Badan Otorita Danau Toba
Mangadar Situmorang ; Rektor Universitas Katolik Parahyangan
|
KOMPAS, 10
Februari 2016
Ada tiga kata kunci
yang diusung keputusan pemerintah untuk membentuk Badan Otorita Danau Toba. Pertama,
koordinasi. Melalui badan ini seluruh dimensi dari sebuah industri pariwisata
dapat disinergikan menjadi sebuah paket yang terintegrasi. Kedua, akselerasi.
Melalui badan ini pola kerja yang selama ini lambat dan sangat birokratis
dicoba dipercepat dengan otorisasi yang tidak saja koordinatif, tetapi juga
instruktif. Ketiga, eksekusi. Dengan otoritas tunggal ini, upaya-upaya
kompromi antarsektor dan antarinstansi yang kerap membelenggu keputusan hanya
sekadar keputusan akan dapat diatasi. Singkatnya, BODT dimaksudkan untuk sesegera
mungkin mengeksekusi amanat- amanat konstitusi, Nawacita, atau janji-janji
politik presiden.
Namun, penting untuk
mempertanyakan seberapa jauh legitimasi dan efektivitas BODT? Pertanyaan ini
sangat pantas dijawab untuk kemudian bisa mengatakan bahwa keberadaan BODT
adalah sebuah keniscayaan yang patut diapresiasi.
Otoritas pariwisata
Sejumlah kalangan
antusias menanggapi keputusan pemerintah membentuk BODT yang mengemban amanah
menjadikan Danau Toba sebagai Monaco of Asia. Walau tidak banyak yang tahu
seperti apa itu Monaco atau di mana letak quasi-negara itu, asosiasi
instinktif mereka menggambarkannya sebagai sebuah tempat atau situasi yang
luar biasa hebatnya, gemerlap, hidup, dan penuh daya pikat.
Itu artinya kawasan
Danau Toba, yang selama ini dikenal remote, tertinggal, dan bahkan terancam,
akan segera berubah menjadi sangat dekat, mudah dijangkau, dan tempat yang
amat menyenangkan dan menghibur. Bersamaan dengan itu, terbayangkan pula
kedatangan puluhan ribu wisatawan dari berbagai penjuru mata angin dengan
membawa banyak uang untuk dibelanjakan. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
sosial sekitar 600.000 penduduk yang tersebar di tujuh kabupaten
sekelilingnya akan meningkat.
Antusiasme berjangka
pendek, tetapi lebih realistis ditunjukkan oleh mereka yang memiliki naluri
bisnis sangat tajam. Mengetahui pemerintah akan menggelontorkan sekitar Rp 21
triliun untuk mengubah Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional,
mereka mulai menyusun strategi dan langkah-langkah taktis agar bisa mendapat
bagian dari berbagai proyek pembangunan baik yang meliputi infrastruktur,
seperti pembangunan Jalan Tol Kualanamu-Parapat, jembatan atau bahkan
bandara, maupun yang terkait struktur utama dari sebuah industri pariwisata,
seperti perhotelan, agen perjalanan, restoran, dan berbagai EO ragam
pertunjukan yang akan disuguhkan. Tak tertutup kemungkinan, para pebisnis
hitam boleh jadi sudah menyusun daftar usaha yang mungkin dilakukan, termasuk
yang berkategori gelap dan ilegal.
Bagi pemerintah
sendiri menyulap Danau Toba sebagai tujuan wisata dunia bukanlah sebuah
imajinasi. Pemerintah membangun sebuah proyeksi yang berbasis kalkulasi
ekonomis dan teknokratis sekaligus politis, sehingga realisasinya tampak
sebagai sebuah keniscayaan.
Tidak perlu
mempertanyakan legitimasi pembentukan BODT, karena itu adalah prerogatif
presiden. Yang patut ditekankan adalah signifikansi pariwisata sehingga ia
seakan memiliki kekuatan pemaksa, hingga seorang presiden dan para menteri
pun tidak boleh mengabaikannya. Sebagaimana sering dikemukakan pariwisata
merupakan salah satu sektor penting yang menunjang pertumbuhan ekonomi global
(3-4 persen) dan nasional (9-10 persen).
Menurut para ahli
industri, pariwisata memiliki multiplier effect yang luas. Juga dikemukakan
bahwa pariwisata merupakan sektor ekonomi yang tidak terlalu rentan terhadap
krisis ekonomi global dan bisa sebagai sabuk pengaman perekonomian nasional
apabila krisis terjadi. Eksplanasi makro ini juga berlaku untuk Provinsi
Sumatera Utara dan tujuh kabupaten yang terdapat di sekitar Danau Toba.
Potensi wisata yang
luar biasa yang dimiliki kawasan Danau Toba tampaknya telah mendorong
presiden dan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli
segera mengonversikannya menjadi sumber penerimaan devisa. Sebagai
international geopark warisan sejarah bumi dan turut membentuk peradaban umat
manusia, puncak-puncak gunung yang melingkari danau yang luas dan tenang itu
adalah komoditas bernilai jual tinggi dan menghasilkan devisa negara.
Proyek dan proyeksi
Hitung-hitungan
ekonomis Rizal Ramli tentulah tidak berujung hanya dengan munculnya berbagai
proyek-proyek yang bersifat sektoral dan sesaat. Pak Menteri ini pasti telah
merangkai sebuah proyeksi tentang ekowisata Danau Toba yang multidimensi,
komprehensif, dan berkelanjutan. Proyeksi semacam itu akan memperkuat
legitimasi dan efektivitas BODT.
Pertama, BODT perlu
sejak awal menyadari bahwa Danau Toba dan kawasan sekitar bukan semata-mata
obyek alam, melainkan juga obyek kultural. Masyarakat di sekitar memiliki
sejarah dan keterikatan dengan alam. Bangunan kultural ini tidak hanya
menghadirkan keunikan, keagungan, atau keluhurannya, tetapi juga termasuk
kelemahan dan kekurangannya. Bagi sebagian masyarakat, khususnya subetnik
Toba, kaki gunung (pusuk) Buhit diyakini sebagai tempat lahirnya si Raja
Batak dan asal-usul masyarakat Batak.
Dari daerah inilah
keturunannya selanjutnya menyebar (diaspora) baik di sekitar Danau Toba dan
Samosir maupun ke daerah lain di Sumatera, Indonesia, serta mancanegara. Belakangan
ini, semakin banyak praktik di mana orang Batak yang meninggal di perantauan
dibawa pulang dan dimakamkan di daerah asalnya. Dengan kata lain, Samosir dan
daerah sekitar Danau Toba tidak hanya bermakna sebagai tempat (locus), tetapi habitus yang menyatupadukan
aspek-aspek teritorial, kultural, dan spiritual. Karena itu, menjadi perlu untuk
mengkhawatirkan apakah ritual-ritual semacam itu akan menjadi komoditas yang
juga akan "dijual".
Kedua, sangat penting
pula menegaskan bahwa masyarakat setempat harus menjadi pelaku utama dalam
pengembangan budaya baru bernama industri pariwisata ini. Walaupun orang
Batak biasa dikenal pintar, tegas, pekerja keras, toleran, dan memiliki
kemampuan adaptasi yang luar biasa, semua karakteristik itu tidak lantas sejalan
dengan tuntutan usaha jasa pariwisata.
Layanan berstandar
internasional sebagaimana diinginkan boleh jadi merupakan kualifikasi yang
justru akan memarjinalkan dan mengeliminasi. Sementara itu, kepintaran dan
ketegasan pun tidak selalu berkorelasi positif dengan kesediaan berbagi atau
menerima. Justru perlu diantisipasi bahwa sikap-sikap dasar semacam itu akan
menjadi sumber konflik, entah horizontal atau vertikal, dan menjadi
kontraproduktif terhadap akselerasi seperti yang diinginkan.
Karena itu, tampak
cukup jelas bahwa bila BODT ingin menjalankan peran sebagai koordinator,
akselerator, dan eksekutor dengan legitimasi dan efektivitas yang tinggi,
diperlukan desain pembangunan ekowisata yang berbasis masyarakat (community-based ecotourism) dan
sungguh-sungguh memerhatikan respek budaya dan konservasi lingkungan (cultural and environmental conservation).
Peran koordinatif yang dijalankan BODT pun hendaknya lebih bersifat
fasilitatif dan kolaboratif. Dengan demikian, tetap terbuka ruang bagi
masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah kabupaten untuk ambil bagian dalam
seluruh proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
keberlanjutannya.
Tidak dapat dimungkiri
bahwa semua prinsip di atas akan mewujudkan sustainable ecotourism yang
berarti kawasan wisata Danau Toba akan menjadi destinasi yang akan
berlangsung untuk selamanya. Ini bukan kumpulan proyek jangka pendek dan
sektoral. Pengadaan dan pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan,
dermaga, atau fasilitas fisik lainnya dan penataan tata ruang, mungkin bisa
dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat (misalnya sampai 10 atau 15
tahun); tetapi konservasi alam dan nilai-nilai historis dan budaya masyarakat
harus terus berlangsung karena sesungguhnya kegiatan dan manfaat ekonomi yang
akan diperoleh semuanya bertitik tolak pada konservasi alam, sejarah, dan
budaya masyarakat setempat.
Karena itu, keputusan
pemerintah mendirikan BODT harus dibaca sebagai mengemban misi ganda yang
tidak bisa dipisahkan: merawat (konservasi) dan memanfaatkan (utilisasi).
BODT ditujukan untuk memuliakan seluruh kekayaan alam, budaya, tradisi, dan
masyarakat, dan pada saat bersamaan memanfaatkannya sebagai sumber pendapatan
dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar