"Menaklukkan Macan"
Herry Tjahjono ; Terapis Budaya Perusahaan
|
KOMPAS, 10
Februari 2016
Beberapa saat
sebelum Masyarakat Ekonomi ASEAN
berlaku, Presiden Joko Widodo mengungkapkan untaian kalimat menarik: "Bekerja
itu harus optimistis, jangan pesimistis. Jangan takut, karena semua negara
juga takut dengan berlakunya ASEAN Economic Community ini. Kita harus
optimistis karena kita punya produk yang macam-macam.."
Pada sebuah kesempatan
lain, dia juga menyampaikan, "Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi
macan, tetapi menaklukkan macan. Karena bangsa Indonesia tidak ingin
ditakuti, tetapi disegani." Dua ungkapan itu sebagian contoh bahwa
Jokowi adalah pemimpin yang motivasional. Pemimpin hebat memang mesti piawai
menjalankan fungsi sebagai motivator. Hal ini telah dibuktikan oleh Lee
Kun-hee- sosok kebangkitan Samsung- yang merefleksikan: sukses Samsung
karena kehebatannya memotivasi para
karyawannya.
Namun , yang dilakukan
Lee tak berhenti pada faktor motivasional sebab faktor motivasional itu harus
segera dirajut melalui pembenahan beberapa elemen penting organisasi.
Fenomena ini sangat relevan dengan
kondisi kita saat ini mengingat sebagian pelaku utama yang akan menghadapi
MEA-khususnya BUMN dan swasta-memiliki beberapa kelemahan organisasional
mendasar yang membuat mereka sulit menjadi profesional dan kompetitif.
Beberapa kelemahan
itu, pertama, sebagian organisasi
perusahaan pelat merah dan swasta yang mulai dijalankan generasi kedua (dan
di bawahnya) biasanya terkena Titanic
Syndrome (Peter AC Smith & Hubert). Sindrom Titanic ini merupakan bagian
dari manajemen perubahan yang biasanya terlambat diantisipasi oleh para
petinggi organisasi/manajemen. Rata-rata para manajer di perusahaan pelat
merah dan swasta generasi kedua dan di bawahnya, sadar atau tidak-cenderung
berpikiran perusahaan mereka tak akan pernah tenggelam, goyang atau bangkrut.
Persis seperti awak kapal Titanic, yang demikian percaya diri berlebihan
dengan Titanic-yang konon bahkan Tuhan sendiri tak bisa menenggelamkannya.
Sindrom itulah yang
membuat mereka kehilangan sensitivitas, daya kreasi dan inovasi-karena
terlena dengan kepercayaan diri berlebihan dan juga ketidakpedulian. Mereka
lupa, seperti Titanic yang akhirnya tenggelam karena lambung kapalnya sobek
oleh pucuk gunung es "kecil" yang menggoresnya, demikian pula
perubahan bisa saja menggores kapal organisasi dan menggoyangkannya setiap
saat.
Melawan Sindrom Titanic
Para manajer perusahaan
BUMN biasanya terjangkit sindrom itu karena mereka merasa toh pemegang
sahamnya pemerintah, mana bisa tenggelam. Sedangkan generasi kedua atau
ketiga perusahaan swasta terjangkit sindrom itu karena mereka hanya menerima
estafet kebesaran sebuah perusahaan (bahkan grup) yang sudah jadi-di mana
mereka tak pernah ikut merasakan perjuangan berdarah-darah generasi pertama.
Biasanya para manajernya akan menjadi lembam (inersia) mengantisipasi
perubahan, lamban bertindak, kurang kreatif-inovatif.
Kedua, dominasi budaya
kerja serba harmonis. Mengadaptasi konsep Yodhia Antariksa tentang Harmonic
Culture Error -yang juga sempat diulas Ahmad Syafii Maarif (Majalah Nabil
Forum, 2013, "The Death of Samurai: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp,
Toshiba, dan Sanyo"). Dijelaskan bahwa dalam era digital seperti
sekarang, kecepatan merupakan kunci terpenting.
Kecepatan dalam
pengambilan keputusan, pengembangan produk, termasuk peluncuran produk baru.
Jepang (dalam artikel tersebut)-yang mirip dengan kondisi kita sekarang di
era MEA ini-jelas kedodoran karena dominasi budaya kerja konsensus dan
harmoni. Itu sebabnya para raksasa elektronik Jepang yang sebelumnya demikian
perkasa, menjadi kelimpungan oleh serbuan produk Korea (seperti Samsung atau
LG). Mereka datang bak predator. Belum lagi serbuan produk elektronik
Tiongkok yang menghajar dengan harga sangat murah.
Budaya kerja serba
harmonis dan konsensus membutuhkan waktu lama untuk mengambil keputusan
tentang produk yang akan diluncurkan. Dan, ketika rapat usai, produsen
lain (Samsung dan LG) sudah lebih dulu keluar dengan produk
barunya. Mereka menjadi lamban dan lembam.
Kondisi yang sama bisa
menimpa kita di era MEA ini, meski Presiden Jokowi telah memotivasi kita soal
produk yang bermacam-macam. Namun, dengan kelambanan dan kelembaman manajemen
kita dalam pengambilan keputusan dan lainnya- semuanya akan kedodoran.
Gagasan kreatif-inovatif yang mendasar juga susah lahir dari budaya serba
harmoni dan konsensus. Budaya kita bahkan kadang lebih parah dari budaya
harmonis: alon-alon waton kelakon,biar lambat asal selamat demi
konsensus. Tanpa bermaksud mengurangi
nilai-nilai luhur filosofi kearifan tradisional itu-dalam konteks bisnis
modern sekarang, era serba digital-filosofi nilai-nilai ini sudah kurang
relevan.
Ketiga, masih kuatnya
kepemimpinan gaya feodal. Khususnya di perusahaan pelat merah, gaya feodal
ini sangat kuat-di mana pimpinan adalah "raja" yang harus dilayani.
Padahal, praksis kepemimpinan modern justru sebaliknya, di mana pemimpin yang
harus melayani. Jalur komunikasi dan prosedur berjalan sangat birokratis,
serba lamban, dan berbelit. Semuanya diperparah dengan kepemimpinan feodal
yang setiap keputusan bisa berubah setiap saat sesuai "sabda" sang
pimpinan.
Kepemimpinan melayani
telah jadi kebutuhan utama zaman ini, baik untuk organisasi politik ataupun
bisnis. Jokowi sendiri sampai batas tertentu telah memulainya, melalui
peneladanan kepemimpinan melayani di berbagai kesempatan. Ia bukan tipe
pemimpin raja yang hanya bersabda ke sana sini, namun tak menjalankan sendiri
"sabdanya". Gaya
kepemimpinan feodal kuat di organisiasi pelat merah, namun di sebagian
organisasi swasta juga masih banyak ditemui- khususnya perusahaan keluarga.
Ketiga aspek organisasional elementer itu
sangat menentukan apakah organisasi bisa profesional dan kompetitif. Untuk
itu budaya kerja dan gaya kepemimpinan ke depan harus berlandaskan nilai:
kepedulian (melawan Sindrom Titanic), kecepatan dan inovasi (melawan budaya
harmonis), melayani (melawan gaya kemimpinan feodal). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar