Rabu, 10 Februari 2016

Dalil Pokok Kapitalisme : Mengenang Ellen Meiksins Wood

Dalil Pokok Kapitalisme :

Mengenang Ellen Meiksins Wood

Nadya Karimasari  ;   Mahasiswa Doktoral Universitas Wageningen, Belanda
                                             INDOPROGRESS, 09 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEBAGAI orang yang tidak punya properti, bekerja pun serabutan, mudah bagi saya untuk menerima bahwa kapitalisme memang keparat. Namun, mengapa orang yang jauh lebih teraniaya oleh kapitalisme justru tidak selalu merasakan hal yang sama? Mengapa para pekerja yang diambil nilai lebihnya menerima kapitalisme sebagai sistem politik-ekonomi terberi yang tidak mungkin lagi dipertanyakan atau diubah? Sebagian jawaban dari teka-teki yang gampang-gampang susah ini, saya temukan dalam karangan-karangan Ellen Meiksins Wood, salah satu ahli sejarah politik paling brilian pada generasinya, yang berpulang awal tahun ini, 14 Januari 2016 pada usia 73 tahun.

Karya Wood yang merentang selama lebih dari empat dekade, mencakup sejarah ‘pemerintahan’ sejak zaman Yunani Kuno, sejarah pemikiran politik yang dikontekskan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat pada zamannya, masyarakat prakapitalis, asal-usul kapitalisme, juga kajian tentang penjajahan dan sosialisme. Salah satu karya kuncinya yang paling banyak menjadi rujukan adalah pembahasan mengenai asal usul kapitalisme. Tulisan singkat ini coba membahas pokok pikiran Wood tentang kapitalisme ini.

Salah kaprah kapitalisme

Wood secara lugas menyatakan bahwa kapitalisme sering dipahami secara keliru sebagai sebuah sistem politik-ekonomi yang lahir dari keniscayaan sejarah. Bahkan, oleh sebagian kalangan Marxis sendiri, kapitalisme diterima sebagai evolusi alamiah dari pembentangan sistem perdagangan. Akibatnya, kapitalisme dipandang sebagai keniscayaan yang menjerat seluruh sendi kehidupan, tak terelakkan dan sama sekali tidak mungkin untuk membebaskan diri darinya. Contoh-contoh salah kaprah dalam memahami kapitalisme sering sekali saya alami dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa mungkin juga pernah Anda alami, antara lain:

Betapa sering, ketika seseorang menyatakan dirinya antikapitalisme, ia akan mendapat cibiran, ‘antikapitalisme kok punya laptop?’ Ini mencerminkan anggapan umum yang pada dasarnya mengidentikkan antikapitalisme dengan ketidakwarasan. Seolah-olah memiliki laptop secara otomatis kontradiktif dengan antikapitalisme. Mengapa demikian? Mengapa selalu laptop, atau kali lain, HP? Apakah karena laptop dan HP dibuat di pabrik dengan mengambil nilai lebih dari keringat buruh? Atau, apakah pertanyaannya seharusnya bukan ditujukan pada benda laptop yang dimiliki itu melainkan pada konsep ‘kepemilikan’ itu sendiri? Bukankah antikapitalisme artinya ‘anti-kepemilikan pribadi’?

Salah kaprah lain saya jumpai dari kalangan intelektual. Seorang dosen HI UGM, yang dianggap Marxis (setidaknya pada awal 2000-an) dan mengajar di kelas Globalisasi bertanya di kelas: “kalau antikapitalisme, mau apa? Masa’ tidak ada jual beli? Masa’ kembali ke barter? Nabi Muhammad saja pedagang.” Ia menganggap bahwa kapitalisme itu ekuivalen, atau setidaknya identik, dengan perdagangan. Bahkan salah satu professor politik-ekonomi terkemuka Indonesia yang bekerja di salah satu universitas bergengsi di luar negeri, pernah menjelaskan bahwa masyarakat prakapitalis ditandai oleh terbatasnya penggunaan uang sebagai alat tukar. Si profesor Marxis, yang terkenal dengan pendekatan pertarungan sosial ini, secara tidak langsung mendefinisikan kapitalisme dari intensitas peredaran uang.

Salah kaprah juga menghinggapi pihak yang secara langsung menghadapi penghisapan di bawah kapitalisme. Misalnya, ketika saya mengikuti lokakarya buruh sawit pada 2013, seorang pemimpin serikat buruh sawit meminta saya membantu meneliti upah minimum buruh perkebunan yang seharusnya berbeda dengan buruh industri, karena mereka tinggal di ‘enclave’ yang membuat harga-harga lebih mahal. Tanpa mengurangi rasa hormat pada serikat buruh sawit dan serikat buruh industri pada umumnya, saya justru bertanya balik kepada mereka, ‘kenapa harus upah minimum, Pak?’ Terus terang saya tidak mengerti mengapa upah harus didasarkan pada perhitungan kebutuhan hidup minimum buruh.

Perhitungan upah berdasar kebutuhan minimum ini membuat buruh rentan dicemooh karena membeli motor atau berdarmawisata, atau yang bernada seksis, karena membeli bedak dan minyak wangi yang termasuk komponen kebutuhan hidup layak. Saya, bilang, ‘upah minimum itu tidak ada apa-apanya Pak dibandingkan dengan apa yang sudah Bapak berikan kepada perusahaan. Perusahaan bisa maju dan berkembang kan karena kerja keras Bapak.’ Jadi mengapa tidak menghitung upah berdasarkan bagian yang layak dari nilai yang sudah dikontribusikan buruh bagi perusahaan? Ketua serikat buruh sawit itu justru berpikir tentang hal lain. Selain mencari upah minimum, dia juga mengatakan akan memaksimalkan waktu kerja selama mungkin dalam satu hari supaya mendapat upah tambahan. Dalam pandangan saya, ketua itu tidak punya pilihan selain menerima penghisapan nilai lebih tenaga kerja sebagai peluang mendapat tambahan gaji dari kerja upahan. Alih-alih menuntut akumulasi kontribusi buruh terhadap keuntungan perusahaan, si ketua justru menuntut perusahaan untuk meningkatkan jam eksploitasi terhadap buruh. Hal ini membuat buruh sendiri sulit untuk punya imajinasi bahwa bekerja di perkebunan atau industri bisa dilakukan tanpa tunduk dalam dalil kapitalisme. Mereka yang paling berkepentingan untuk keluar justru terpaksa habis-habisan memperkuat dan mengabdi pada kapitalisme.

Salah kaprah paling aneh mengenai kapitalisme saya alami bersama teman-teman yang ‘mengaku’ anarkis. Pembahasan mengenai kapitalisme seperti sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka. Pada suatu hari mereka menjemput saya di bandara tanpa parkir di tempat yang disediakan, alasannya tidak punya uang untuk parkir. Setelah itu, mereka bercerita habis makan mie instan satu porsi untuk berdua. Romantis? Bukan. Rupanya mereka menolak konsep dan praktik kerja upahan itu sendiri. Bagi mereka kerja adalah bagian dari kapitalisme. Apakah antikapitalisme artinya tidak boleh bekerja? Lalu muncul pertanyaan lanjutan dalam benak saya, bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup? Belum lagi, bagaimana melawan kapitalisme jika sehari-hari hanya makan mie instan setengah porsi?

Bukan salah orang kebanyakan jika kapitalisme sering dipahami secara keliru. Wood menunjukkan bahwa banyak ahli teori dan sejarawan Marxis sendiri sering salah kaprah mendefinisikan dan memahami kapitalisme. Untuk menghindari kesalahan yang sama, Wood menggunakan pendekatan materialisme historis dan menyajikan secara gamblang asal usul kapitalisme dalam sejarah peradaban manusia. Pendekatan materialisme historis memberikan porsi perhatian yang besar pada analisis empiris terhadap aktivitas praktis yang terjadi dalam konteks sejarah tertentu dan siapa pelaku-pelakunya, sembari menempatkan para pelaku serta tindakan-tindakan mereka bukan semata-mata sebagai kehendak bebas tiap-tiap pribadi, tetapi merupakan sesuatu yang dibatasi oleh kondisi historis pada masa itu. Tanpa bertumpu pada sejarah, terutama melalui pendekatan materialisme historis, banyak sarjana Marxis mengidap sekurang-kurangnya dua salah krapah paling umum.

Pertama adalah salah kaprah “model perdagangan”. Salah kaprah ini menganggap kapitalisme muncul dari modal yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari selisih harga perdagangan. Akumulasi primitif menurut Adam Smith (yang oleh Karl Marx disebut sebagai “the so-called primitive accumulation” bukan “the real primitive accumulation”) dilakukan dengan cara membeli murah di satu tempat dan menjualnya dengan harga lebih mahal di tempat lain dan dengan cara berhemat. Kapitalisme dianggap sebagai kelanjutan alamiah dari relasi paling purba dari manusia: perdagangan dan pertukaran barang dan jasa. Kesalahan model ini, yang dicontohkan oleh dosen UGM, terletak pada pandangan bahwa berdagang itu otomatis kapitalis dan tidak mungkin antikapitalisme tanpa anti-perdagangan.

Kedua, sebut saja “model Revolusi Industri”. Salah kaprah ini memandang kapitalisme bermula dari berkembangnya teknologi di Inggris pada masa Revolusi Industri yang menyebabkan “nilai lebih” tenaga kerja manusia di kota diserap oleh kegiatan industrialisasi. Pengumpulan modal dilakukan dengan cara itu. Akibat cara berpikir semacam ini, orang percaya bahwa antikapitalisme berarti tidak memiliki barang-barang industri atau bahkan tidak melakukan kerja upahan.

Keduanya berakibat pada kesimpulan bahwa kapitalisme adalah kelanjutan alamiah dari tindakan-tindakan yang umum dilakukan sejak masa prakapitalis. Bibit kapitalisme dipandang sudah ada sebelumnya di masa-masa jauh sebelumnya. Ia hanya membutuhkan waktu dan tempat yang tepat untuk berkembang secara intensif dan massif, dan kebetulan saja hal itu terjadi di Inggris. Pandangan ini menempatkan kapitalisme sebagai sesuatu yang memang sudah ada dari sononya dan niscaya. Akibatnya, segala sesuatu yang kita alami hari ini—sistem perbankan, telepon pintar, makanan yang ada di atas meja makan—dianggap sebagai penjelmaan kapitalisme karena susah sekali memahami apa ciri dan dalil pokok kapitalisme yang membedakannya dari sistem-sistem sosial sebelumnya.

Melalui pendekatan materialisme historis, Wood dengan mudah menunjukkan betapa anakronistisnya kesalahpahaman mengenai kapitalisme. Lewat sejarah, kita tahu bahwa perdagangan dan uang berlaku jauh sebelum kapitalisme. Artinya, lama setelah uang digunakan secara luas, kehidupan prakapitalisme masih berlangsung dan perdagangan tanpa kapitalisme bukan hanya mungkin, tetapi merupakan kenyataan dominan dalam sejarah manusia. Ia menjelaskan mengapa perdagangan Cina, Spanyol, Belanda, Italia yang sangat maju pada masa kejayaannya tidak membuahkan kapitalisme?

Penjelasan model Revolusi Industri juga gugur untuk menjelaskan cikal bakal kapitalisme, karena model ini menerima secara apa adanya bahwa revolusi industri berasal dari kemajuan teknologi, tanpa mempertanyakan dan menguji prakondisi-prakondisi yang memungkinkan revolusi industri. Misalnya, dari mana asal usul tenaga kerja ‘bebas’, yang pada masa sebelumnya bukan suatu hal yang umum? Wood (2002) mengujinya dengan mempertanyakan mengapa 40.8 persen penduduk Inggris pada abad 15 hidup di London? Mengapa dalam rentang waktu kurang dari dua abad (1520-1700), penduduk kota itu meningkat hampir 1000 persen (dari 60.000 menjadi 575.000). Perkembangan ini tidak wajar karena demografi kota-kota di Eropa, pada kurun waktu yang sama, relatif stabil. Selain itu kesenjangan di antara kota-kota dalam negara yang sama tidak besar seperti kesenjangan London dengan kota-kota lain di Inggris.

Pasar sebagai Paksaan

Perubahan dramatis di Inggris membuka pertanyaan lebih mendasar tentang dari mana asal-usul kapitalisme. Meskipun untuk sebagian ahli pertanyaan itu dianggap kurang berguna, bagi Ellen Meiksins Wood, teka-teki tentang asal-usul kapitalisme dapat digunakan untuk mencari dalil pokok kapitalisme. Wood mengokohkan diri sebagai pemikir politik paling terpandang era ini karena tidak henti mencari jawaban memuaskan atas pertanyaan sederhana itu. Dia tidak menemukan jawaban itu di kota-kota dagang Eropa Barat (Amsterdam, Venesia, Florence, Paris) seperti yang dipercayai oleh banyak ahli sejarah terkemuka, melainkan di pedesaan Inggris.

Penjelasan asal mula kapitalisme ia dasarkan pada karya dua ahli sejarah Marxis, Robert Brenner, yang mengulas transisi dari feodalisme ke kapitalisme dan E.P. Thompson yang menulis kemunculan kelas pekerja di Inggris. Bukan merupakan suatu Eurosentrisme jika mereka selalu berpaling pada Eropa ketika membicarakan cikal bakal kapitalisme, karena bagi mereka bertiga kapitalisme perlu dipahami sebagai suatu fenomena yang tidak wajar, khas, dan sangat muda dalam sejarah peradaban manusia.

Kapitalisme adalah suatu sistem politik-ekonomi yang secara kualitatif berbeda dan terpatah dari sistem-sistem sebelumnya. ‘Kekayaan’ itu tidak serta merta dengan sendirinya dapat disebut sebagai ‘kapital’. ‘Kapital’ adalah suatu hubungan sosial yang spesifik. Oleh karena itu, berapapun banyaknya jumlah modal yang dikumpulkan, tidak dengan sendirinya membentuk kapitalisme sebab yang diperlukan oleh kapitalisme adalah perubahan hubungan sosial yang menghidupkan ‘daya gerak’ kapitalisme: paksaan persaingan, maksimalisasi profit, keharusan untuk menginvestasikan kembali laba, dan tak henti-henti memaksimalkan produktivitas tenaga kerja serta pengembangan produksi (Wood, 2002: 36-37). Perubahan hubungan sosial itu terjadi ketika orang diceraikan dari kepemilikan faktor produksi yang menyebabkan ia tergantung pada hubungan sosial baru demi bertahan hidup.

Kapitalisme ditandai oleh karakter hubungan sosial yang memaksa semua pelaku mengalami ketergantungan pada pasar. Semua produksi harus ditujukan untuk pasar dan semua yang terlibat di dalamnya tunduk dalam prinsip persaingan agar bisa bertahan. Motif mengumpulkan laba lebih dominan daripada motif melakukan proses produksi itu sendiri. Perbedaan kualitatif tersebut menunjukkan ada satu titik mula definitif dan tertentu yang menandai esensi kapitalisme. Konsekuensinya, ada pula titik akhirnya.

Berdasarkan pembacaan sejarah, titik mula itu adalah Inggris. Di abad 16, karakter lapisan kelas masyarakat Inggris sangat aneh jika dibandingkan jiran Eropa lain. Kelas sosial di Inggris sejak penaklukan kaum Norman, menghasilkan monarki yang sangat terpusat. Mekanisme paksaan melalui penggunaan senjata dimonopoli oleh kerajaan. Akibatnya, berbeda dengan kelas yang sama di negara-negara tetangga, kaum aristokrat tuan tanah di Inggris dilucuti dari kewenangan-kewenangan ekstra-ekonomi untuk mendapatkan upeti dari petani. Bagaimana mereka bertahan tanpa upeti, meskipun mereka menguasai tanah yang teramat luas? Ketiadaan kewenangan ekstra-ekonomi tuan tanah menyebabkan mereka hanya bisa mengandalkan mekanisme ekonomi, yakni harga pasar untuk sewa tanah.

Berbeda dengan negara-negara tetangga di mana ongkos sewa tanah nilainya relatif stabil, yang ditentukan melalui kesepakatan jangka panjang, tuan tanah di Inggris harus menyewa surveyor untuk memperkirakan berapa harga sewa yang seharusnya mampu diraup melalui mekanisme pasar. Ini menyebabkan nilai sewa tanah berubah-ubah dan fluktuatif seturut dengan ongkos dan hasil produksi serta konsumsi yang digerakkan oleh pasar. Dipadu dengan kesenjangan penguasaan tanah yang luar biasa timpang, para produsen (petani penggarap) di Inggris harus bersaing menawarkan harga sewa paling tinggi untuk mendapatkan akses tanah dan melanjutkan proses produksi. Agar bisa menawarkan harga sewa paling tinggi, petani-petani tersebut harus meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya produksi sehemat mungkin. Laba produksi tidak bisa diandalkan untuk memenuhi tuntutan ongkos sewa yang kompetitif karena hasil penjualan bukanlah sesuatu yang bisa mereka kendalikan, melainkan oleh pasar. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah menekan ongkos produksi. Kebiasaan-kebiasaan lama, yakni akses-akses non-pasar pada faktor produksi yang mengurangi keunggulan kompetitif, harus disingkirkan demi bersaing di pasar.

Di sinilah pasar menjadi kekuatan yang memaksa, bukan sebuah pilihan sebagaimana sistem sebelumnya yang di dalamnya para penghasil atau produsen bebas menjual atau tidak menjual hasil produksinya karena mereka tetap punya akses non-pasar terhadap sarana reproduksi sosial untuk bertahan hidup. Inilah yang disebut dengan kapitalisme: pasar bukanlah menjadi mekanisme perdagangan biasa, melainkan penentu utama dan pengatur seluruh aspek kehidupan lainnya, bahkan keberlangsungan hidup itu sendiri. Pasar bukan tempat yang menyenangkan bagi semangat wirausaha, tetapi institusi koersif yang memaksakan persaingan dan pencarian laba sebagai satu-satunya prinsip. Para petani penyewa dan pemilik tanah kedua-duanya kapitalis, pertama-tama bukan karena mereka tamak atau jahat, tetapi karena jika mereka tidak tunduk pada dalil persaingan paksa dalam pasar, mereka tidak bisa mendapatkan akses subsistensi, tidak mampu berproduksi dan melakukan reproduksi sosial: mereka terancam tidak bisa sekadar bertahan seperti kondisi sebelumnya, bahkan tidak bisa bertahan hidup tanpa berproduksi untuk pasar. Berlangsungnya dalil pokok kapitalisme, pasar sebagai paksaan, menjadi penggerak ekonomi yang menyediakan prakondisi untuk revolusi industri. Petani yang kalah bersaing dan kehilangan tanah gara-gara persaingan pasar, tidak punya pilihan lain kecuali pergi ke London sebagai buruh ‘bebas’, menawarkan tenaga kerja.

Implikasi Pemikiran Wood

Pemikiran Wood yang hanya bisa dicuplik sebagiannya dalam tulisan ini, memiliki implikasi yang koheren. Kapitalisme bukan sesuatu yang alamiah dan berkelanjutan sepanjang sejarah. Fase kapitalisme punya titik mula, artinya juga titik akhir. Dalil pokok kapitalisme bukanlah adanya sistem jual beli dan pengambilan laba, kepemilikan pribadi, ataupun pengumpulan modal, melainkan bekerjanya pasar sebagai penentu utama produksi dan pertukaran, dan konsekuensinya pengaturan pembagian tenaga kerja. Pasar hadir sebagai paksaan, bukan pilihan. Hal ini tidak datang secara alamiah dan terberi. Pasar telah ada jauh berabad-abad, tetapi hanya setelah di Inggris abad 16-lah ia mulai berhasil menyingkirkan para petani yang tidak bisa bersaing dalam produksi kompetitif. Kekuatan pasar sebagai pemaksa ini mendorong maksimalisasi profit sebagai mekanisme survival bagi produsen. Perusahaan, petani kapitalis, atau pemilik pabrik mencari untung tidak semata-mata karena rakus, tatapi jika mereka tidak berkompetisi untuk meningkatkan untung, mereka akan tersingkir dari pasar.

Perdagangan, laba serta pengumpulan modal telah berlangsung beribu tahun tidak serta merta merupakan kapitalisme, asalkan di dalamnya, akses non-pasar orang terhadap faktor produksi tetap dipertahankan. Kepemilikan pribadi tidak secara otomatis kapitalis. Di Cina kepemilikan pribadi sudah berlaku jauh sebelum kapitalisme, dan tidak berujung pada kapitalisme. Yang menentukan adalah apakah kepemilikan pribadi itu menjelma menjadi kekuatan politik bagi si pemilik untuk memaksakan proses produksi demi pemenuhan kepentingannya, yakni kepentingan untuk menyerap nilai lebih semaksimal mungkin dan membuat tenaga kerja tunduk karena tanpa tunduk mempersembahkan tenaga kerjanya mereka terancam tidak bisa bertahan hidup. Kelas pekerja, bukan hanya di kota melainkan juga buruh tani, menjadi basis transformasi sosial. Proses dan relasi produksi yang dilakukan adalah relasi yang diatur berdasarkan tujuan yang ditentukan sendiri oleh pekerja yang bekerja di dalamnya (Wood, 1999). Tujuan dari usaha tersebut bisa saja “peningkatan kualitas hidup”, emansipasi manusia (Wood, 1995), kondisi kerja, waktu luang atau apa yang pada pokoknya adalah menomorsekiankan tuntutan pasar, lebih baik lagi jika memberikan akses non-pasar sebesar mungkin untuk reproduksi sosial dan menghilangkan kesenjangan kepemilikan faktor produksi.

Pada intinya, antikapitalisme adalah menolak bahwa nilai utama yang menentukan dalam hubungan sosial adalah meningkatkan profit dalam pasar kompetitif. Begitu banyak nilai-nilai lain yang harus diutamakan daripada meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Usaha untuk menghapuskan hubungan sosial yang tidak ditentukan oleh pemaksaan pasar bukanlah hal yang tidak wajar atau tidak mungkin. Kita punya sejarah panjang perubahan radikal tentang apa yang kita anggap wajar sekarang ini. Misalnya, dulu perbudakan dianggap wajar namun sekarang tidak lagi. Demikian pula tenaga kerja anak-anak di pertambangan dulu merupakan sesuatu yang sangat biasa kini menjadi dilarang, setidaknya secara de jure. Contoh tersebut tepat sebagai ilustrasi antikapitalisme, karena di dalam kapitalisme yang menempatkan paksaan pasar sebagai panglima, tenaga kerja anak-anak di pertambangan akan tetap diberlakukan karena mendukung maksimalisasi profit, produktivitas dan efisiensi. Terbukti, hal itu bisa kita tolak, setidaknya secara normatif. Artinya, hal-hal dan prinsip-prinsip lain juga seharusnya bisa tidak dinomorduakan oleh paksaan pasar.

Demikianlah, tanpa bermaksud menyederhanakan, sesungguhnya agenda antikapitalisme adalah melepaskan berbagai aspek kehidupan dari tuntutan dalil paksaan pasar. Namun, antikapitalisme tidak sama dan setara dengan antipasar. Antikapitalisme bukan berarti tidak menggunakan laptop, tidak melakukan aktivitas jual beli, penolakan untuk menggunakan uang sebagai alat tukar, atau yang lebih buruk lagi, tidak bekerja. Antikapitalisme adalah usaha terus menerus untuk mencari sistem politik-ekonomi yang tidak berlandaskan persaingan dan maksimalisasi profit dalam pasar, dalam rangka menghilangkan hubungan dan eksploitasi kapitalisme yang menghasilkan antagonisme pemilik dan pekerja. Ini, tidak bisa tidak, mengarahkan kita untuk lebih jauh dalam mendalami hubungan-hubungan kelas dalam kapitalisme dan terus berjuang untuk menghilangkannya.

Banyak hubungan sosial dan nilai-nilai lain yang bisa kita percayai dan terapkan untuk diprioritaskan daripada prinsip persaingan pasar. Namun, jika ada yang bisa kita pelajari dari warisan pemikiran Ellen Meiksins Wood, pelajaran itu adalah betapa mengenanya pendekatan materialisme historis. Artinya, tidak bisa hanya mengangankan nilai-nilai non-pasar untuk tumbuh, melainkan kita harus juga bicara mengenai basis material yang memungkinkan bagi nilai-nilai tersebut untuk bisa dinomorsatukan daripada nilai-nilai paksaan pasar.


Kepustakaan:
Wood, Ellen Meiksins (1995) Democracy against Capitalism: Renewing Historical Materialism. Cambridge: Cambridge University Press
Wood, Ellen Meiksins (1999) The Retreat from Class: A New ‘True’ Socialism. London: Verso
Wood, Ellen Meiksins (2002) The Origin of Capitalism: a longer view. London: Verso

Wood, Ellen Meiksins (2012) The Ellen Meiksin Wood Reader diedit oleh Larry Patriquin. Boston: Brill

Tidak ada komentar:

Posting Komentar