Terjebak di Labirin Gelap
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 13
Februari 2016
Setelah dilantik
menjadi Presiden Nigeria pada 29 Mei 2015, Muhammadu Buhari langsung tancap
gas. Dalam program 100 hari kerja, ia langsung mewujudkan janji kampanye:
perang melawan korupsi. Tujuh pakar ditunjuk menjadi anggota Komisi Anti
Korupsi. Semuanya akademisi. Tidak terbayangkan betapa beratnya memberantas
korupsi di Nigeria yang tingkat konflik dan instabilitas politiknya sangat
tinggi.
Nigeria adalah negara
multietnik dengan 1.001 masalah: kriminalitas, kemiskinan, konflik etnik,
konflik politik, kekerasan dan teror, pemberontakan, perang saudara, masalah
pengungsi, wabah penyakit, tentu saja pemerintahan yang korup dan salah
kelola. Meskipun beban sedemikian berat, plus keraguan banyak pihak, Buhari
tidak patah semangat: jika korupsi tidak diberantas, "musuh nomor
satu" itu akhirnya akan membunuh Nigeria (The Guardian, 3/8/2015).
Indonesia tentu tidak
serumit Nigeria. Walaupun kerap ada riak-riak seperti konflik etnik dan
kekerasan agama, kuantitas dan kualitasnya tidak separah Nigeria. Stabilitas
Indonesia relatif terjaga lebih baik. Namun, untuk urusan perang melawan
korupsi, semangatnya cepat loyo. Semangat '45, sebagai simbol pantang
menyerah yang membebaskan negeri ini dari penjajah pada tahun 1945, sekarang
cuma isapan jempol. Banyak dari generasi sekarang ini yang cepat menyerah.
Banyak pemimpin di
negeri ini lebih bersemangat mengurus kepentingan sendiri, keluarga, atau
kelompok sehingga negeri ini tidak bangkit-bangkit. Padahal selalu
didengung-dengungkan sebagai calon "macan Asia", tetapi bisa-bisa
malah jadi "macan ompong". Kegaduhan di dalam negeri membuat
stagnan. Kekuatan dan pengaruh Indonesia di lingkungan global pun tidak
diperhitungkan lagi.
Tidak heran pula jika
pemegang mandat negeri ini cuek saja walaupun rakyat menolak segala upaya
pelemahan pemberantasan korupsi. Padahal, perang melawan korupsi adalah
agenda reformasi sejak tahun 1998. Sayangnya, belum semua agenda reformasi
tuntas, negara ini harus putar balik. Alih-alih korupsi bisa diberantas dari
Bumi Pertiwi, yang terjadi malah pembalikan lewat jalan legal.
Awal tahun 2016, mimpi
buruk menjadi kenyataan ketika DPR dan pemerintah mulai membahas revisi UU No
30 Tahun 2002 tentang KPK. Kalau Presiden Buhari tancap gas memberantas
korupsi di Nigeria, di Indonesia pemerintah dan parlemen tancap gasnya
merevisi UU KPK tersebut. Kelihatan sekali agenda revisi UU itu "tidak
serius-serius amat". Buktinya, sikap fraksi juga plin-plan. Tiga hari
lalu, cuma satu fraksi yang menolak revisi. Dua hari lalu ada dua fraksi.
Dan, kemarin ada tiga fraksi yang menolak, yaitu Gerindra, Demokrat, dan PKS.
Sampai Jumat (12/2), tujuh fraksi masih ngotot merevisi UU KPK. Mereka adalah
PDI-P, Golkar, PAN, Hanura, Nasdem, PPP, dan PKB. Gerindra patut diberi
jempol karena satu-satunya partai yang konsisten menolak revisi UU KPK sejak
awal.
Boleh saja pengusul
revisi UU itu beralasan bukan untuk melemahkan KPK, melainkan untuk
memperkuat. Namun suara-suara rakyat menegaskan belum saatnya UU itu direvisi
sekarang. Komisioner KPK yang baru dilantik pun menolak rapat dengar pendapat
dengan DPR. Menolak datang ke DPR adalah bentuk perlawanan. Padahal, tahun
lalu, saat baru terpilih, banyak yang ragu dengan pendekar baru KPK itu.
Tetapi, begitulah KPK, selalu mewarisi watak anti kompromi dan tidak boleh
tunduk. Perang melawan korupsi memang harus total. Sebab, kata penulis Peter
Ustinov (1921-2004), "Uang merusak watak orang." Tokoh anti korupsi
India, N Vittal (2003), menegaskan, pemberantasan korupsi seperti bertempur
dalam perang.
Revisi UU KPK
sebetulnya lagu lama. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, revisi UU
itu beberapa kali santer terdengar. DPR mulai mewacanakan revisi UU KPK pada
Oktober 2010, tetapi selalu gagal. Bolak-balik antara Senayan dan Istana,
revisi itu terus-terusan ditolak publik. PDI-P yang kala itu oposisi selalu
galak menolak revisi. Kini justru PDI-P menjadi motor pengusul revisi UU KPK.
Padahal PDI-P sekarang partai pemerintah. Tetapi, memang hubungan PDI-P dan
Presiden Joko Widodo kelihatannya tidak mulus-mulus banget.
Jadi, meskipun suara
publik sangat keras menolak revisi, anggota DPR yang mandatnya diberikan oleh
rakyat itu, juga keukeuh saja. Jangan sampai seperti sistem perwakilan yang
dilukiskan teoretisi sosialis Italia, Carlo Pisacane (1811-1857), bahwa
bagaimana pemegang tampuk kekuasaan politik tertinggi berdasarkan watak
mereka sebagai manusia akan tunduk pada hawa nafsu. Tindak-tanduk mereka
cenderung berlawanan dengan tindak-tanduk massa yang diwakili.
"Jika rakyat
mendelegasikan kedaulatannya, berarti mereka mundur. Rakyat tidak lagi
memerintah, tapi diperintah. Silakan rakyat mendelegasikan kedaulatan,
niscaya kedaulatan akan ditelan oleh si penerima delegasi," kata tokoh
sosialis Perancis, Victor Considerant (1808-1893), kawan seangkatan Pisacane.
Jika begitu, kita melangkah di jalan demokrasi yang salah. Terjebak di
labirin yang gelap: berliku dan rumit. Sungguh mengerikan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar