Jumat, 12 Februari 2016

Revisi UU (Pelemahan) KPK

Revisi UU (Pelemahan) KPK

Emerson Yuntho  ;   Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
                                                   JAWA POS, 09 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PADA era reformasi, harus diakui bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia. Komisi itu telah berhasil menjerat ratusan aktor korupsi yang berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan swasta.

Juga, menyelamatkan uang negara hingga triliunan rupiah. Namun di balik kinerja KPK yang luar biasa, masih saja ada pihak-pihak yang berharap sebaliknya, yang ingin KPK dilemahkan, bahkan dibubarkan.
Ironisnya, upaya pelemahan KPK saat ini muncul dari sejumlah partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pelemahan KPK kini datang melalui mekanisme yang sah, yaitu proses legislatif dengan cara melakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 (revisi UU KPK).

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), usaha sejumlah partai politik di DPR untuk mengusulkan dan membahas revisi UU KPK sudah dimulai lima tahun lalu. Proses legislasi revisi UU KPK adalah yang paling aktif sejak lima tahun terakhir karena berkali-kali diusulkan, kemudian dibatalkan setelah mendapat penolakan dari publik.

Meski banyak penolakan, tampaknya tidak sedikit pula yang tetap nekat membahas dan mengesahkan revisi UU KPK tahun ini. Sedikitnya ada 45 anggota DPR dari 6 fraksi yang menjadi pengusul revisi UU KPK. Pada Senin, 1 Februari 2016, revisi UU KPK mulai kembali dibahas dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi DPR.

Secara logika akal sehat, merevisi sebuah regulasi adalah upaya memperkuat atau memperbaiki regulasi sebelumnya. Namun, berbeda dengan rencana revisi UU KPK yang disiapkan DPR. Secara substansi, rancangan revisi UU KPK yang diusulkan DPR awal Februari lalu jika kembali dicermati justru bermaksud melemahkan institusi KPK.

Pertama, pembentukan Dewan Pengawas KPK. Dewan pengawas bertugas melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala satu kali dalam satu tahun. Selain itu, berdasar naskah revisi UU KPK 2016, dewan pengawas memiliki otoritas penting dalam pemberian izin penyadapan dan penyitaan yang dilakukan penyidik KPK.

Persoalan terbesar dalam ketentuan dewan pengawas terkait dengan mekanisme pengangkatan dan pemilihan anggota dewan pengawas oleh presiden. Dengan kedudukan dewan pengawas yang demikian, tindakan mengevaluasi kinerja pimpinan KPK berpotensi sebagai bentuk intervensi eksekutif. Padahal, pada KPK, melekat sifat mandiri dan independen. Fungsi tersebut seolah merekonstruksi ulang posisi dewan pengawas yang berada setingkat di atas pimpinan KPK.

Kedua, revisi UU KPK terbaru juga mengakibatkan KPK kehilangan kemandirian dalam melakukan rekrutmen penyelidik dan penyidik. Dalam revisi UU KPK, disebutkan penyelidik KPK merupakan penyelidik yang diperbantukan dari kepolisian. Sedangkan pasal lain menyebutkan bahwa penyidik KPK merupakan penyidik yang diperbantukan dari kepolisian, kejaksaan, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Dua ketentuan tersebut berdampak pada tertutupnya peluang KPK untuk merekrut secara mandiri penyelidik dan penyidik di luar tiga unsur tersebut.

Ketiga, prosedur pemeriksaan tersangka oleh KPK akan terhambat di persoalan perizinan. Selama ini, KPK memiliki prosedur khusus pemeriksaan tersangka. Misalnya, tidak memerlukan izin untuk memeriksa pejabat tertentu seperti kepala daerah, menteri, maupun pejabat lain.

Namun, revisi UU KPK secara tersirat mengharuskan prosedur khusus pemeriksaan tersangka mengacu pada hukum acara yang berlaku, yang menjadikan pemeriksaan berlarut-larut karena harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang.

Keempat, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Padahal, salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan penuntutan (pasal 40 UU KPK).

Hal itu adalah salah satu parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat matang di tingkat penyelidikan. Juga, sudah dibuktikan melalui pembuktian bersalah di pengadilan yang mencapai angka sempurna (100 persen conviction rate).
Sejumlah persolan tersebut setidaknya dapat menjawab bahwa revisi UU KPK yang saat ini bergulir di DPR lebih mendorong upaya pelemahan daripada memperkuat institusi KPK.

Selain substansi, banyak pihak juga meragukan semangat di balik revisi UU KPK. Patut diduga, revisi itu menjadi agenda dari sejumlah elite partai politik maupun pihak-pihak yang tidak suka terhadap eksistensi KPK memberantas korupsi.

Dalam catatan ICW, setidaknya ada 86 politikus dari sejumlah partai politik yang telah dijerat oleh KPK. Muncul pula kecurigaan bahwa usulan revisi UU KPK merupakan titipan pihak-pihak yang selama ini terganggu dengan kinerja KPK.

Sejumlah persoalan yang menyangkut proses rekrutmen penyelidik dan penyidik serta kebutuhan dewan pengawas sesungguhnya dapat diselesaikan tak dengan melakukan revisi UU KPK. Misalnya perbaikan standard operating procedure (SOP) penanganan perkara atau revisi peraturan pemerintah tentang sumber daya manusia di KPK.

Rencana revisi UU KPK, bagaimanapun, harus dibatalkan karena semangat para pembuatnya jauh dari aspirasi rakyat dan ingin KPK dilemahkan. Dari substansi dan semangatnya, DPR terlihat tidak sedang menyiapkan penguatan KPK, melainkan lebih berfokus pada penyiapan regulasi atau revisi UU ”Pelemahan” KPK.

Janji-janji antikorupsi yang disampaikan partai politik selama kampanye pada Pemilihan Umum 2014 sebaiknya diwujudkan dengan membatalkan rencana pembahasan revisi UU KPK di DPR. Selain itu, pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, wajib menolak pembahasan revisi UU KPK bersama DPR.

Langkah penolakan revisi UU KPK itu sesuai dengan agenda Nawacita, khususnya memperkuat KPK. Negara ini masih membutuhkan KPK yang kuat agar korupsi bisa dikurangi dan rakyat menjadi lebih sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar