Jumat, 03 Oktober 2014

UU Kelautan dan Laut Kita

                                      UU Kelautan dan Laut Kita

Rhenald Kasali ;   Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
KORAN SINDO,  02 Oktober 2014

                                                                                                                       


Saya membacanya di sebuah media online. Begini ceritanya. Sabtu, 11 Januari 2014, sebuah kapal berbendera Indonesia berangkat dari Pelabuhan Teluk Bayur di Padang, Sumatera Barat.

Kapal yang mengangkut 2.300 metrik ton semen itu hendak menuju Pulau Nias di sebelah barat Sumatera. Jaraknya tidak jauh bukan? Beberapa saat setelah bertolak dari pelabuhan, tiba-tiba petugas Keamanan Laut (Kamla) dari TNI Angkutan Laut mengejar kapal tersebut. Mereka memaksa naik, memeriksa kapal dan menahannya selama sekitar 22 jam. Padahal, sebelumnya pihak syahbandar dan otoritas pelabuhan sudah memberikan surat persetujuan untuk berlayar.

Kasus serupa berulang esok harinya. Kapal berbendera Hong Kong berangkat dari Pelabuhan Teluk Bayur menuju China. Kapal itu memuat 32.000 metrik ton bijih besi. Meski dokumen keberangkatan sudah lengkap, petugas Kamla TNI AL bersikeras untuk memeriksa kapal. Akibatnya pemberangkatan kapal tertunda sekitar 15 jam. Sampai sekarang tak pernah terungkap apa yang terjadi di atas kapalkapal tersebut. Kita tentu hanya bisa menduga-duga.

Sebagai orang kampus dan praktisi bisnis, saya pasti menunggu jawaban dan jalan keluarnya. Mahasiswa saya selalu menanyakan, kapan negeri ini menjadi lebih baik? Mereka juga gemes, tangannya gatal untuk melakukan perubahan. Apa pun, kasus itu menjadi potret dari buruknya koordinasi antarinstansi di pelabuhan-pelabuhan kita. Pemicunya boleh jadi karena banyaknya instansi yang merasa punya hak dan bertanggung jawab untuk ikut mengurus pelabuhan di Indonesia.

Lihat saja, di sana ada aparat Imigrasi, Bea Cukai, Badan Karantina, kepolisian, otorita pelabuhan, syahbandar, otoritas kesehatan dan bahkan TNI AL. Mereka tidak menyadari, waktu yang hilang akibat pemeriksaan yang semenamena, berita negatif tentang negeri yang sungguh tidak efisien dan semuanya asyik main sendiri-sendiri serta kerugian ekonomi yang muncul akibat perilaku-perilaku buruk itu.

Mengurus laut adalah mengurus pelabuhan, transportasi, birokrasi dan logistiknya. Jika mengurus birokrasi pelabuhannya saja sudah ambu-radul, hampir pasti mengurus lautnya juga bakal kacau balau. Bagi saya, buruknya koordinasi di pelabuhan adalah potret dari lemahnya kepemimpinan kita.

Saya petik saja sebuah kutipan dari www.thinkexist.com , ”Leadership has to do with direction. Management has to do with the speed, coordination and logistics in going in that direction.” Jadi, menetapkan arah adalah tugas dari seorang pemimpin. Jika arahnya tak jelas, kecepatan dan koordinasi menjadi masalah. Juga, tak ada dukungan logistik untuk itu.

Optimalkan Potensi

Senin (29/9) lalu kita baru saja mengetuk palu untuk mengesahkan RUU Kelautan menjadi UU Kelautan. Hadirnya undang- undang ini, saya kira, patut menjadi catatan tersendiri. Sebab, sebetulnya kita sudah sejak 1999 memiliki portofolio menteri kelautan dan perikanan— meski waktu itu di era Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001) namanya masih menteri eksplorasi laut.

Kemudian undang-undang itu juga baru hadir setelah kita 69 tahun merdeka. Jadi, begitu lama dan kita harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Lihat saja, setiap tahun Indonesia harus menanggung rugi ratusan triliun rupiah akibat ikan-ikan kita dicuri oleh nelayan-nelayan asing. Semua akibat ketidakmampuan kita menjaga laut kita sendiri. Kita juga tidak berhasil memanfaatkan kekayaan laut secara optimal.

Padahal, selain ikan, masih banyak kekayaan laut lainnya yang bisa kita eksplorasi. Misalnya, dalam bentuk sumber daya terbarukan, seperti rumput laut, hutan mangrove, atau terumbu karangnya. Laut kita juga menyimpan sumber daya alam yang tidak terbarukan, seperti minyak, gas serta hasil tambang dan mineral lain, yang belum kita eksplorasi. Kita masih tertinggal dalam pengembangan teknologi eksplorasi di laut dalam.

Kita juga belum berhasil mengonversi energi yang tersimpan di laut menjadi energi yang bisa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam bentuk pembangkit listrik bertenaga arus laut, energi gelombang, atau bahkan dari panas laut. Kita juga belum mengoptimalkan potensi laut sebagai salah satu kekayaan wisata. Di sini wisata bahari belum berkembang sebagaimana layaknya wisata di daratan.

Mungkin pengenalan kita akan laut baru sebatas pada pantai dan pulaupulaunya. Belum laut dengan kehidupan para nelayannya. Untuk memastikan hal itu, kita bisa mengujinya dengan cara sederhana. Cobalah minta anak-anak Anda untuk menggambar petani. Mereka akan dengan mudah menggambar seseorang yang berdiri di tengah sawah dengan memakai caping dan memanggul cangkul. Sekarang cobalah minta anak-anak kita menggambar sosok seorang nelayan? Sebagian mungkin akan kebingungan.

Snowball Effect

Baiklah kita bicara dalam potret global. Indonesia adalah negara kelautan yang ditaburi oleh sekitar 17.504 pulau. Saya menyebut ”sekitar” untuk menggambarkan betapa kita sebetulnya belum mempunyai data yang akurat soal jumlah pulau ini. Angka 17.504 pulau saya ambil dari data Kementerian Pertahanan. Data dari instansi lain hampir pasti akan berbeda-beda. Lokasi kita juga sungguh sangat strategis.

Dulu kegiatan ekonomi terpusat di poros Atlantik atau di negara-negara maju di kawasan utara. Kini hampir 70% kegiatan perdagangan dunia terjadi di kawasan Asia-Pasifik. Lalu, dari seluruh kegiatan perdagangan di kawasan tersebut, 75 persennya dikirimkan melalui transportasi laut. Ini yang mungkin kita belum banyak tahu. Rupanya kapal-kapal yang mengangkut barangbarang yang diperdagangkan di kawasan Asia-Pasifik tersebut melintasi tiga selat kita, yakni Selat Lombok, Selat Makassar, dan Selat Malaka.

Mantan Menteri Perikanan Rokhmin Dahuri memperkirakan nilai barang yang melintasi kawasan kita mencapai USD1.500 triliun per tahun. Ini kira-kira setara dengan Rp17.250 biliun, atau hampir 10.000 kali lipat dari APBN kita untuk tahun 2014. Dengan nilai transaksi yang sebesar itu, Indonesia sebetulnya sangat potensial untuk menjadi pusat atau jantung perdagangan di kawasan Asia- Pasifik.

Kita mestinya bisa memetik banyak manfaat lalu lintas perdagangan tersebut. Kenyataannya? Saya kira kita masih membuat daftar panjang tentang betapa lemahnya kita dalam mengoptimalkan kekayaan laut dan kawasan perairannya. Lalu, sejauh mana UU Kelautan bisa menjadi payung hukum untuk membuat kinerja sektor kelautan optimal? Saya punya satu asumsi sederhana.

Kalau ingin mengoptimalkan kinerja sektor kelautan, kita harus mulai membereskan benang kusut di pelabuhanpelabuhan kita. UU Kelautan punya daya gedor untuk itu. Salah satunya adalah soal Kamla tadi. UU Kelautan menegaskan bahwa untuk urusan Kamla bakal ditangani oleh satu lembaga tunggal yang kalau di luar negeri semacam Sea & Coast Guard .

Jadi dengan adanya satu lembaga tunggal, tak perlu lagi petugas Kamla TNI AL memaksa untuk naik dan memeriksa kapal, sebagaimana terjadi di Pelabuhan Teluk Bayur tadi. Itu baru satu. Tapi, kalau yang satu ini berhasil kita bereskan, dampaknya bisa seperti snowball effect. Sekali bergulir, ia kian sulit dihentikan. Malah kian lama malah justru kian membesar. Saya bukan hanya berharap itu terjadi, tetapi yakin itu bakal terjadi.

Saya percaya ini akan menjadi perhatian serius presiden terpilih, Indonesia akan punya menteri maritim yang hebat, dan untuk itu birokrasi pun wajib diremajakan. Perubahan membutuhkan orang-orang tangguh yang mau berkorban. Ayo dong!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar