FKUB Wujudkan Persaudaran Sejati
Benny Susetyo ; Rohaniawan
|
KORAN JAKARTA, 05
Februari 2016
Kita dihadapkan pada
banyak persoalan besar. Persoalan itu mulai dari krisis finansial global yang
berdampak pada perlambatan perekonomian nasional, sampai gonjang-ganjing
pemutusan hubungan kerja akibat
ketidak pastian pertumbuhan
ekonomi . Dalam situasi tersebut, kemakmuran rakyat bukan saja tidak
meningkat, melainkan terjadipenurunan tajam utamanya menyangkut daya beli.
Kenyataan ini juga
memberi tantangan berat bagi kehidupan kebangsaan kita .Fakta ini seharusnya
menjadi petunjuk bahwa untuk meraih cita-cita dan mimpi besar itu tidak cukup
hanya mengumbar janji-janji yang sekedar slogan ”pepesan kosong” belaka. Kian
melunturnya kepercayaan kepada pemerintah justru makin diperparah dengan
sikap pejabat publik yang seringkali abai terhadap penderitaan rakyat.
Semua realitas ini
menegasikan harapan publik dan melahirkan ketidakpastianrakyat yang semakin
tidak jelas ujung sengsaranya. Kehidupan sosial kita berwajah muram karena
kehilangan solidaritas. Faktanya menunjukkan kehidupan bersama yang makin
sulit, persaingan yang makin tidak wajar akibat regulasi yang tak berpihak
kaum lemah, sehingga yang kuat tampil menang sedangkan yang lemah surut
terbuang. Hanya untuk upaya mencari pekerjaan saja sangat sulit mendapat,
sementara yang bertahan bekerja berada dalam ancaman pemutusan kerja.
Pada tahun ini banyak
kejadian yang mencoreng muka bangsa kita. Sebagian besarnya dipertontonkan
dalam pertunjukan sandiwara ketidakberdayaan negara mengemban fungsi alaminya
sebagai pelindung warga. Amanat konstitusi sudah sangat jelas: negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia. Justru sebaliknya, negara
bahkanterjebak dalam persekongkolan antara politisi danpengusaha membajak
kepentingan negara demi tujuan politik kekuasaan tertentu.
Politik yang tidak
berkeadilan berakibat hilangnya keadaban berpolitik, meruncingnya
pertentangan antarelite dan menguatnya fragmentasi kelompok kepentingan, sehingga
menggerus solidaritas dan kemanusiaan dari ruang publik. Karena berpolitik
tidak dijalankan dalam rangka bernegara akibatnya banyak kebijakan yang tidak
memihak pada kepentingan publik, tetapi hanya untuk kaum berkuasa dan
bermodal. Selama politik menjauh dari keutamaan dan karakter politisi masih
jauh dari harapan rakyat, selama itu pula wajah politik yang muram masih
mewarnai kehidupan bangsa kita.
Wajah politik seperti
itu menjadi cermin. Di ranah warga, rakyat pun sering melakukan tindakan di luar
kontrol. Di banyak tempat, massa rakyat tidak segan-segan melakukan
penghakiman massa, pembakaran, tindakan anarkis. Seakan semua dibenarkan
dengan alasan bahwa tindakan itu dilakukan kelompok massa. Aksi massa menjadi
teror yang berkembang makin mengancam solidaritas di ruang publik. Sebuah
pertanyaan tersisa: apakah semua itu merupakan puncak dari kekesalan publik
yang sudah apatis terhadap kehadiran peran negara?Saat berpolitik tidak
dijalankan dalam rangka berkonstitusi, banyak orang silih berganti bersuara
cemas.
Mengapa aparat negara
cenderung diam, bahkan absen, di tengah berbagai pelanggaran konstitusional
tersebut? Absennya negara dalam hal ini merupakan persoalan besar. Absennya
negara ini dapat dilihat berawal saat sikap pemimpin cenderung membiarkan
persoalan kemasyarakatan, terkait tertib sosial dan kerukunan dalam hidup
bersama.
Ada polanya, tapi
mengapa negara seolah tidak berani menghadapi kelompok-kelompok preman yang
berbuat kriminal dan melakukan penyerangan dengan membawa senjata tajam,
batu, klewang, dalam aksi teror massa. Kita bertanya, di mana aparatur negara
yang seharusnya menjalankan fungsi dan mengemban tugas untuk melindungi
rakyat dan menciptakan ketenteraman masyarakat?
Di sana ada masalah
yang cukup mendasar. Hendardi dari Setara Institute menyatakan, negara gagal
memenuhi alasan keberadaannya. Dalam hal pemenuhan hak-hak dasar warganya,
negara sudah gagal mengemban tugas generiknya untuk melindungi dan memenuhi
hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, bahkan dalam beberapa kasus
ditemukan keterlibatan aparat negara yang bertindak sebagai pelaku
pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM). Jika negara sampai abai pada
pemenuhan hak-hak dasar, pola eskalasi terabaikannya tugas negara yang lain
sangat potensial terjadi.
Faktanya negara bahkan
melarang aliran keagamaan tertentu tapi dengan membiarkan sekelompok warga
dan organisasi keagamaan lain melakukan tindakan eksekusi massal atas
kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan tersebut. Dalam kasus seperti ini
kita melihat negara seolah tiada dalam keberadaannya.
Loncatan Berfikir
Beragam persoalan yang
ada, rasanya begitu muram memikirkan wajah bangsa ini. Sebagai solusi, tidak
bisa tidak, kita membutuhkan sebuah loncatan berpikir yang tidak hanya
bersikap reaktif serta hanya mementingkan primordial identitas kedaerahan,
kesukuan, dan keagamaan di tengah keragaman bangsa ini. Loncatan berpikir itu
kita harapkan bisa ditransformasikan menjadi lompatan sikap dan kebijakan
untuk menata kembali hidup bersama yang menghargai pluralitas dan menumbuhkan
solidaritas. Untuk itudibutuhkan semangat bergandengan tangan dalam gugus
Bhinneka Tunggal Ika yang sungguh-sungguh mengejawantah dalam semua lini
kehidupan riil.
Semua pemimpin di
semua lini dan wilayah berkewajiban mengembangkan gagasan yang menginspirasi
kesadaran toleransi dan menghargai perbedaan di tengah pluralitas masyarakat
yang semakin kompleks. Semangat ”persaudaraan sejati” seharusnya bisa menjadi
keutamaanbersama dalam cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berperilaku
sebagai warga negara. Sebab hanya dengan kebersamaan dan solidaritas anak
bangsa ini akan mampu menghadapi krisis dan tantangan.
Ajakan mengembangkan
“persaudaraan sejati” ini menjadi ajakan tokoh-tokoh agama dalam merawat
keberagaman dan mengembangkan hidup bersama yang toleran dan menghargai
kemanusiaan dalam perbedaan. Pokok pikiran dari ajakan mewujudkan
“persaudaran sejati” para tokoh agama dalam Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) berkaitan dengan tiga hal mendasar. Pertama, bagaimana spritualitas
kebangsaan dijadikan acuan dalam hidup bernegara, dimana agamawan juga harus
mampu memberi keteladanan. Kedua, upaya mengembalikan wajah agama menjadi
spirit mengembangkan produktivitas dan kreavitas. Ketiga, meminta kepada
pengambil kebijakan politik untuk serius mengatasi krisis ini dengan pertama
kali menyelamatkan ekonomi rakyat. Semoga kesungguhan “persaudaraan sejati”
membuka jalan baru untuk membangun peradaban bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar