Koalisi Parpol Oposisi
Ridho Imawan Hanafi ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS, 11
Februari 2016
Tak lebih dari sepekan
setelah pemilihan presiden pada 9 Juli 2014 digelar, enam partai politik
pendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendeklarasikan diri sebagai
koalisi permanen untuk lima tahun ke depan, di Tugu Proklamasi, Jakarta, 14
Juli 2014.
Enam parpol tersebut
adalah Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan Partai Demokrat.
Belum genap dua tahun, koalisi yang diimpikan bisa berdiri permanen itu kini
eksistensinya terancam. Koalisi ditinggal anggotanya untuk memilih merapat ke
dalam barisan parpol pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
PPP dari kubu
Romahurmuziy mendahului pindah untuk bergabung dengan pemerintah, kemudian
diikuti Partai Golkar pimpinan Agung Laksono. Langkah tersebut disusul PAN.
Partai Golkar pimpinan Aburizal Bakrie dan PPP pimpinan Djan Faridzakhirnya
juga sudah menyatakan mendukung pemerintah. Koalisi kini menyisakan Partai
Gerindra dan PKS di dalamnya. Sementara Partai Demokrat masih bertahan dalam
posisi penyeimbang. Kondisi itulah yang kemudian dilihat Sekretaris Jenderal
Partai Gerindra Ahmad Muzani bahwa secara de facto Koalisi Merah Putih (KMP)
sudah selesai.
Keinginan KMP
memermanenkan koalisi ketika itu sudah menimbulkan keraguan sejumlah
kalangan. Upaya tersebut salah satunya dinilai sebagai respons sesaat atas
hitung cepat hasil pilpres dari beberapa lembaga survei kredibel yang
hasilnya dimenangi kubu lawan. Karena respons seperti itu, apakah bisa
koalisi nantinya menjadi langkah serius membangun barisan oposisi di parlemen
sebagai kekuatan penyeimbang pemerintah yang baru. Selain itu, koalisi
permanen ketika itu juga terkesan hanya upaya memagari anggotanya agar tidak
cepat melompat ke kubu pemenang.
Mengikat sejumlah
parpol dalam satu koalisi yang menyatakan diri berada di luar pemerintahan
secara permanen terbukti tidak mudah. Kesulitan untuk merawat agar KMP tetap
utuh setidaknya bisa dilatari sederet sebab. Bangunan koalisi tidak didukung
oleh pondasi yang kuat, seperti halnya platform dan tujuan koalisi. Dengan
memiliki platform dan tujuan koalisi yang jelas, semua anggota dapat
membangun kekuatan mereka dan mendapatkan keuntungan pada isu-isu yang menjadi
kepentingan koalisi. Karena basis koalisi lebih terlihat pragmatis, maka
bangunan menjadi ringkih.
Keringkihan tersebut
memudahkan anggota koalisi kehilangan kompas pandu bagaimana menempatkan diri
sebagai kelompok oposisi. Alhasil, yang terlihat kemudian, koalisi hanya
menjawab persoalan pendek, seperti pertarungan pilpres, kemudian bergeser
pada perebutan jabatan dan alat kelengkapan di parlemen.
Sebab lain, terdapat
parpol anggota koalisi yang dilanda konflik internal, seperti pada Golkar dan
PPP. Konflik internal membuat parpol terbelah: satu kaki mendukung
pemerintah, kaki lain menginginkan tetap di oposisi. Konflik membuat
soliditas koalisi tak tercapai. Kini, masing-masing kubu di internal parpol
yang berkonflik sudah satu suara mendukung pemerintah. Di sini, dinamika
eksternal koalisi tidak bisa diabaikan telah ikut memengaruhi perjalanan
koalisi oposisi. Dengan kata lain, anggota koalisi oposisi memiliki daya
tahan yang rentan ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Bukan peran pinggiran
Di samping itu, bagi
parpol memilih bergabung dengan koalisi pemegang kekuasaan memang menawarkan
keuntungan. Seperti dikatakan Brian O’Day (2004), keuntungan tersebut, salah
satunya, memungkinkan parpol mendapatkan sesuatu yang tidak dapat mereka
capai sendiri saat berada di luar koalisi. Sesuatu di sini salah satunya bisa
dimaknai berupa akses terhadap sumber daya politik maupun finansial yang bisa
diperoleh dengan memiliki pengaruh dan peranan di kekuasaan. Keuntungan lain,
jika koalisi berjalan sukses, parpol dapat memanfaatkannya untuk membantu
meningkatkan dukungan suara mereka.
Di seberang lain,
koalisi parpol pendukung pemerintah juga tak menutup terhadap parpol yang
ingin bergabung. Hal ini memang akan cenderung dilakukan oleh setiap koalisi
pemerintah, mengingat pertimbangan kenyamanan politik di parlemen.
Kini, kekuatan politik
koalisi parpol oposisi timpang dibandingkan dengan koalisi parpol pendukung
pemerintah. Meskipun demikian, peran sebagai parpol oposisi sangat diperlukan
kehadirannya dalam demokrasi. Parpol oposisi, menurut Hofmeister dan Grabow
dalam Political Parties: Functions and
Organisation in Democratic Societies (2011), memiliki fungsi penting
sebagai watchdog dari kebijakan
pemerintah dan menyodorkan alternatif politik di masa depan. Partai oposisi
berfungsi untuk mengkritik pemerintah dan mengontrolnya secara konstruktif.
Tanpa oposisi, pemerintah akan cenderung puas dan kesulitan mencari
alternatif.
Tidak cukup itu,
dengan kehadiran pihak oposisi—meminjam Ignas Kleden (1998)—masalah
akuntabilitas atau pertanggungjawaban akan lebih diperhatikan pemerintah.
Dalam arti, tidak segala sesuatu akan diterima begitu saja, seakan dengan
sendirinya jelas atau beres dalam pelaksanaannya. Kehadiran oposisi, menurut
Kleden, membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan
mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijaksanaan diambil, apa dasarnya, apa
pula tujuan dan urgensinya, dan dengan cara bagaimana kebijaksanaan itu akan
diterapkan.
Pada titik itu, peran
yang dijalankan parpol oposisi bukanlah peran pinggir. Jika diperankan dengan
maksimal, betapa pun minimalnya kekuatan yang dimiliki akan tetap
berimplikasi bagi kemajuan demokrasi.
Persoalannya kemudian
terletak pada bagaimana kualitas oposisi yang dimainkan. Apakah peran mereka
di barisan oposisi hanya tersebab jejak persaingan politik sebelumnya ataukah
karena tak tertemuinya kompromi dengan koalisi parpol pendukung pemerintah
sehingga mereka lebih baik memilih tetap di luar, atau diniatkan agar
pemerintahan bisa terawasi dan berjalan sesuai dengan tujuannya. Dengan
demikian, diharapkan peran oposisi nantinya tidak terlihat hanya sebatas asal
berbeda dengan pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar