Peralihan Pers yang Mencemaskan
S Sinansari Ecip ; Wartawan Senior
|
KOMPAS, 10
Februari 2016
Sebagian besar
tokoh pers cetak dewasa ini cemas. Masa peralihan yang sudah mulai beberapa
tahun mengandung pertanyaan. Adakah semangat perjuangan yang dibawa sejak
prakemerdekaan estafetnya akan berlangsung baik?
Setelah masa bulan madu
pemerintah Orde Baru dengan pers memasuki tahun 1970-an, terjadi ujian bagi
pers. Pers sudah mulai berani mengkritik pemerintah. Tiba-tiba, semangat
perjuangan (idealisme) harus diperhadapkan kepada bisnis media. Pemerintah
melepaskan penyusuannya. Subsidi kertas koran dicabut.
Pada periode Soekarno,
pemerintah memberi subsidi harga kertas koran. Semua perusahaan pers yang
telah mendapat surat izin terbit (SIT) dari departemen penerangan otomatis
dapat surat izin pembelian kertas (SIPK). Kertas dibeli ke BUMN Panca Niaga
dengan harga kurang lebih 30 persen lebih murah daripada harga pasar. Semua
pihak tahu terjadi manipulasi. Dalam SIPK tercantum perusahaan A mencetak
koran 15.000 eksemplar. Nyatanya yang dicetak hanya 5.000 eksemplar. Sisa
kertas dilepas ke pasar bebas. Hasil penjualan digunakan untuk ongkos cetak,
honor penulis, dan lain-lain.
Ketika subsidi pembelian kertas
koran dicabut, perusahaan pers bermuram durja. Tidak ada lagi hasil
manipulasi yang menopang kehidupan pers. Jumlah tiras (oplah) turun drastis.
Koran Merdeka yang dianggap mewah, waktu itu,
dicetak warna sederhana, hanya mampu terbit dengan empat halaman. Banyak
koran, terutama di daerah, hanya dalam bentuk dua halaman. Warna kertasnya
pun warna-warni.
Tidak lama, media cetak
memperoleh kesempatan berbisnis dengan tetap memperjuangkan semangat
idealismenya. Pers cetak pelan-pelan ternyata bisa menghasilkan keuangan yang
banyak bagi perusahaan. Jumlah cetak meningkat. Terjadi jual beli iklan yang
saling menguntungkan. Segmentasi pers berlangsung marak. Ada majalah
wanita, remaja, dan lain-lain. Koran harian di kabupaten pun bisa
diterbitkan.
Secara biologis terjadi
penggantian bos di media pers. Sebagian tokoh pers menyiapkan pengganti,
menyekolahkan anaknya di bidang media. Teknologi berkembang pesat. Lahir pula
teknologi internet. Media online pun memanfaatkannya. Media sosial
menyusul hadir meskipun isinya bukan karya jurnalisme.
Anak-anak muda maju dengan
pesat dalam memanfaatkan teknologi dan mengembangkan bisnis media. Namun, ada
kegalauan. Dengan majunya bisnis media, jangan-jangan perimbangan di bidang
idealisme belum mendapat perhatian layak. Memajukan segi bisnisnya, media
akan kekurangan kekuatan filosofisnya. Sebagian anak muda di media
jangan-jangan tidak menganggap penting sisi idealisme. Bukankah layang-layang
tanpa kerangka tidak bisa terbang?
Etika
Etika dalam jurnalisme kurang
mendapat perhatian lagi. Dengan semangat investigasi, korbannya tidak
mendapatkan imbalan jurnalisme dan etikanya. Liputan tidak berimbang sering
terjadi. Liput dua belah pihak dilakukan sekadarnya. Liputan yang kurang
tepat lalu dikutip dalam tajuk rencana, bahkan dalam karikatur dan halaman
luar.
Sementara fasilitas hak jawab
hanya ditempelkan di sudut surat pembaca. Opini dalam tajuk, karikatur, dan
halaman luar berdasarkan liputan yang kurang tepat (yang kemudian diperbaiki
sedikit melalui hak jawab yang sedikit). Di mana hak obyek untuk memperoleh
hak jawab atas opini yang telanjur salah itu? Keberimbangan pemuatan sangat
kurang dilakukan.
Baru-baru ini juga terjadi
kesalahan jurnalisme yang parah (dilakukan ramai-ramai oleh TV, radio, online,
dan surat kabar). Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PAN dan RB) Yuddy Chrisnandi dianggap menilai kinerja sesama
menteri. Sementara yang benar adalah penilaian itu atas kinerja kementerian.
Itu pun sudah dilakukan beberapa kali oleh Menteri PAN dan RB sebelumnya.
Tahun kemarin juga dilakukan oleh Menteri PAN dan RB ini dan tidak
menimbulkan keributan. Pers tidak cermat.
Contoh berikutnya, pers
menyerang Wapres Jusuf Kalla (JK) dengan menyebut ipar dan keponakannya (Aksa
Mahmud dan Erwin Aksa) menemui bos Freeport. Kejadian dipanjanglebarkan seolah-olah
JK pejabat sangat tinggi tidak tahu etika. Faktanya, bos Freeport minta
bertemu famili JK di kantor Aksa di Jakarta. Mungkinkah Aksa menolaknya?
Pertemuan dilakukan pada waktu JK tak menjabat sebagai wapres ataupun
menteri.
Sungguh sedih karya jurnalismenya.
Untuk melengkapi berita tersebut sebenarnya sungguh mudah dilakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar