala satu
kali dalam satu tahun. Selain itu, berdasar naskah revisi UU KPK 2016, dewan
pengawas memiliki otoritas penting dalam pemberian izin penyadapan dan
penyitaan yang dilakukan penyidik KPK.
Persoalan terbesar dalam ketentuan dewan
pengawas terkait dengan mekanisme pengangkatan dan pemilihan anggota dewan
pengawas oleh presiden. Dengan kedudukan dewan pengawas yang demikian,
tindakan mengevaluasi kinerja pimpinan KPK berpotensi sebagai bentuk
intervensi eksekutif. Padahal, pada KPK, melekat sifat mandiri dan
independen. Fungsi tersebut seolah merekonstruksi ulang posisi dewan pengawas
yang berada setingkat di atas pimpinan KPK.
Kedua, revisi UU KPK terbaru juga
mengakibatkan KPK kehilangan kemandirian dalam melakukan rekrutmen penyelidik
dan penyidik. Dalam revisi UU KPK, disebutkan penyelidik KPK merupakan
penyelidik yang diperbantukan dari kepolisian. Sedangkan pasal lain
menyebutkan bahwa penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari
kepolisian, kejaksaan, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dua ketentuan
tersebut berdampak pada tertutupnya peluang KPK untuk merekrut secara mandiri
penyelidik dan penyidik di luar tiga unsur tersebut.
Ketiga, prosedur pemeriksaan tersangka oleh
KPK akan terhambat di persoalan perizinan. Selama ini, KPK memiliki prosedur
khusus pemeriksaan tersangka. Misalnya, tidak memerlukan izin untuk memeriksa
pejabat tertentu seperti kepala daerah, menteri, maupun pejabat lain.
Namun, revisi UU KPK secara tersirat
mengharuskan prosedur khusus pemeriksaan tersangka mengacu pada hukum acara
yang berlaku, yang menjadikan pemeriksaan berlarut-larut karena harus mendapatkan
izin dari pejabat yang berwenang.
Keempat, KPK dapat menghentikan penyidikan dan
penuntutan perkara korupsi. Padahal, salah satu keistimewaan KPK saat ini
adalah tidak adanya mekanisme penerbitan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3) dan penuntutan (pasal 40 UU KPK).
Hal itu adalah salah satu parameter yang
menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat
matang di tingkat penyelidikan. Juga, sudah dibuktikan melalui pembuktian
bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 persen conviction
rate).
Sejumlah persolan tersebut setidaknya dapat
menjawab bahwa revisi UU KPK yang saat ini bergulir di DPR lebih mendorong
upaya pelemahan daripada memperkuat institusi KPK.
Selain substansi, banyak pihak juga meragukan
semangat di balik revisi UU KPK. Patut diduga, revisi itu menjadi agenda dari
sejumlah elite partai politik maupun pihak-pihak yang tidak suka terhadap
eksistensi KPK memberantas korupsi.
Dalam catatan ICW, setidaknya ada 86 politikus
dari sejumlah partai politik yang telah dijerat oleh KPK. Muncul pula
kecurigaan bahwa usulan revisi UU KPK merupakan titipan pihak-pihak yang
selama ini terganggu dengan kinerja KPK.
Sejumlah persoalan yang menyangkut proses
rekrutmen penyelidik dan penyidik serta kebutuhan dewan pengawas sesungguhnya
dapat diselesaikan tak dengan melakukan revisi UU KPK. Misalnya perbaikan
standard operating procedure (SOP) penanganan perkara atau revisi peraturan
pemerintah tentang sumber daya manusia di KPK.
Rencana revisi UU KPK, bagaimanapun, harus
dibatalkan karena semangat para pembuatnya jauh dari aspirasi rakyat dan
ingin KPK dilemahkan. Dari substansi dan semangatnya, DPR terlihat tidak
sedang menyiapkan penguatan KPK, melainkan lebih berfokus pada penyiapan
regulasi atau revisi UU ”Pelemahan” KPK.
Janji-janji antikorupsi yang disampaikan
partai politik selama kampanye pada Pemilihan Umum 2014 sebaiknya diwujudkan
dengan membatalkan rencana pembahasan revisi UU KPK di DPR. Selain itu,
pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, wajib menolak pembahasan revisi
UU KPK bersama DPR.
Langkah penolakan revisi UU KPK itu sesuai
dengan agenda Nawacita, khususnya memperkuat KPK. Negara ini masih
membutuhkan KPK yang kuat agar korupsi bisa dikurangi dan rakyat menjadi
lebih sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar