”Quo Vadis” Energi Bersih Indonesia
Arifin Panigoro ; Praktisi Bisnis
|
KOMPAS, 11
Februari 2016
Bali kembali menyedot
perhatian dunia dengan berlangsungnya perhelatan besar, Bali Clean Energy Forum 2016, di tengah merosotnya harga minyak dunia
dan meningkatnya desakan penggunaan energi bersih atau energi terbarukan.
Kita bisa bertanya,
seberapa penting kegiatan di Bali ini untuk pengembangan energi terbarukan di
Tanah Air?
Pertama, negeri ini
diberkahi dengan 29 gigawatt potensi panas bumi yang tersebar di 265 lokasi.
Jumlah ini setara dengan 40 persen panas bumi dunia. Akan tetapi, hingga kini
baru 4,6 persen yang sudah diubah jadi setrum untuk publik.
Setali tiga uang,
potensi serupa di pembangkit biomassa, masih belum tergarap optimal. Potensi
ini sangat melimpah terutama di perkebunan sawit, tetapi belum digunakan
sepenuhnya karena terbatasnya infrastruktur listrik PLN dan harga beli
listrik PLN. Persoalan serupa pada potensi tenaga air, bayu, dan surya.
Energi bersih
Kini ada perhelatan
akbar Bali Clean Energy Forum 2016. Apakah kita sudah menuju profound clean
energy establishment? Sederhananya, beranikah kita menargetkan diri lebih
tinggi dalam pemanfaatan energi bersih?
Alasan kedua, apalagi
kalau bukan pada sosok kuat: minyak bumi yang bersumber dari fosil. Silakan
Anda hitung! Selama puluhan tahun roda ekonomi dunia dan Indonesia digerakkan
oleh energi fosil. Saat ini cadangan minyak terbukti Indonesia dari BP Statistical Review 2015 hanya 3,70
miliar barrel. Cadangan gas bumi 101,5 triliun kaki kubik.
Ketergantungan
terhadap energi fosil di Indonesia memang sangat besar. Dari total konsumsi
energi 2012, ketergantungan terhadap energi fosil mencapai 94,4 persen. Hanya
5,6 persen dari energi baru dan terbarukan. Padahal, energi fosil tidak dapat
diperbarui, suatu saat habis.
Ketergantungan pada
energi fosil juga mengancam devisa negara. Impor minyak Indonesia makin lama
makin besar. Tahun 2014 produksi nasional Indonesia 290 juta barrel,
sementara konsumsi BBM mencapai 449 juta barrel; Indonesia mengimpor minyak
mentah 121 juta barrel dan 179 juta barrel BBM.
Secara agregat
konsumsi BBM nasional menunjukkan kenaikan 7-10 persen setahun, sementara
kemampuan produksi nasional turun 10-12 persen setahun. Pada 2013 Indonesia
mengeluarkan42,2 miliar dollar AS untuk impor minyak dan BBM. Jumlah ini
setara dengan 150 juta dollar AS setiap hari. Ini pemborosan devisa negara.
Emisi bahan bakar
fosil juga berakibat buruk bagi lingkungan. Dari berbagai laporan lembaga
dunia, seperti World Resources
Institute, Indonesia merupakan penghasil emisi karbon terbesar setelah
Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan Rusia. Sekitar 2 miliar ton
emisi karbon dihasilkan Indonesia, dengan 549 juta ton berasal dari energi
fosil.
Bali Clean Energy Forum 2016 mulai berlangsung pada Kamis (11/2) ini. Apa
rasionalitas yang hendak dibangun Indonesia? Apa raison d’etre perhelatan
global tersebut, dan lebih jauh lagi, apa dampak kehadirannya bagi
optimalisasi penggunaan energi bersih di Tanah Air?
Berbagai pertanyaan
ini tidak hadir mendadak. Setelah mengikuti KTT Perubahan Iklim di Paris
akhir tahun lalu, gambaran akan kebutuhan energi bersih yang semakin besar
terus muncul dan menjadi bagian perbincangan saya dengan rekan-rekan.
Kesepakatan Paris
telah disetujui 195 negara. Mereka akan saling bekerja sama membendung
peningkatan suhu bumi hingga 1,5 derajat celsius. Kesepakatan Paris juga
memuat komitmen pengurangan emisi karbon oleh negara-negara peserta.
Indonesia termasuk negara yang sudah berkomitmen melaksanakan kesepakatan
tersebut. Pemerintah mematok target pengurangan emisi karbon tahun 2030
sebesar 29 persen secara mandiri dan 41 persen dengan skema bantuan
internasional.
Dalam pandangan saya,
Kesepakatan Paris adalah penyentil bagi pemerintah dan pemangku kepentingan
energi untuk tidak melalaikan pembangunan energi bersih. Namun, harga minyak
dunia yang jatuh ke titik terendah saat ini menjadi tantangan tersendiri,
karena bisa menghambat pembangunan energi bersih.
Dengan harga minyak
dunia sekitar 30 dollar AS per barrel, maka konsumsi energi, terutama
listrik, secara ekonomi akan lebih murah menggunakan energi berbahan bakar
fosil. Harga energi bersih yang lebih mahal membuat investasi energi bersih
tidak menarik bagi investor.
Namun, harus diingat
harga minyak yang rendah justru menyebabkan kegiatan eksplorasi menurun.
Karena eksplorasi minim, penemuan cadangan baru juga akan turun. Berkurangnya
jumlah cadangan minyak terbukti akhirnya mengakibatkan penurunan jumlah
produksi.
Harga minyak yang
rendah juga menyebabkan preferensi impor minyak mentah dan BBM lebih besar.
Hal ini bisa menguras devisa dan membuat kita lupa mengembangkan energi
bersih. Di titik inilah kita membutuhkan tekad kuat dan terobosan strategis
agar pembangunan energi bersih tidak terus terabaikan.
Terobosan kebijakan
Agar Bali Clean Energy
Forum 2016 lebih bermakna dan membawa dampak signifikan bagi Indonesia,
pemerintah harus berani thinking out of
the box!
Logiknya begini.
Beberapa negara telah mengembangkan energi terbarukan, seperti panas bumi,
tenaga air, angin, surya, biomassa, hingga biofuel. Tahun 2014 energi
terbarukan sudah menyumbang 14 persen total penggunaan energi dunia. Khusus
untuk konsumsi listrik dunia, energi terbarukan bahkan mampu menyumbang 22
persen.
Belajar dari India,
Tiongkok, Brasil, dan negara maju lainnya, kita melihat adanya kesenjangan
infrastruktur dan teknologi energi bersih antara negara maju dengan negara
yang mulai mengembangkan energi bersih. Maka, perlu kemitraan antarnegara
untuk menjembatani kesenjangan dan mempercepat pengembangan energi bersih.
Indonesia perlu membuat lompatan teknologi (technology leapfrogging) untuk mengakselerasi pengembangan energi
bersih.
Lompatan teknologi
perlu tekad dan terobosan kebijakan. Salah satunya dengan mengubah paradigma
dari mahalnya investasi energi bersih menjadi ”investasi untuk masa depan
energi Indonesia.” Pemerintah tidak boleh ragu. Seberapa pun mahalnya,
investasi energi bersih adalah hal yang harus dilakukan.
Perbedaan harga energi
bersih dengan energi fosil saat ini harus dipandang sebagai tabungan untuk
kebutuhan generasi masa depan. Jadi, saat minyak fosil semakin menipis
persediaannya beberapa tahun ke depan, kita sudah siap dengan persediaan
berbagai energi bersih.
Yang di depan mata dan
melimpah adalah energi surya. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Tanah
Air memiliki potensi luar biasa besar: 1.400-2.000 kWh/m2/tahun. Bandingkan
dengan Jerman yang hanya 900-1.200 kWh/m2/tahun. Investasinya pun relatif
lebih terjangkau dan bisa membantu pemerintah mengejar target 35.000 MW di
daerah-daerah terpencil.
Manfaatkan juga
lahan-lahan kosong BUMN untuk PLTS. Dengan masa pembangunan kurang dari
sembilan bulan, dan pengoperasian yang relatif mudah, maka PLTS bisa lebih cepat
mengejar kesenjangan pemenuhan listrik di berbagai daerah.
Usulan lain bisa
berupa kewajiban bagi pemenang tender swasta atau Independent Power Producer proyek 35.000 MW untuk wajib
berinvestasi 5-10 persen di pembangkit listrik energi baru dan terbarukan
(EBT) agar semua pihak punya komitmen terhadap EBT.
Jangan lupakan juga
kebijakan pajak. Di beberapa negara, untuk mendorong pengembangan energi
bersih, bahan bakar nabati disubsidi pemerintah. Sebaliknya BBM fosil kena
pajak tinggi. Di Indonesia BBM fosil belum dikenakan pajak, sementara subsidi
BBM masih kecil.
Satu lagi yang
penting, keberanian pemerintah dalam bersikap affirmative action, terkait pembelian listrik energi bersih.
Karena sering ada dispute antara
PLN dan pemasok energi bersih, pemerintah perlu mencari terobosan kebijakan
penjualan energi bersih!
Saya berharap Bali Clean Energy Forum 2016 lebih
membuka mata kita akan pentingnya membangun energi bersih. Peristiwa ini
harus bisa menjadi pengungkit kesadaran bersama dan membuktikan Indonesia
sebagai negara kaya energi bersih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar