Hargai Manusia, Bukan Agama!
Samsudin Berlian ; Mantan Wartawan; Pengamat Bahasa
|
SATU HARAPAN, 08
Februari 2016
“Hargailah pendapat orang lain”, demikian nasihat
buruk yang dilantunkan kian kemari oleh para pegiat kerukunan sebagai kunci
nada menuju dan atau memelihara masyarakat selaras penuh damai solidaritas.
Menghargai pendapat, apabila perlu dinasihatkan dan diserukan, hanya berarti
satu hal—orang yang dinasihati itu berpendapat bahwa pendapat yang
disuruh-hargai itu tidak layak dihargai.
Mengajak publik
menghargai pendapat berarti mengajak orang banyak mengubah pendapat mereka
tentang pendapat yang disuruh-hargai itu. Pada dirinya sendiri, ajakan itu
tidak buruk. Bahkan, pada tataran personal, seruan itu persis sama nilainya
dengan nasihat-nasihat luhur lain yang biasa diajarkan kepada anak-anak dan
orang-orang prabijak. Akan tetapi, sebagai seruan kepada publik, sebagai
ajakan agar penghargaan kepada pendapat orang lain dijadikan standar dan
acuan bagi keberlangsungan suatu masyarakat rukun, ia membawa serta tekanan
atau stigma sosial terhadap mereka yang menolak, dengan alasan apa pun,
menghargai pendapat orang lain.
Ketika penghargaan
terhadap pendapat orang lain menjadi ideal sementara penolakannya menjadi
stigma di dalam masyarakat, terjadilah hal-hal yang buruk. Antara lain,
pertama, substansi pendapat itu sendiri menjadi tabu, tidak bisa lagi secara
bebas dan terbuka diperdebatkan. Inilah yang telah terjadi misalnya dengan
topik-topik yang dikelompokkan ke dalam istilah hantam-kromo SARA
(sukubangsa, agama, ras, dan antargolongan). Pembicaraan tentang SARA tidak
bisa berlangsung leluasa karena banyak orang merasa bahwa isi pembicaraan itu
sendiri sudah merupakan sesuatu yang buruk.
Kedua, bahkan apabila
substansinya dibicarakan, orang tidak berani mengemukakan apa yang ada di
dalam pikirannya. Dari luar sudah ditetapkan bahwa pendapat orang harus
dihargai. Karena itu kritik menjadi anathema. Tidak terjadi pembicaraan yang
jujur, melainkan terciptalah kamar-gaung yang di dalamnya setiap orang saling
puji dan saling umpak.
Ketiga, sementara
mereka yang berprihatin dan berkehendak baik justru takut berkata-kata dengan
jujur dan terbuka, pembahasan real tentang topik-topik itu lalu dikuasai dan
diarahkan oleh mereka yang tidak peduli kepada kerukunan masyarakat, yang
hanya mau menang sendiri dengan menekan dan menindas kelompok-kelompok lemah
yang berbeda dari mereka, yakni, kelompok-kelompok fanatik buta dan ekstremis
tak berhati nurani. Mereka berkoar-koar meneriakkan kebengisan terhadap
minoritas agama sementara para pecinta kerukunan hanya berbisik gagap tak
tegap.
Keempat, tidak terjadi
dialog efektif, karena tidak ada orang yang berhasil dibujuk untuk sampai
pada kesimpulannya sendiri, bahwa pendapat yang semula tidak dihargainya itu
memang ternyata layak dihargai. Hanya ada tekanan formal untuk menghargai,
tapi tidak ada pencerahan substansial untuk sampai kepada penghargaan itu
secara mandiri. Sementara jurang di antara mereka yang cinta kerukunan dalam
kepelbagaian dan mereka yang haus kemenangan dalam keseragaman tetap gagal
dijembatani, mereka yang tidak menghargai pendapat orang lain, tapi
berpotensi belajar banyak tentang keindahan keragaman, justru tak terjangkau
dan tak terlibat. Sebab, bagaimanakah orang akan terbuka mempertimbangkan
pendapat orang lain apabila sejak awal pendapat mereka—bahwa pendapat
tertentu orang lain itu tidak patut dihargai—sudah tidak dihargai? Apa guna
memulai diskusi apabila keputusan akhir sudah tersimpul?
Ketika seruan
“hargailah pendapat orang lain” dianggap nilai kebaikan yang selalu baik dan
dengan sendirinya baik di dalam segala situasi kehidupan masyarakat, ketika
ia menjadi prasyarat kerukunan, maka ia menjadi seruan anti-logika,
anti-intelektual, anti-akalbudi, anti-kebebasan pikiran, dan anti-kebebasan
pendapat. Tentu saja, orang bebas menyerukan ajakan ini, baik dengan marah
maupun dengan senyum. Tapi tuduhan di balik seruan itu tidak bisa
disembunyikan, yakni bahwa orang yang tidak menghargai pendapat orang lain
adalah picik, sempit pikiran, atau bahkan berpotensi menggiring orang ke arah
ekstremisme dan fanatisme berkekerasan.
Tuduhan implisit itu adalah racun di dalam seruan itu.
Inilah sari racun itu: bahwa ajakan untuk menghargai pendapat orang lain
dilandasi prinsip bahwa orang tidak patut memiliki pendapat tidak menghargai
pendapat orang lain. Orang bebas berpendapat, kecuali pendapat bahwa pendapat
tertentu orang lain tidak pantas dihargai. “Hargailah pendapat
orang lain”,
dengan kata lain, adalah bahasa yang hanya pantas
dipakai polisi pikiran.
Racun itu telah
meresap ke dalam berbagai dialog kerukunan agama dalam bentuk ungkapan, “Hargailah agama orang lain” atau “Hargailah keyakinan orang lain”.
Banyak orang mengalami kesulitan dengan seruan itu—dan di sini yang
dimaksudkan bukanlah ekstremis yang membunuh, melukai, mengusir, atau
menghancurkan harta orang lain atas nama agama, melainkan orang-orang
beragama yang “biasa-biasa”—karena adalah kenyataan yang meluas bahwa salah
satu prinsip utama di dalam setiap ajaran agama adalah bahwa agamanya adalah
satu-satunya yang benar, atau paling benar, atau lebih benar daripada
agama-agama lain mana pun. Bagaimanakah caranya menyuruh orang untuk secara
prinsip akan menghargai agama yang secara prinsip sudah dia anggap keliru?
Oh, anda bilang apa?
Bukan itu maksudnya? Kalau begitu baiklah kita kaji perinci. Apa maksud
seruan menghargai agama lain? Menganutnya? Tentu tidak. Menerimanya sebagai
kebenaran? Bukan. Mengajarkannya kepada anak-anak? Amit-amit. Semua agama
sama saja? Mungkin sebagian orang percaya ini. Tapi slogan ini hanya layak
ditanggapi serius apabila tiba harinya ketika Sri Paus mengucapkan Kalimat Syahadat dalam khotbah tahun
barunya dan Salat Jumat ditutup dalam nama Tuhan Yesus Sang Juruselamat. Agama lain itu semuanya bermaksud
baik sama seperti agamaku? Iyalah, cuma agak keliru; agamaku, sedikit atau
banyak, masih lebih baik. Campur saja semua agama jadi satu agama super?
Hanya kalau agama Taowedtriptaurinqur
sudah buka cabang di setiap pasar dan pelabuhan.
Mencari common ground? Bagus sekali. Tapi,
pikirkanlah sejenak, itu justru berarti tidak menghargai pendapat orang lain.
Fakta bahwa common ground perlu
dicari kemudian dipupuk dan disebarkan adalah bukti bahwa pendapat yang bisa
dihargai itu sulit terlihat dengan sendirinya dan harus dipisahkan dan
dikhususkan dari pendapat yang tidak dihargai. Jadi, mencari common ground berarti menguji dan
mengaji pandangan orang lain dengan kritis, menghargai yang patut dihargai,
membuang yang tidak dihargai. Ini bukan menghargai pendapat atau ajaran orang
lain begitu saja dari sononya.
Hanya apabila
“pendapat untuk tidak menghargai pendapat orang lain” ikut pula
dihargai—ketika seseorang yang semula tidak menghargai pendapat orang lain
itu tetap bebas, tanpa stigma sosial atau intelektual, untuk sampai pada
kesimpulan bahwa pendapat yang tidak dihargainya itu memang tidak layak dia
hargai—bisalah terjadi dialog yang jujur dan terbuka serta, insyaallah,
berbuah kerukunan yang lebih luas. Sebab hanya di dalam kebebasanlah suatu
penghargaan baru yang jujur bisa lahir dari dalam hati.
Ah, tapi bukankah
itulah persisnya makna seruan “hargailah agama orang lain”? Tidak sama.
Pendapat, pikiran, gagasan, ide, apabila diwajibkan dihargai secara sosial
atau, apalagi, secara legal, akan menjadi beku. Pendapat boleh dihargai.
Pendapat yang sangat baik dan bagus biasanya mendapatkan posisi yang sangat
tinggi di dalam pandangan masyarakat. Itulah keadaan yang baik—bahwa pendapat
yang memang berharga akan dengan sendirinya dihargai, dan pendapat yang tidak
berharga akan mati.
Tapi pendapat tidak
wajib dihargai dan tidak pantas diwajibkan dihargai. Pendapat tidak butuh
toleransi. Pendapat boleh dikritik dicerca bahkan dihina. Sejarah masyarakat
manusia sudah sangat gamblang, tidak memungkinkan tafsiran alternatif lain:
kemajuan hanya tercapai ketika pendapat dan semua sanak kandangnya seperti
pandangan, filsafat, ideologi, dogma agama, tradisi, sains, diperlakukan
dengan penuh kecurigaan. Hanya di bawah tekanan kritik dan penentangan,
pendapat yang bernilai akan lahir dan berkembang, serta menghasilkan
buah-buah manis bagi masyarakat yang rajin menguji setiap gagasan.
Sebaliknya, ketika suatu gagasan dipermuliakan sebagai kewajiban di dalam
suatu masyarakat, beku dan mundurlah masyarakat itu, bahkan mati. Dan jauh
sebelum eksistensi fisiknya berakhir, jiwanya sudah lama hilang.
Penghargaan,
penghormatan, dan toleransi wajib ditujukan bukan kepada pandangan atau
gagasan, melainkan kepada orang per orang, kelompok orang, hak milik orang,
dan hak kebebasan orang, termasuk haknya untuk berpendapat apa saja, termasuk
pendapat yang picik dan tak bernilai tinggi. Pendapat, termasuk pendapat
ketua RT, presiden negeri, ketua parlemen, ulama, ilmuwan, mertua, siapa
saja, sebaliknya justru harus terus-menerus diuji dan diasah; dan hak orang
untuk menguji dan mengasah pendapat harus selalu dihargai, apabila diinginkan
lahirnya pendapat bernilai berlian dan matinya pendapat kualitas sampah,
serta terciptanya suatu relasi yang jujur dan saling-hormat, bukan relasi
saling-tekan dan saling-terkam, juga bukan relasi munafik saling-puja walau
tak suka. Penghormatan dan penghargaan sejati justru terbukti ketika kita
bisa berkata, “Aku tidak setuju pendapatmu. Aku tidak menilai tinggi ajaran
agamamu. Aku tidak memuliakan agamamu. Aku tidak menyembah Tuhanmu. Tapi aku
menghormati kamu, aku menghargai kamu yang memiliki pendapat dan agama yang
tidak aku hargai.” Penghormatan dan penghargaan itu mewujud di dalam bentuk
pembiaran dan sokongan terhadap orang-orang berpandangan lain dan beragama
lain untuk beribadah dan mengajarkan, bahkan menyebarkan ajaran-ajaran agama
mereka. Apabila kita hanya bisa menghargai orang yang pendapatnya kita
hargai, penghargaan kita itu mudah dan murah; pada intinya kita masih
menuntut keseragaman. Tapi apabila kita menghargai orang yang pendapatnya
tidak kita hargai, di situlah letak toleransi dan kerukunan yang sebenarnya.
Di situlah terletak keindahan perbedaan dan keberagaman.
Para aktivis dan
pejuang kerukunan hendaklah berhenti menyuruh orang menghargai agama orang
lain. Bangunlah kerukunan agama di atas dasar kewajiban sosial dan legal
untuk menghormati orang, bukan menghormati agama. Menghormati orang sebagai
basis kerukunan beragama berarti menghormati hak orang untuk hidup, untuk memiliki
rumah ibadah dan menyelenggarakan ibadah di tempat mana pun yang mereka
miliki atau yang berhak mereka pakai secara legal, untuk menjalankan ajaran
agama mereka sejauh tidak membahayakan orang lain atau milik orang lain
secara fisik, termasuk untuk menyebarkan agama mereka kepada siapa pun.
Penghormatan dan
penghargaan ini pun tidak cukup hanya di antara sesama pengikut agama,
melainkan harus mencakup mereka yang tidak beragama atau menolak agama.
Manusia ateis sama haknya, sama nilainya, sama berharganya, dengan manusia
teis. Persis sama! Stigma, bahkan kriminalitas, yang dikenakan kepada ateis
di negeri ini senyatanya adalah stigma dan kriminalitas yang melekat pada
diri para teis itu sendiri, yang dengan angkuhnya, sambil merendah menghamba
di dalam doa dan ibadah mereka, merasa berhak dengan angkuh mengangkat diri
sendiri menjadi hakim atas nama Tuhan di muka bumi untuk menentukan nasib
orang lain. Mereka memohon-mohon surga dari Tuhan mereka dengan doa dan
puasa, tapi begitu lutut dan jidat mereka lepas dari lantai seketika itu
mereka dengan garang mengeluarkan surat keputusan yang menentukan nasib orang
lain: siapa ke surga siapa ke neraka, siapa merdeka siapa masuk penjara.
Hukum yang tidak
mencerminkan penghormatan kepada hak orang untuk beragama atau tidak
beragama, untuk beribadah atau tidak beribadah, adalah hukum yang merusak
kerukunan beragama. Selama hukum seperti itu dipelihara, selama itu pulalah
penindasan terhadap kelompok-kelompok lemah—baik terhadap agama lain, aliran
lain, agama asli Nusantara, maupun tanpa-agama—akan terus berlangsung,
dilakukan oleh kelompok antitoleransi, pejabat negara ekstremis, partai
politik oportunis, dan oleh negara sendiri secara institusional.
Tuntutan untuk
menghargai agama, ketika diterapkan oleh negara, selalu menjadi, telah
menjadi, dan akan menjadi tekanan untuk menghinakan dan menindas orang-orang
yang beragama berbeda, atau beraliran agama berbeda, atau tidak beragama.
Kerukunan beragama
hanya akan mewujud, ketika berlaku prinsip bahwa agama ada untuk manusia,
bukan manusia untuk agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar