Wajah Banal Keseharian Kita
Ito Prajna-Nugroho ; Anggota Lingkar Studi Terapan Filsafat;
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta
|
SATU HARAPAN, 04
Februari 2016
Pagi itu, 15 Desember
1961 di kota Yerusalem, persisnya di ruang pengadilan rakyat (Beth Ha’am)
untuk penjahat perang, seorang perempuan yang tidak lagi muda namun berparas
elok duduk di barisan kursi jurnalis dan mendengarkan dengan seksama hasil
keputusan sidang kejahatan perang yang telah berlangsung sejak bulan April
sebelumnya. Hannah Arendt nama perempuan itu. Tatapannya yang tajam terarah
ke sosok terdakwa berusia paruh baya yang duduk tenang dalam kurungan kaca
anti peluru.
Adolf Eichmann adalah
nama terdakwa di kurungan kaca itu. Dengan kalem ia mendengarkan hukuman
gantung yang dijatuhkan atas dirinya. Selama Perang Dunia II ia dikenal
kalangan petinggi Partai Nazi sebagai pakar perihal ‘solusi final untuk
persoalan Yahudi’ (die Endlösung der
Judenfrage). Kepakarannya dalam membangun sistem dan merancang kamp
konsentrasi Auschwitz-Birkenau membuatnya menjadi orang kepercayaan Hitler
dan bertanggung jawab atas pemusnahan sistematis orang-orang Yahudi
(Holocaust) di masa perang. Dalam kurun kurang dari satu tahun saja
(1944-1945) Eichmann, dalam pengakuannya sendiri yang santun dan disertai
nada kebanggaan, telah memusnahkan limaratus ribu orang Yahudi Hungaria
secara tertib, higenis, dan sistematis. Dari 1942 hingga 1945 tidak kurang 2
juta orang keturunan Yahudi dibantai melalui kepakaran Eichmann.
Banalitas dan Normalitas Kejahatan
Pengakuan Adolf
Eichmann yang penuh kebanggaan itu menimbulkan kegemparan dunia internasional
serta mengundang berang dari khalayak pers dan para tokoh dunia. Sungguh
tidak terpikirkan bahwa seseorang bisa merasa bangga atas kontribusinya dalam
kejahatan kemanusiaan paling mengerikan di dunia modern abad ke-20. Tetapi,
kegemparan yang lebih menggemparkan muncul secara tak disangka-sangka dari
Hannah Arendt, seorang filsuf perempuan yang ketika itu meliput sidang Adolf
Eichmann untuk majalah The New Yorker.
Arendt mengikuti setiap menit jalannya proses peradilan, dan menerbitkan
laporan khusus tentang Adolf Eichmann yang kemudian dibukukan berjudul Eichmann in Jerusalem – A Report on the
Banality of Evil. Laporan untuk edisi khusus majalah The New Yorker tahun 1963 ini menjadi sumber kegemparan dan
kontroversi dunia internasional.
Dalam liputannya
Hannah Arendt menyimpulkan bahwa segala kengerian yang kita bayangkan tentang
sosok pelaku kejahatan kemanusiaan terburuk itu sesungguhnya meleset sama
sekali, dan hanya bentukan imajinasi kita sendiri yang dibangun melalui opini
publik. Segala kejahatan, keburukan, horor, dan kekejian yang sebelumnya
digambarkan oleh media massa tentang sosok Adolf Eichmann adalah kepalsuan
imajinatif yang muncul dari imajinasi publik tentang apa itu ‘yang jahat’ (evil). Arendt menyebut bahwa sosok yang
digambarkan keji itu sesungguhnya adalah orang yang sangat santun, taat
beragama (Eichmann adalah pengikut ajaran Calvin yang taat), taat hukum,
berbakti kepada bangsa dan negara, punya banyak sahabat, dan pekerja keras.
Singkatnya, tidak ada yang jahat dalam sosok Eichmann.
Tetapi persis di
situlah terletak persoalannya. Kebanggaan yang diperlihatkan Eichman akan
segala kengerian yang diperbuatnya muncul bukan dari kebencian dan kegilaan,
tetapi justru muncul dari rasa tanggungjawabnya yang tanpa cela untuk
memenuhi tugas dan kewajibannya. Dalam salah satu sesi sidang Eichmann bahkan
dengan mantap mengutip filsuf Immanuel Kant, tokoh besar filsafat moral,
dengan mengatakan: “bertindaklah
sedemikian rupa sehingga tindakanmu dapat di-universalisasikan sebagai
prinsip moral umum, antara lain yaitu menunaikan kewajiban, ketaatan pada
hukum, pimpinan, agama, dan norma masyarakat” (Hannah Arendt, 1963 [1994] : 136).
Bagi Hannah Arendt,
kepolosan, kenormalan, dan kejujuran sosok Eichmann justru merupakan cerminan
diri masing-masing kita, yang sibuk dengan keseharian, dan seringkali
bertindak melakukan segala sesuatu sebagaimana sudah seharusnya, dan
sebagaimana orang-orang lain melakukannya. “Kebenaran yang sungguh menyedihkan, menggelisahkan, dan sulit
dipahami adalah kejahatan yang muncul justru dari rasa kewajiban dan suara
hati seseorang yang sama sekali tidak berbeda dari masing-masing kita” (Hannah Arendt, 1963 [1994] : 146),
demikian Hannah Arendt menyebutnya.
Kejahatan kemanusiaan
yang sungguh tidak manusiawi itu ternyata muncul dari orang-orang yang sangat
manusiawi, dan sehari-harinya tidak berbeda dari kita orang normal pada umumnya.
Maka Arendt menyimpulkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sesungguhnya
tidak muncul dari kegilaan dan abnormalitas, melainkan justru dimungkinkan
oleh normalitas dunia sehari-hari yang banal (dangkal) dan serba otomatis.
Pernyataan ini segera menggemparkan dunia dan secara frontal berseberangan
dengan arus umum opini media ketika itu.
Kita tentu boleh-boleh
saja tidak sependapat dengan Hannah Arendt. Namun Arendt telah memperlihatkan
suatu realitas yang sungguh nyata dan menggelisahkan, yaitu: kejahatan yang mengerikan seringkali muncul bukan dari sesuatu
yang abnormal dan satanik, tetapi justru muncul dari banal/dangkalnya hidup
keseharian. Inilah yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai banalitas
kejahatan (the banality of evil),
dan kini menjadi acuan penting bagi teori-teori sosial-politik.
Kita terhenyak ketika
seseorang mengeluarkan pistol, mulai menembaki kerumunan orang lalu
meledakkan pos polisi di perempatan Sarinah Thamrin. Kita juga terkejut dan
heboh ketika menyadari bahwa banyak orang tiba-tiba secara sukarela
melenyapkan diri untuk bergabung dengan kelompok teror di Suriah, atau
bergabung dengan aliran-aliran yang didakwa sesat. Kita semakin terkejut
ketika tetangga kita yang selama ini baik ternyata anggota kelompok teror,
pembunuh, pemerkosa anak-anak, bandar narkoba, atau koruptor.
Tetapi ada sesuatu
yang menggelisahkan dari kehebohan
tersebut. Segala keterkejutan itu datang dan pergi begitu saja bagaikan
pertunjukan film di bioskop, dan khalayak pun menanggapinya seolah-olah semua
teror kemanusiaan itu adalah sensasi untuk kesenangan diri. Maka muncullah
berbagai trending-topic di
media-media sosial mengenai berbagai hal trendy
yang sebetulnya tidak ada kaitan sama sekali dengan substansi peristiwa yang
terjadi. Mungkin saja kita terkejut bukan terutama karena jahatnya kejahatan
itu, tetapi karena kecemasan (dan kehebohan) kita akan diri kita sendiri.
Artinya, kita mungkin
saja sebenarnya tidak terlalu peduli dengan peristiwa-peristiwa teror
kemanusiaan itu, tetapi lebih peduli dengan keberlangsungan (juga kesenangan)
diri kita sendiri yang menjadikan peristiwa-peristiwa teror kemanusiaan hadir
sebagai “penyegar” dalam rutinitas keseharian yang banal dan membosankan.
Mungkin hal yang sama juga menjadi motivasi yang menggerakkan para pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan: menyelematkan diri dari kejemuan normalitas
keseharian.
Jika memang demikian
halnya maka segala kehebohan, keterkejutan, bahkan kepedulian kita adalah
kepedulian yang sesat. Seperti yang ditekankan oleh Hannah Arendt, kejahatan
menyimpan potensi yang semakin mengecoh, mengerikan dan berbahaya ketika
dibalut oleh normalnya keseharian dan terbungkus oleh mulianya norma-norma
moral.
Myopia Diri
Pada Januari 2002,
sebuah tim investigasi surat kabar The
Boston Globe, tim kecil yang bernama Spotlight, menerbitkan di halaman
utama Boston Globe suatu berita yang mencengangkan berjudul The Catholic Church Allowed Abuse by
Priests for Years. Isinya: sejak awal tahun 1980 hingga akhir 1990 para
imam (pastur) Gereja Katolik di beberapa paroki kota Boston telah melakukan
pemerkosaan dan penistaan terhadap sedikitnya 130 anak-anak di bawah umur,
termasuk para bocah laki-laki yang masih berusia 5 tahun.
Yang lebih
mencengangkan, semua peristiwa kebejatan itu sesungguhnya telah sejak lama
diketahui dan dibiarkan begitu saja oleh otoritas Gereja Katolik, termasuk
Uskup Agung (ketika itu Kardinal Bernard F. Law, yang kini pensiun dan diberi
tempat pensiun yang mewah di Italia) dan Bapa Suci Paus (ketika itu di masa
Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI). Pembiaran dari pihak
otoritas Gereja dan upaya untuk menutupi kebejatan para imamnya inilah yang
kemudian menjadi skandal paling menggemparkan dalam sejarah Gereja Katolik di
Abad ke-21.
Namun, apa yang
menggelisahkan bukanlah skandal itu sendiri, melainkan sikap para umat di
hampir seluruh paroki Gereja Katolik Amerika Serikat, yang tidak bisa
menerima kebenaran skandal tersebut, dan berlaku seolah-olah semuanya
baik-baik saja. Sikap ‘normal’ dan ‘bermoral’ ini pula yang telah
memungkinkan terjadinya kejahatan keji dan bejat selama kurun 20 tahun lebih
terhadap anak-anak di bawah umur.
Umat sepertinya lebih
memilih membela keselamatan iman dan normalitas keseharian mereka daripada
bersikap tepat di hadapan kejahatan terhadap anak-anak. Seperti telah
digaungkan Hannah Arendt, kejahatan memang seringkali hadir dalam wajahnya
yang sangat sehari-hari, normal dan banal.
Emmanuel Levinas,
filsuf kontemporer Prancis yang bersahaja, mengatakan bahwa kita terlalu
sering melihat kemanusiaan kita dalam perspektif ‘Aku’ (Emmanuel Levinas, Entre Nous, 1991 [1998] : 56, 59-60). Maka
sejarah kemanusiaan, termasuk juga sejarah KeTuhanan dan agama-agama, tidak
lain dari sebuah bentuk ke-Aku-an yang narsistik dan egoistik. Kita terlalu
terpaku pada interioritas diri dan menafikkan alteritas (keberlainan) orang
lain dalam segala eksterioritasnya.
Filsafat, teologi,
ilmu-ilmu, termasuk politik, menjadi suatu egology, rangkaian keterpusatan
pada ‘Aku’ yang melupakan liyan dan cenderung keras (berbuat kekerasan)
terhadap perbedaan serta keberlainan. Maka tidak mengherankan bahwa sejarah
kemanusiaan selalu dibarengi oleh sejarah kekerasan dan kejahatan
kemanusiaan, sebab kita tidak pernah mampu melampaui ke-aku-an kita, demikian
dikatakan Emmanuel Levinas dalam wawancaranya dengan Phillippe Nemo pada
1981.
Myopia diri memang
selalu berujung pada egoisme dan narsisme. Pertanyaannya kemudian, sejauh
mana kita menyadari myopia diri itu dan mulai berpaling keluar dari
kenyamanan diri dan normalitas keseharian kita. Sebab, jangan-jangan segala
kepedulian dan keprihatinan yang kita tunjukkan terhadap berbagai peristiwa
teror kemanusiaan yang mendera negeri ini ternyata adalah kepedulian sesat
yang tidak lebih dari ekspresi mentalitas kawanan dan narsisme diri kita
masing-masing.
Jika memang demikian
halnya, maka kadar toleransi dan kepedulian sosial negeri ini sebetulnya
sedang berada di tahap gawat. Tetapi tentu pada akhirnya kita akan kembali
sibuk dengan keseharian dan diri kita sendiri. Lagipula, buat apa repot
mendengarkan para filsuf yang njlimet
dan serba aneh itu, tokh mereka bisa saja keliru. Bukankah demikian? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar