Dalil Pokok Kapitalisme :
Mengenang Ellen Meiksins Wood
Nadya Karimasari ; Mahasiswa Doktoral Universitas Wageningen,
Belanda
|
INDOPROGRESS, 09
Februari 2016
SEBAGAI orang yang
tidak punya properti, bekerja pun serabutan, mudah bagi saya untuk menerima
bahwa kapitalisme memang keparat. Namun, mengapa orang yang jauh lebih
teraniaya oleh kapitalisme justru tidak selalu merasakan hal yang sama?
Mengapa para pekerja yang diambil nilai lebihnya menerima kapitalisme sebagai
sistem politik-ekonomi terberi yang tidak mungkin lagi dipertanyakan atau
diubah? Sebagian jawaban dari teka-teki yang gampang-gampang susah ini, saya
temukan dalam karangan-karangan Ellen Meiksins Wood, salah satu ahli sejarah
politik paling brilian pada generasinya, yang berpulang awal tahun ini, 14
Januari 2016 pada usia 73 tahun.
Karya Wood yang
merentang selama lebih dari empat dekade, mencakup sejarah ‘pemerintahan’
sejak zaman Yunani Kuno, sejarah pemikiran politik yang dikontekskan dengan
kondisi sosial ekonomi masyarakat pada zamannya, masyarakat prakapitalis,
asal-usul kapitalisme, juga kajian tentang penjajahan dan sosialisme. Salah
satu karya kuncinya yang paling banyak menjadi rujukan adalah pembahasan
mengenai asal usul kapitalisme. Tulisan singkat ini coba membahas pokok
pikiran Wood tentang kapitalisme ini.
Salah kaprah kapitalisme
Wood secara lugas
menyatakan bahwa kapitalisme sering dipahami secara keliru sebagai sebuah
sistem politik-ekonomi yang lahir dari keniscayaan sejarah. Bahkan, oleh
sebagian kalangan Marxis sendiri, kapitalisme diterima sebagai evolusi
alamiah dari pembentangan sistem perdagangan. Akibatnya, kapitalisme
dipandang sebagai keniscayaan yang menjerat seluruh sendi kehidupan, tak
terelakkan dan sama sekali tidak mungkin untuk membebaskan diri darinya.
Contoh-contoh salah kaprah dalam memahami kapitalisme sering sekali saya
alami dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa mungkin juga pernah Anda alami,
antara lain:
Betapa sering, ketika
seseorang menyatakan dirinya antikapitalisme, ia akan mendapat cibiran,
‘antikapitalisme kok punya laptop?’ Ini mencerminkan anggapan umum yang pada
dasarnya mengidentikkan antikapitalisme dengan ketidakwarasan. Seolah-olah
memiliki laptop secara otomatis kontradiktif dengan antikapitalisme. Mengapa
demikian? Mengapa selalu laptop, atau kali lain, HP? Apakah karena laptop dan
HP dibuat di pabrik dengan mengambil nilai lebih dari keringat buruh? Atau,
apakah pertanyaannya seharusnya bukan ditujukan pada benda laptop yang
dimiliki itu melainkan pada konsep ‘kepemilikan’ itu sendiri? Bukankah
antikapitalisme artinya ‘anti-kepemilikan pribadi’?
Salah kaprah lain saya
jumpai dari kalangan intelektual. Seorang dosen HI UGM, yang dianggap Marxis
(setidaknya pada awal 2000-an) dan mengajar di kelas Globalisasi bertanya di
kelas: “kalau antikapitalisme, mau apa? Masa’ tidak ada jual beli? Masa’
kembali ke barter? Nabi Muhammad saja pedagang.” Ia menganggap bahwa
kapitalisme itu ekuivalen, atau setidaknya identik, dengan perdagangan.
Bahkan salah satu professor politik-ekonomi terkemuka Indonesia yang bekerja
di salah satu universitas bergengsi di luar negeri, pernah menjelaskan bahwa
masyarakat prakapitalis ditandai oleh terbatasnya penggunaan uang sebagai
alat tukar. Si profesor Marxis, yang terkenal dengan pendekatan pertarungan
sosial ini, secara tidak langsung mendefinisikan kapitalisme dari intensitas
peredaran uang.
Salah kaprah juga
menghinggapi pihak yang secara langsung menghadapi penghisapan di bawah
kapitalisme. Misalnya, ketika saya mengikuti lokakarya buruh sawit pada 2013,
seorang pemimpin serikat buruh sawit meminta saya membantu meneliti upah
minimum buruh perkebunan yang seharusnya berbeda dengan buruh industri,
karena mereka tinggal di ‘enclave’ yang membuat harga-harga lebih mahal.
Tanpa mengurangi rasa hormat pada serikat buruh sawit dan serikat buruh
industri pada umumnya, saya justru bertanya balik kepada mereka, ‘kenapa
harus upah minimum, Pak?’ Terus terang saya tidak mengerti mengapa upah harus
didasarkan pada perhitungan kebutuhan hidup minimum buruh.
Perhitungan upah
berdasar kebutuhan minimum ini membuat buruh rentan dicemooh karena membeli
motor atau berdarmawisata, atau yang bernada seksis, karena membeli bedak dan
minyak wangi yang termasuk komponen kebutuhan hidup layak. Saya, bilang,
‘upah minimum itu tidak ada apa-apanya Pak dibandingkan dengan apa yang sudah
Bapak berikan kepada perusahaan. Perusahaan bisa maju dan berkembang kan
karena kerja keras Bapak.’ Jadi mengapa tidak menghitung upah berdasarkan
bagian yang layak dari nilai yang sudah dikontribusikan buruh bagi
perusahaan? Ketua serikat buruh sawit itu justru berpikir tentang hal lain.
Selain mencari upah minimum, dia juga mengatakan akan memaksimalkan waktu
kerja selama mungkin dalam satu hari supaya mendapat upah tambahan. Dalam pandangan
saya, ketua itu tidak punya pilihan selain menerima penghisapan nilai lebih
tenaga kerja sebagai peluang mendapat tambahan gaji dari kerja upahan.
Alih-alih menuntut akumulasi kontribusi buruh terhadap keuntungan perusahaan,
si ketua justru menuntut perusahaan untuk meningkatkan jam eksploitasi
terhadap buruh. Hal ini membuat buruh sendiri sulit untuk punya imajinasi
bahwa bekerja di perkebunan atau industri bisa dilakukan tanpa tunduk dalam
dalil kapitalisme. Mereka yang paling berkepentingan untuk keluar justru
terpaksa habis-habisan memperkuat dan mengabdi pada kapitalisme.
Salah kaprah paling
aneh mengenai kapitalisme saya alami bersama teman-teman yang ‘mengaku’
anarkis. Pembahasan mengenai kapitalisme seperti sudah menjadi makanan
sehari-hari bagi mereka. Pada suatu hari mereka menjemput saya di bandara
tanpa parkir di tempat yang disediakan, alasannya tidak punya uang untuk
parkir. Setelah itu, mereka bercerita habis makan mie instan satu porsi untuk
berdua. Romantis? Bukan. Rupanya mereka menolak konsep dan praktik kerja
upahan itu sendiri. Bagi mereka kerja adalah bagian dari kapitalisme. Apakah
antikapitalisme artinya tidak boleh bekerja? Lalu muncul pertanyaan lanjutan
dalam benak saya, bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup? Belum lagi, bagaimana
melawan kapitalisme jika sehari-hari hanya makan mie instan setengah porsi?
Bukan salah orang
kebanyakan jika kapitalisme sering dipahami secara keliru. Wood menunjukkan
bahwa banyak ahli teori dan sejarawan Marxis sendiri sering salah kaprah mendefinisikan
dan memahami kapitalisme. Untuk menghindari kesalahan yang sama, Wood
menggunakan pendekatan materialisme historis dan menyajikan secara gamblang
asal usul kapitalisme dalam sejarah peradaban manusia. Pendekatan
materialisme historis memberikan porsi perhatian yang besar pada analisis
empiris terhadap aktivitas praktis yang terjadi dalam konteks sejarah
tertentu dan siapa pelaku-pelakunya, sembari menempatkan para pelaku serta
tindakan-tindakan mereka bukan semata-mata sebagai kehendak bebas tiap-tiap
pribadi, tetapi merupakan sesuatu yang dibatasi oleh kondisi historis pada
masa itu. Tanpa bertumpu pada sejarah, terutama melalui pendekatan
materialisme historis, banyak sarjana Marxis mengidap sekurang-kurangnya dua
salah krapah paling umum.
Pertama adalah salah
kaprah “model perdagangan”. Salah kaprah ini menganggap kapitalisme muncul
dari modal yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari selisih harga
perdagangan. Akumulasi primitif menurut Adam Smith (yang oleh Karl Marx
disebut sebagai “the so-called
primitive accumulation” bukan “the
real primitive accumulation”) dilakukan dengan cara membeli murah di satu
tempat dan menjualnya dengan harga lebih mahal di tempat lain dan dengan cara
berhemat. Kapitalisme dianggap sebagai kelanjutan alamiah dari relasi paling
purba dari manusia: perdagangan dan pertukaran barang dan jasa. Kesalahan
model ini, yang dicontohkan oleh dosen UGM, terletak pada pandangan bahwa
berdagang itu otomatis kapitalis dan tidak mungkin antikapitalisme tanpa
anti-perdagangan.
Kedua, sebut saja
“model Revolusi Industri”. Salah kaprah ini memandang kapitalisme bermula
dari berkembangnya teknologi di Inggris pada masa Revolusi Industri yang
menyebabkan “nilai lebih” tenaga kerja manusia di kota diserap oleh kegiatan
industrialisasi. Pengumpulan modal dilakukan dengan cara itu. Akibat cara
berpikir semacam ini, orang percaya bahwa antikapitalisme berarti tidak
memiliki barang-barang industri atau bahkan tidak melakukan kerja upahan.
Keduanya berakibat
pada kesimpulan bahwa kapitalisme adalah kelanjutan alamiah dari
tindakan-tindakan yang umum dilakukan sejak masa prakapitalis. Bibit
kapitalisme dipandang sudah ada sebelumnya di masa-masa jauh sebelumnya. Ia
hanya membutuhkan waktu dan tempat yang tepat untuk berkembang secara intensif
dan massif, dan kebetulan saja hal itu terjadi di Inggris. Pandangan ini
menempatkan kapitalisme sebagai sesuatu yang memang sudah ada dari sononya
dan niscaya. Akibatnya, segala sesuatu yang kita alami hari ini—sistem
perbankan, telepon pintar, makanan yang ada di atas meja makan—dianggap
sebagai penjelmaan kapitalisme karena susah sekali memahami apa ciri dan
dalil pokok kapitalisme yang membedakannya dari sistem-sistem sosial
sebelumnya.
Melalui pendekatan
materialisme historis, Wood dengan mudah menunjukkan betapa anakronistisnya
kesalahpahaman mengenai kapitalisme. Lewat sejarah, kita tahu bahwa
perdagangan dan uang berlaku jauh sebelum kapitalisme. Artinya, lama setelah
uang digunakan secara luas, kehidupan prakapitalisme masih berlangsung dan perdagangan
tanpa kapitalisme bukan hanya mungkin, tetapi merupakan kenyataan dominan
dalam sejarah manusia. Ia menjelaskan mengapa perdagangan Cina, Spanyol,
Belanda, Italia yang sangat maju pada masa kejayaannya tidak membuahkan
kapitalisme?
Penjelasan model
Revolusi Industri juga gugur untuk menjelaskan cikal bakal kapitalisme,
karena model ini menerima secara apa adanya bahwa revolusi industri berasal
dari kemajuan teknologi, tanpa mempertanyakan dan menguji
prakondisi-prakondisi yang memungkinkan revolusi industri. Misalnya, dari
mana asal usul tenaga kerja ‘bebas’, yang pada masa sebelumnya bukan suatu
hal yang umum? Wood (2002) mengujinya dengan mempertanyakan mengapa 40.8
persen penduduk Inggris pada abad 15 hidup di London? Mengapa dalam rentang
waktu kurang dari dua abad (1520-1700), penduduk kota itu meningkat hampir
1000 persen (dari 60.000 menjadi 575.000). Perkembangan ini tidak wajar
karena demografi kota-kota di Eropa, pada kurun waktu yang sama, relatif
stabil. Selain itu kesenjangan di antara kota-kota dalam negara yang sama
tidak besar seperti kesenjangan London dengan kota-kota lain di Inggris.
Pasar sebagai Paksaan
Perubahan dramatis di
Inggris membuka pertanyaan lebih mendasar tentang dari mana asal-usul
kapitalisme. Meskipun untuk sebagian ahli pertanyaan itu dianggap kurang
berguna, bagi Ellen Meiksins Wood, teka-teki tentang asal-usul kapitalisme
dapat digunakan untuk mencari dalil pokok kapitalisme. Wood mengokohkan diri
sebagai pemikir politik paling terpandang era ini karena tidak henti mencari
jawaban memuaskan atas pertanyaan sederhana itu. Dia tidak menemukan jawaban
itu di kota-kota dagang Eropa Barat (Amsterdam, Venesia, Florence, Paris)
seperti yang dipercayai oleh banyak ahli sejarah terkemuka, melainkan di
pedesaan Inggris.
Penjelasan asal mula
kapitalisme ia dasarkan pada karya dua ahli sejarah Marxis, Robert Brenner,
yang mengulas transisi dari feodalisme ke kapitalisme dan E.P. Thompson yang
menulis kemunculan kelas pekerja di Inggris. Bukan merupakan suatu
Eurosentrisme jika mereka selalu berpaling pada Eropa ketika membicarakan
cikal bakal kapitalisme, karena bagi mereka bertiga kapitalisme perlu
dipahami sebagai suatu fenomena yang tidak wajar, khas, dan sangat muda dalam
sejarah peradaban manusia.
Kapitalisme adalah
suatu sistem politik-ekonomi yang secara kualitatif berbeda dan terpatah dari
sistem-sistem sebelumnya. ‘Kekayaan’ itu tidak serta merta dengan sendirinya
dapat disebut sebagai ‘kapital’. ‘Kapital’ adalah suatu hubungan sosial yang
spesifik. Oleh karena itu, berapapun banyaknya jumlah modal yang dikumpulkan,
tidak dengan sendirinya membentuk kapitalisme sebab yang diperlukan oleh
kapitalisme adalah perubahan hubungan sosial yang menghidupkan ‘daya gerak’
kapitalisme: paksaan persaingan, maksimalisasi profit, keharusan untuk
menginvestasikan kembali laba, dan tak henti-henti memaksimalkan
produktivitas tenaga kerja serta pengembangan produksi (Wood, 2002: 36-37). Perubahan hubungan sosial itu terjadi ketika
orang diceraikan dari kepemilikan faktor produksi yang menyebabkan ia
tergantung pada hubungan sosial baru demi bertahan hidup.
Kapitalisme ditandai
oleh karakter hubungan sosial yang memaksa semua pelaku mengalami
ketergantungan pada pasar. Semua produksi harus ditujukan untuk pasar dan
semua yang terlibat di dalamnya tunduk dalam prinsip persaingan agar bisa
bertahan. Motif mengumpulkan laba lebih dominan daripada motif melakukan
proses produksi itu sendiri. Perbedaan kualitatif tersebut menunjukkan ada
satu titik mula definitif dan tertentu yang menandai esensi kapitalisme.
Konsekuensinya, ada pula titik akhirnya.
Berdasarkan pembacaan
sejarah, titik mula itu adalah Inggris. Di abad 16, karakter lapisan kelas
masyarakat Inggris sangat aneh jika dibandingkan jiran Eropa lain. Kelas
sosial di Inggris sejak penaklukan kaum Norman, menghasilkan monarki yang
sangat terpusat. Mekanisme paksaan melalui penggunaan senjata dimonopoli oleh
kerajaan. Akibatnya, berbeda dengan kelas yang sama di negara-negara tetangga,
kaum aristokrat tuan tanah di Inggris dilucuti dari kewenangan-kewenangan
ekstra-ekonomi untuk mendapatkan upeti dari petani. Bagaimana mereka bertahan
tanpa upeti, meskipun mereka menguasai tanah yang teramat luas? Ketiadaan
kewenangan ekstra-ekonomi tuan tanah menyebabkan mereka hanya bisa
mengandalkan mekanisme ekonomi, yakni harga pasar untuk sewa tanah.
Berbeda dengan
negara-negara tetangga di mana ongkos sewa tanah nilainya relatif stabil,
yang ditentukan melalui kesepakatan jangka panjang, tuan tanah di Inggris
harus menyewa surveyor untuk
memperkirakan berapa harga sewa yang seharusnya mampu diraup melalui
mekanisme pasar. Ini menyebabkan nilai sewa tanah berubah-ubah dan fluktuatif
seturut dengan ongkos dan hasil produksi serta konsumsi yang digerakkan oleh
pasar. Dipadu dengan kesenjangan penguasaan tanah yang luar biasa timpang,
para produsen (petani penggarap) di Inggris harus bersaing menawarkan harga
sewa paling tinggi untuk mendapatkan akses tanah dan melanjutkan proses
produksi. Agar bisa menawarkan harga sewa paling tinggi, petani-petani
tersebut harus meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya produksi
sehemat mungkin. Laba produksi tidak bisa diandalkan untuk memenuhi tuntutan
ongkos sewa yang kompetitif karena hasil penjualan bukanlah sesuatu yang bisa
mereka kendalikan, melainkan oleh pasar. Satu-satunya yang bisa mereka
lakukan adalah menekan ongkos produksi. Kebiasaan-kebiasaan lama, yakni
akses-akses non-pasar pada faktor produksi yang mengurangi keunggulan
kompetitif, harus disingkirkan demi bersaing di pasar.
Di sinilah pasar
menjadi kekuatan yang memaksa, bukan sebuah pilihan sebagaimana sistem
sebelumnya yang di dalamnya para penghasil atau produsen bebas menjual atau
tidak menjual hasil produksinya karena mereka tetap punya akses non-pasar
terhadap sarana reproduksi sosial untuk bertahan hidup. Inilah yang disebut
dengan kapitalisme: pasar bukanlah menjadi mekanisme perdagangan biasa,
melainkan penentu utama dan pengatur seluruh aspek kehidupan lainnya, bahkan
keberlangsungan hidup itu sendiri. Pasar bukan tempat yang menyenangkan bagi
semangat wirausaha, tetapi institusi koersif yang memaksakan persaingan dan
pencarian laba sebagai satu-satunya prinsip. Para petani penyewa dan pemilik
tanah kedua-duanya kapitalis, pertama-tama bukan karena mereka tamak atau
jahat, tetapi karena jika mereka tidak tunduk pada dalil persaingan paksa
dalam pasar, mereka tidak bisa mendapatkan akses subsistensi, tidak mampu
berproduksi dan melakukan reproduksi sosial: mereka terancam tidak bisa
sekadar bertahan seperti kondisi sebelumnya, bahkan tidak bisa bertahan hidup
tanpa berproduksi untuk pasar. Berlangsungnya dalil pokok kapitalisme, pasar
sebagai paksaan, menjadi penggerak ekonomi yang menyediakan prakondisi untuk
revolusi industri. Petani yang kalah bersaing dan kehilangan tanah gara-gara
persaingan pasar, tidak punya pilihan lain kecuali pergi ke London sebagai
buruh ‘bebas’, menawarkan tenaga kerja.
Implikasi Pemikiran Wood
Pemikiran Wood yang
hanya bisa dicuplik sebagiannya dalam tulisan ini, memiliki implikasi yang
koheren. Kapitalisme bukan sesuatu yang alamiah dan berkelanjutan sepanjang
sejarah. Fase kapitalisme punya titik mula, artinya juga titik akhir. Dalil
pokok kapitalisme bukanlah adanya sistem jual beli dan pengambilan laba,
kepemilikan pribadi, ataupun pengumpulan modal, melainkan bekerjanya pasar
sebagai penentu utama produksi dan pertukaran, dan konsekuensinya pengaturan
pembagian tenaga kerja. Pasar hadir sebagai paksaan, bukan pilihan. Hal ini
tidak datang secara alamiah dan terberi. Pasar telah ada jauh berabad-abad,
tetapi hanya setelah di Inggris abad 16-lah ia mulai berhasil menyingkirkan
para petani yang tidak bisa bersaing dalam produksi kompetitif. Kekuatan
pasar sebagai pemaksa ini mendorong maksimalisasi profit sebagai mekanisme
survival bagi produsen. Perusahaan, petani kapitalis, atau pemilik pabrik
mencari untung tidak semata-mata karena rakus, tatapi jika mereka tidak
berkompetisi untuk meningkatkan untung, mereka akan tersingkir dari pasar.
Perdagangan, laba
serta pengumpulan modal telah berlangsung beribu tahun tidak serta merta
merupakan kapitalisme, asalkan di dalamnya, akses non-pasar orang terhadap
faktor produksi tetap dipertahankan. Kepemilikan pribadi tidak secara
otomatis kapitalis. Di Cina kepemilikan pribadi sudah berlaku jauh sebelum
kapitalisme, dan tidak berujung pada kapitalisme. Yang menentukan adalah
apakah kepemilikan pribadi itu menjelma menjadi kekuatan politik bagi si
pemilik untuk memaksakan proses produksi demi pemenuhan kepentingannya, yakni
kepentingan untuk menyerap nilai lebih semaksimal mungkin dan membuat tenaga
kerja tunduk karena tanpa tunduk mempersembahkan tenaga kerjanya mereka
terancam tidak bisa bertahan hidup. Kelas pekerja, bukan hanya di kota
melainkan juga buruh tani, menjadi basis transformasi sosial. Proses dan
relasi produksi yang dilakukan adalah relasi yang diatur berdasarkan tujuan
yang ditentukan sendiri oleh pekerja yang bekerja di dalamnya (Wood, 1999). Tujuan dari usaha
tersebut bisa saja “peningkatan kualitas hidup”, emansipasi manusia (Wood, 1995), kondisi kerja, waktu
luang atau apa yang pada pokoknya adalah menomorsekiankan tuntutan pasar,
lebih baik lagi jika memberikan akses non-pasar sebesar mungkin untuk
reproduksi sosial dan menghilangkan kesenjangan kepemilikan faktor produksi.
Pada intinya,
antikapitalisme adalah menolak bahwa nilai utama yang menentukan dalam
hubungan sosial adalah meningkatkan profit dalam pasar kompetitif. Begitu
banyak nilai-nilai lain yang harus diutamakan daripada meningkatkan
produktivitas dan efisiensi. Usaha untuk menghapuskan hubungan sosial yang
tidak ditentukan oleh pemaksaan pasar bukanlah hal yang tidak wajar atau
tidak mungkin. Kita punya sejarah panjang perubahan radikal tentang apa yang
kita anggap wajar sekarang ini. Misalnya, dulu perbudakan dianggap wajar
namun sekarang tidak lagi. Demikian pula tenaga kerja anak-anak di
pertambangan dulu merupakan sesuatu yang sangat biasa kini menjadi dilarang,
setidaknya secara de jure. Contoh tersebut tepat sebagai ilustrasi antikapitalisme,
karena di dalam kapitalisme yang menempatkan paksaan pasar sebagai panglima,
tenaga kerja anak-anak di pertambangan akan tetap diberlakukan karena
mendukung maksimalisasi profit, produktivitas dan efisiensi. Terbukti, hal
itu bisa kita tolak, setidaknya secara normatif. Artinya, hal-hal dan
prinsip-prinsip lain juga seharusnya bisa tidak dinomorduakan oleh paksaan
pasar.
Demikianlah, tanpa
bermaksud menyederhanakan, sesungguhnya agenda antikapitalisme adalah
melepaskan berbagai aspek kehidupan dari tuntutan dalil paksaan pasar. Namun,
antikapitalisme tidak sama dan setara dengan antipasar. Antikapitalisme bukan
berarti tidak menggunakan laptop, tidak melakukan aktivitas jual beli,
penolakan untuk menggunakan uang sebagai alat tukar, atau yang lebih buruk
lagi, tidak bekerja. Antikapitalisme adalah usaha terus menerus untuk mencari
sistem politik-ekonomi yang tidak berlandaskan persaingan dan maksimalisasi
profit dalam pasar, dalam rangka menghilangkan hubungan dan eksploitasi
kapitalisme yang menghasilkan antagonisme pemilik dan pekerja. Ini, tidak
bisa tidak, mengarahkan kita untuk lebih jauh dalam mendalami
hubungan-hubungan kelas dalam kapitalisme dan terus berjuang untuk
menghilangkannya.
Banyak hubungan sosial
dan nilai-nilai lain yang bisa kita percayai dan terapkan untuk
diprioritaskan daripada prinsip persaingan pasar. Namun, jika ada yang bisa
kita pelajari dari warisan pemikiran Ellen Meiksins Wood, pelajaran itu
adalah betapa mengenanya pendekatan materialisme historis. Artinya, tidak
bisa hanya mengangankan nilai-nilai non-pasar untuk tumbuh, melainkan kita
harus juga bicara mengenai basis material yang memungkinkan bagi nilai-nilai
tersebut untuk bisa dinomorsatukan daripada nilai-nilai paksaan pasar. ●
|
Wood, Ellen Meiksins (1995) Democracy against Capitalism: Renewing Historical Materialism. Cambridge: Cambridge University Press
Wood, Ellen Meiksins (1999) The Retreat from Class: A New ‘True’ Socialism. London: Verso
Wood, Ellen Meiksins (2002) The Origin of Capitalism: a longer view. London: Verso
Wood, Ellen Meiksins (2012) The Ellen Meiksin Wood Reader diedit oleh Larry Patriquin. Boston: Brill
Tidak ada komentar:
Posting Komentar