Pembagian Kemiskinan di Pedesaan
Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
|
KOMPAS, 13
Februari 2016
Ketimpangan pedesaan
menurun drastis selama Maret-September 2015 (Kompas, 5/2). Rekor jatuhnya indeks gini dari 0,33
menjadi 0,27 seakan mengembalikan masa konvergensi pertengahan 1980-an hingga
awal 1990-an. Sayang, pemerataan kali ini lebih terbaca sebagai pembagian
kemiskinan.
Kala menyambut
Pembangunan Semesta Berencana, Bung Karno menyodorkan gotong royong warga
desa sebagai penangkal dampak negatif pembangunan. Dalam pidato Rencana
Pembangunan Lima Tahun I, Soeharto juga mengandalkan swadaya desa guna
menambal ketimpangan ekonomi perkotaan.
Peran sebagai bantalan
ketimpangan ditunjukkan oleh konsistensi posisi indeks gini pedesaan di bawah
perkotaan sejak 1980. Bantalan kebersamaan di pedesaan kian tegas saat krisis
menjelang perkotaan, seperti penerimaan desa terhadap warga kota yang dipecat
dan gagal usaha selama krisis 1997-1998.
Pemerataan kue pembangunan terbaca ketika penurunan
indeks gini setara dengan penurunan persentase atau jumlah orang miskin.
Contohnya, indeks gini pedesaan jatuh dari 0,34 pada 1978 menjadi 0,29 pada
1981, atau menurun 5 persen. Ini setara dengan anjloknya kemiskinan dari 33,4
persen ke 26,5 persen, atau menurun 7 persen.
Artinya, warga miskin
terentaskan seraya memanfaatkan pembangunan bersama-sama warga yang lebih
kaya. Pemerataan dipicu oleh lebih banyak lapisan bawah yang mengalami
kenaikan mobilitas sosial.
Sayang, saat
ketimpangan pedesaan menurun pada Maret-September 2015, kemiskinan tak
beranjak sama sekali. Sementara indeks gini meluncur hingga 6 persen,
kemiskinan hanya bergeser 0,12 persen. Lebih tegas lagi, jumlah orang miskin
cuma berkurang 50.000 jiwa, kapasitas menggapai garis kemiskinan hanya naik
0,15 persen, dan ketimpangan di antara orang miskin sekadar turun 0,04
persen.
Sumber ketimpangan
Saat proporsi orang miskin tetap, keadaan
yang kian merata hanya mungkin dibaca sebagai penurunan pengeluaran atau
pendapatan golongan yang lebih tinggi. Pemerataan disumbang oleh lebih banyak
lapisan atas desa yang mengalami penurunan mobilitas sosial.
Clifford Geertz
membaca pemerataan atas sejumput remah pembangunan sebagai pembagian
kemiskinan. Wujudnya selama Maret-September 2015 ditunjukkan tersendatnya
dana desa. Saat itu, kemarau panjang menyulitkan bertani, sedangkan proyek
pertanian belum berjalan. Komoditas perkebunan terbakar atau jatuh nilainya.
Tenaga kerja konstruksi dari desa belum terserap proyek infrastruktur.
Pertumbuhan ekonomi masih digerakkan konsumsi rumah tangga, tapi tak sampai
menumbuhkan kesemarakan sektor informal sebagaimana awal krisis moneter.
Angka pemerataan
pedesaan bisa saja berbalik, Maret 2016, karena satu semester sebelumya dana
desa mulai mewujud proyek pembangunan. Proyek pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten pun semarak pada September-Desember 2015.
Alih-alih berteka-teki
atas penyebabnya, lebih tepat pemerintah bergerak menyusun dekomposisi sumber
ketimpangan langsung dari data rutin yang digunakan selama ini, yaitu Survei
Sosial Ekonomi Nasional edisi Maret dan September. Analisis lebih lanjut
dapat menyedot informasi statistika yang lebih presisi sekaligus dinamis
tentang faktor penyebab, besaran, dan kisaran wilayah ketimpangan.
Becermin dari alur
dekomposisi Armida Alisjahbana dan kawan-kawan (2003), meski hanya menyumbang
8 persen ketimpangan nasional, kesenjangan desa-kota menjadi satu-satunya
gerbang pembuka bagi berjenis-jenis ketimpangan lainnya! Artinya, selisih
kedua kawasan yang meningkat dari 9 persen jadi 20 persen pada
Maret-September 2015 menjadi lonceng peringatan peluang merebaknya
ketimpangan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan budaya.
Sumber ketimpangan
utama ialah perbedaan gaji eksekutif dan buruh (43 persen), terutama di perkotaan.
Perlu dicatat, di pedesaan kerja pertanian hanya mencipta 7 persen
ketimpangan sosial-ekonomi, sedangkan penghasilan dari luar pertanian
menyumbang 19 persen.
Beda kepemilikan aset
produksi antar-wargalah yang menyulut 45 persen ketimpangan di pedesaan.
Kerap tak disadari, sejak 1985 laju peningkatan produksi padi berbasis lahan
senantiasa diikuti laju penurunan nilai tukar atau kesejahteraan petani.
Perbandingan Sensus Pertanian 2003-2013 mengabarkan, 5 juta rumah tangga
petani gurem terpaksa keluar dari pertanian, digantikan 298.803 tuan tanah
pemilik lahan di atas 30 hektar.
Tiga kebijakan
Tiga poros kebijakan
pedesaan mendesak dijalankan. Pertama, fokus penanggulangan kemiskinan untuk
meningkatkan aset produksi rumah tangga. Boleh saja kartu miskin serta
jaminan kesehatan mengawali program. Selanjutnya, harus dicanangkan program
peningkatan aset, seperti modal kerja khusus sektor informal, beragam wujud
reforma agraria, dukungan kepastian asupan, hingga pasar hortikultura dari
lahan sempit.
Kedua, pengarusutamaan
risiko ketimpangan sosial-ekonomi dalam perumusan kebijakan. Di antaranya,
62,39 persen dana desa yang tersalur dominan di Jawa dan Sumatera pada 2015
dikoreksi melalui penghitungan ulang berbasis luas desa agar beralih dominan
ke desa-desa di timur Indonesia.
Ketiga,
mempersyaratkan investasi pembangunan desa sekaligus menguatkan ikatan sosial
dan budaya setempat. Adat dan norma lokal Bali menjadi teladan pengontrol
teguh modernisasi desa sehari-hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar