Memahami ‘Kelas Menengah’ Indonesia
Muhammad Ridha ; Mahasiswa Pasca Sarjana di Murdoch
University, Australia; Anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP)
|
INDOPROGRESS, 05
Februari 2016
ARTIKEL Made
Supriatma, Hipokrisi Kelas Menengah,
kembali menguak perhatian kita perihal status kelas menengah Indonesia. Made
secara jenaka mengungkap kemunafikan ‘kelas menengah’ Indonesia yang lebih
banyak muncul sebagai kolektif sosial yang “sombong” (snob), yang hendak membedakan dirinya dengan kondisi masyarakat
Indonesia kebanyakan. Pembedaan mereka terhadap yang lain merupakan upaya
untuk menunjukkan bahwa mereka adalah entitas yang terpenting yang ada dalam
masyarakat. Padahal, kalau diperhatikan secara seksama, justru banyak
aktivitas mereka sangat membutuhkan keberadaan kalangan kelas menengah ke
bawah. Disinilah Made secara cermat menunjukkan kemunafikan kelas menengah:
karena anggapan bahwa mereka ada sebagai posisi kelas yang khusus
termentahkan semenjak mereka juga tetap membutuhkan keberadaan entitas sosial
yang lain.
Penjelasan ini, bagi
saya, berkontribusi penting untuk memajukan pengetahuan kelas pekerja yang
membutuhkan penjelasan mengenai mengapa ‘kelas menengah’ sangat mudah untuk
bersikap tidak peduli dan sangat narsis secara sosial. Namun, presentasi
seperti ini saya pikir tidak mencukupi. Eksposisi analisa kelas yang
digunakan Made sangat terbatas dalam kerangka ‘status sebagai kelas sosial’
Weberian, dimana posisi kelas dipahami sejauh apa yang dikonsumsinya. Posisi
analitis ini membuat absennya penjelasan mengenai apa kondisi material yang
membuat ‘kelas menengah’ dapat mewujudkan dirinya dalam bentuknya yang ada
sekarang selain karena status konsumsi mereka. Problem ini penting diajukan
mengingat eksposisi berbasis ‘status sebagai kelas sosial’ berpotensi untuk
mengabaikan dimensi relasionalitas dalam kelas itu sendiri, dimana suatu
posisi kelas dapat dijelaskan terpisah (atau otonom) dengan posisi kelas yang
lain yang akhirnya mereduksi kelas sebagai kategori deskriptif yang statis.
Selain itu, posisi ini juga membuat kesadaran adalah konsekuensi otomatis
dari status yang dimiliki. Implikasi dari argumen ini adalah kemunafikan
‘kelas menengah’ adalah inheren dalam kategori ‘kelas menengah’ itu sendiri.
Suatu posisi argumen yang, menurut saya, fatalis karena justru menutup
kemungkinan bagi perubahan kesadaran mereka yang dianggap sebagai ‘kelas
menengah’.
Untuk mengatasi
problem ini, menjadi penting untuk mengajukan posisi teoritis analisa kelas
yang lain, yang memperhatikan secara eksplisit relasi antar kelas-kelas
sosial yang ada. Alih-alih melihatnya secara terisolir sebagai pengkondisian status qua konsumsi, kelas justru
perlu diperiksa mendalam dalam kaitannya dengan dinamika ekonomi politik
kapitalisme. Kontradiksi dalam aras produksi antara kapital dengan kerja (labor) menjadi fondasi relasi yang
memungkinkan keberadaan serta kesadaran kelas-kelas sosial sekarang.
Disinilah kita bisa melihat serta memahami kelas sebagai suatu proses yang
dinamis dan selalu berubah, dan ‘kelas menengah’ salah satunya.
Kelas dan Kesadaran Kelas dalam Kapitalisme
Sebelum memeriksa
bagaimana ‘kelas menengah’ Indonesia, kita perlu melakukan klarifikasi
terlebih dahulu bagaimana kelas sebagai kategori sosial dapat dipahami.
Kelas, sebagaimana kita ketahui, ada sebagai posisi kolektif yang ditempati
individu dalam konteks sosio-ekonomi tertentu. Karena konteks ini, kelas
sosial memiliki stratifikasi dimana terdapat golongan yang memiliki banyak
atau berlimpah sumber daya ekonomi serta golongan yang memiliki tidak banyak
atau sedikit sumber daya ekonomi.
Hal lain yang perlu
diperhatikan dari stratifikasi ini adalah posisi kelas-kelas sosial tidak
berdiri terpisah antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, suatu posisi
kelas hanya dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan posisi kelas yang lain.
Kelas bawah hanya dapat dikatakan bawah karena ada kelas atas, dan begitu
juga sebaliknya. Disinilah kelas muncul sebagai suatu kategori yang
relasional.
Dalam konteks
sosio-ekonomi kapitalistik, tendensi umum dalam relasi yang menciptakan
stratifikasi kelas sosial tentu saja adalah relasi produksi yang tidak
terdamaikan antara kapital dengan kerja. Antagonisme ini membuat keberadaan
antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Secara empirik, relasi
ini dapat dilihat dalam relasi upahan antara kapitalis dengan pekerja.
Kapitalis atau pihak pemilik kapital hanya akan dapat berkembang jika ia
melakukan eksploitasi atas pekerja; kelas pekerja hanya dapat ada sejauh ia
bekerja dalam relasi produksi yang eksploitatif yang dikuasi oleh pihak
kapitalis. Dalam hal ini, terdapat kondisi objektif produksi yang
mengondisikan terciptanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat sekarang.
Akan tetapi proposisi
ini belum berarti mencukupi. Suatu kelas hanya dapat dikatakan sebagai kelas
sejauh individu-individu yang ada dalam relasi yang ada muncul sebagai
kolektif yang memiliki kesadaran kelas. Oleh karenanya, kondisi objektif
produksi harus diiringi dengan proses subjektif, dimana para pekerja mulai
mengorganisasikan diri mereka sebagai satu entitas kelas pekerja yang
memposisikan dirinya berseberangan secara kepentingan dengan kelas kapitalis.
Hal ini dimungkinkan karena kondisi objektif dimana proses produksi dalam
kapitalisme berlangsung secara massif dan mensyaratkan keberadaan banyak
pekerja dalam ruang dan waktu yang sama, memfasilitasi proses berbagi
pengalaman antar pekerja yang akhirnya menciptakan kesamaan pengalaman serta
kesadaran di antara mereka.
Dalam tradisi Marxian,
keterorganisiran ini sangat menentukan. Semakin kuat organisasi kelas
pekerja, semakin kuat pula kapasitas mereka dalam mengubah situasi hidup
mereka. Marx mengajukan proposisi kelas dalam-dirinya-sendiri (class in-itself) dan kelas
untuk-dirinya-sendiri (class for-itself).
Kelas dalam dirinya sendiri ketika mereka secara kolektif memperjuangkan
kepentingan normatif, seperti upah dan kondisi kerja, melawan kelas kapitalis
di tempat kerjanya. Sementara kelas untuk-dirinya-sendiri dimana organisasi
kelas pekerja mulai memperjuangkan kepentingan luas kelas pekerja yang
berhadapan dengan kekuasaan kelas kapitalis
Apa yang hendak
dikemukakan dalam argumen ini adalah posisi kelas pekerja dalam kondisi
objektif tidak melulu mensyaratkan adanya kesadaran kelas. Premis ini menjadi
penting karena banyak kalangan yang menganggap bawa posisi kelas dengan
kesadaran kelas adalah suatu hal yang sifatnya terberi dan otomatis dari
kondisi objektif yang ada. Oleh karenanya, ketika kita hendak membicarakan
kelas sebagai suatu kategori yang relasional, penting untuk menjangkarkan
pemahaman tersebut dalam dinamika gerak kelas dalam kaitannya dengan
perkembangan kesadaran dari kelas itu sendiri. Di sini, keberadaan organisasi
kelas harus diikusertakan dalam setiap upaya memahami dinamika kelas dan
kesadaran kelas yang berkembang.
Siapakah itu ‘Kelas Menengah’ Indonesia?
Eksposisi analitis
yang diajukan bukan dimaksudkan untuk menyatakan satu posisi vulgar bahwa
kelas-kelas sosial di era kapitalisme hanya menciptakan dua kelas saja, yakni
kelas kapitalis dan kelas pekerja. Akan tetapi justru kita perlu melihat
kelas sebagai suatu proses dinamis yang geraknya sangat dipengaruhi oleh
antagonisme dua kelas ini. Dalam kondisi statis, sebagai suatu kategori,
kelas sosial tertentu bisa saja tidak terdeskripsikan secara sama dengan
posisi kelas kapitalis atau kelas pekerja. Namun jika dilihat secara dinamis,
dimana keberadaan posisi kelas tersebut terkait dengan perkembangan
kapitalisme, maka antagonisme antara kelas kapitalis dengan kelas pekerja
sangat memengaruhi keberadaan suatu posisi kelas yang berbeda tersebut.
Asumsi ini juga
berlaku pada bagaimana kita memahami kategori ‘kelas menengah’. Menurut saya,
kategori ini bisa muncul dan berlaku berbeda dengan konstruksi dualitis
terhadap kelas sosial yang dominan karena perkembangan tertentu dalam
kapitalisme yang ada di Indonesia. Booming ekonomi yang dialami kapitalisme
Indonesia pasca pemulihan krisis ekonomi 1998, menciptakan kondisi
kesejahteraan yang relatif lebih tinggi pada lapisan tertentu dari posisi
kelas pekerja pada umumnya. Bagi para kapitalis, bonanza ekonomi ini
memungkinkan mereka untuk mengupah lebih tinggi dan memberikan kondisi kerja
yang relatif lebih baik ke lapisan kelas pekerja tersebut.
Di tingkatan
kesadaran, perbedaan pendapatan ini membuat lapisan kelas pekerja ini tidak
bisa secara langsung berbagi pengalaman dengan kelas pekerja lainnya. Selain
itu, pendapatan yang lebih tinggi ini membuat kecenderungan konsumsi mereka
menjadi lebih tinggi dibanding keberadaan kebanyakan kelas pekerja. Hal ini
kemudian menciptakan status sosial yang berbeda antara lapisan kelas pekerja
ini dengan kelas pekerja pada umumnya, misalnya kaum buruh.
Dalam posisi ini,
proses kesadaran kelas yang dialami oleh lapisan kelas pekerja ini juga
berbeda. Daya beli yang tinggi membuat mereka tidak mudah untuk disamakan
dengan keberadaan kelas pekerja kebanyakan. Kondisinya semakin diperumit
ketika organisasi kelas pekerja yang ada tidak cukup kuat untuk memaparkan
kepentingan kelas pekerja terhadap lapisan kelas pekerja ini. Alih-alih, di
tengah lemahnya kapasitas organisasi kelas, lapisan kelas pekerja ini justru
secara mudah terpapar dalam pengaruh serta ideologi kepentingan kelas
berkuasa yang ditransimisikan oleh agen-agen atau aparatus ideologi yang
sudah menguasai kekuasaan negara. Hal inilah yang menyebabkan mengapa
aspirasi mereka terlhat sangat sejajar dengan kepentingan kelas berkuasa yang
ada.
Lalu apa implikasi
dari pembacaan ini bagi konsepsi ‘kelas menengah’ itu sendiri? Bagi saya,
‘kelas menengah’ yang ada di Indonesia lebih merupakan konstruksi politik
dibandingkan sebagai suatu posisi kelas yang mengakar dalam dinamika
kapitalisme Indonesia. Ia adalah hasil dari pengaruh ideologi kelas berkuasa
yang kemudian mengkerangkakan pengalaman kolektif lapisan kelas pekerja
tertentu dan selanjutnya didefinisikan sebagai suatu posisi kelas yang
dikenal sebagai ‘kelas menengah’. Gagasan ini menjadi penting untuk
diproduksi (dan direproduksi) oleh rezim pengetahuan yang berkuasa karena
kegunaannya sebagai instrumen’ propaganda kelas berkuasa tentang kebaikan
kapitalisme, yakni pada dasarnya menguntungkan masyarakat; bahwa kualitas
hidup rakyat akan terangkat karena kapitalisme. Disinilah kemudian kategori
‘kelas menengah’ menjadi kategori yang instrumental untuk membelah dan
memecah posisi pekerja sebagai kelas.
Kesimpulan
Semenjak ‘kelas
menengah’ adalah kategori yang dihasilkan dari konstruksi politik, maka tidak
ada kesadaran yang inheren dalam ‘kelas menengah’ itu sendiri. Di sini,
ke-ngehek-an mereka adalah buah dari lemahnya organisasi kelas pekerja secara
luas. Kelemahan ini yang kemudian diisi oleh gagasan ideologi kelas
kapitalis. Akan tetapi sebagaimana kita sadari, kondisi ini tentu saja tidak
akan berlangsung selamanya. Kontradiksi antara kapital dan kerja yang melandasi
keberadaan lapisan kelas pekerja yang masuk sebagai ‘kelas menengah’ akan
tetap ada. Dalam konteks perkembangan kapitalisme yang lebih luas, booming
ekonomi bukanlah sesuatu yang permanen. Krisis kapitalisme selalu akan
mengancam operasi kapitalisme itu sendiri. Itulah sebabnya gagasan akan
‘kelas menengah’ adalah gagasan yang rapuh fondasinya.
Konsekuensi pemahaman
ini membuat ‘kelas menengah’ secara prinsip tidak bisa dikeluarkan dari
agenda pengorganisiran kelas secara luas. Namun kita harus mengakui bahwa ada
kondisi tertentu yang perlu diperhatikan ketika mengorganisir mereka. Dalam
artian proses pengorganisiran lapisan kelas pekerja ini menjadi sangat
tergantung dengan penerapan strategi taktik pengorganisiran yang kontekstual.
Pada akhirnya, mudah
untuk menyiyir ketidak-pedulian ‘kelas menengah’. Akan tetapi penekanan
berlebihan akan ketidak-pedulian mereka akan membuat kita abai bahwa mereka
adalah juga bagian penting dari perjuangan kelas pekerja secara keseluruhan.
Sekali lagi, kategori sosial ‘kelas menengah’ adalah konstruksi politik kelas
kapitalis. Untuk mengatasi ekses-ekses sosial yang muncul dari kategori ini,
mensyaratkan adanya pertarungan politik kelas terhadap ‘kelas menengah’ itu
sendiri. Tanpa ada upaya untuk melakukan perjuangan ini, jangan terlalu
berharap bahwa ilusi, serta kesadaran munafik, dari ‘kelas menengah’ bisa
dihancurkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar