Jumat, 03 Oktober 2014

Negara Hukum yang Sejahtera

                                  Negara Hukum yang Sejahtera

Romli Atmasasmita  ;   Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO,  02 Oktober 2014

                                                                                                                       


JUDUL tulisan di atas merupakan perpaduan sekaligus abstraksi dari ketentuan UUD 1945, khususnya Bab I Pasal 1 ayat (3) dan Bab XIV Pasal 33.

Belanda menganut negara kesejahteraan (welfare state), namun di dalam perkembangan pembentukan hukumnya termasuk hukum pidana telah diarahkan kepada hukum yang menyejahterakan rakyatnya.

Indonesia di dalam konstitusi UUD 1945 telah secara eksplisit menyatakan sebagai negara hukum, tetapi dalam perkembangan pembentukan hukumnya sering melupakan amanat konstitusi UUD 1945, khususnya Bab XIV tersebut.

Dalam kenyataannya memang benar bahwa dalam setiap perancangan UU hampir tidak pernah diperhatikan secara sungguh-sungguh ketentuan Bab XIV khusus Pasal 33 tersebut dengan persepsi bahwa urusan tugas meningkatkan kesejahteraan hanya berada pada pundak ahli ekonomi dan birokrat ekonom yang ada di pemerintahan.

Sedangkan setiap langkah kebijakan ekonomi harus dilandaskan pada aturan hukum yang memperkuat kebijakan di bidang ekonomi dengan tujuan mencapai kesejahteraan. Di kalangan para ahli hukum sampai saat ini di Indonesia terdapat persepsi keliru bahwa hukum tidak ada kaitan dan relevansinya dengan ekonomi. Begitupula sebaliknya.

Kekeliruan persepsi para ahli dan praktisi hukum tentu bersumber pada masalah pendidikan hukum dan ekonomi di perguruan tinggi yang tidak memberikan kesempatan untuk memilih mata kuliah di luar lingkup kurikulum fakultasnya masing-masing.

Dalam praktik dan pengalaman penulis, ketika disusun UU tentang Kepailitan atau UU Perseroan Terbatas, hampir dipastikan tim penyusun 99-100% adalah memiliki latar belakang pendidikan hukum; keikutsertaan ahli ekonomi dan pemangku kepentingan cukup pada sosialisasi atau RDPU.

Begitu pula ahli ekonomi pengambil kebijakan di negeri ini sering berpandangan keliru bahwa hukum hanya alat (tool) untuk mewujudkan kebijakan ekonomi di dalam kenyataan masyarakat; juga sering diabaikan peranan para ahli hukum di mana mereka seharusnya bekerja sama.

Peristiwa BLBI dan Bank Century antara lain disebabkan masih ada sekat parokialisme yang tegas di antara dua ahli tersebut dalam membahas permasalahan bangsa dan negara. Keadaan kontroversial penuh rasa keakuan tersebut juga berlaku bagi dua golongan para ahli tersebut terhadap ahli ilmu politik. Akibat itu, undangundang yang telah ditetapkan satu sama lain sering tidak jelas arah politik hukum yang seharusnya dianut di dalam membawa perjalanan bangsa ini ke depan.

Dalam kurun waktu 69 tahun Indonesia merdeka, saya mengamati dan meneliti bahwa sampai saat ini politik hukum Indonesia merdeka belum jelas arah capaiannya menciptakan kesejahteraan di dalam perlindungan hukum yang adil, pasti, dan bermanfaat bagi rakyatnya. Mekanisme yang cocok dalam penyusunan suatu naskah RUU terkait semua sektor kehidupan di negara ini seharusnya tetap mengikutsertakan para ahli ekonomi dan ahli ilmu politik sesuai kekhususannya masing-masing.

Kementerian satu-satunya yang merupakan koordinator proses legislasi sejak proses penyusunan, harmonisasi, dan sinkronisasi sampai pada proses pembahasan naskah RUU seharusnya Kementerian Hukum dan HAM; dan seharusnya juga merupakan satu pintu proses legislasi sehingga tidak ada lagi K/L bekerja sendiri dan langsung “bekerja sama” dengan DPR RI di dalam menggolkan sebuah RUU.

Dalam kenyataan terjadi kebalikannya; jika K/L tidak berhasil menembus proses legislasi yang dikoordinasi oleh Kementerian Hukum dan HAM, mereka berkolaborasi dengan anggota DPR RI agar RUU yang disiapkan K/L berhasil dan tentu tidak ada makan siang yang gratis. Mekanisme dan keadaan masalah terkait proses legislasi harus diubah dan dihentikan dari setiap gaya “terobosan hukum” yang kontraproduktif.

Di lapangan hukum pidana, capaian untuk menyejahterakan rakyat bukan hal mustahil jika para ahli hukum pidana dan pengambil kebijakan di bidang hukum mengubah mindset (nalar) dari teori moralitas dengan penilaian benar (right) atau salah (wrong) setiap tingkah laku manusia, kepada teori efisiensi (teori ekonomi) dengan penilaian “cost and benefit ratio“.

Perubahan mindset tersebut dalam terapan akan mempertanyakan: apakah perilaku yang benar berdampak menguntungkan atau merugikan bagi masa depan masyarakat dan pribadi pelakunya; begitu pula mengenai perilaku yang salah.

Dalam konteks praksis, setiap kebijakan pemerintah dalam segala sektor kehidupan akan selalu diukur bukan hanya dalam bentuk larangan atau kebolehan, melainkan juga dalam bentuk solusi jangka panjang jika terjadi pelanggaran atas larangan dan kebolehan itu dengan menggunakan analisis dampak regulasi (ADR) atau regulatory impact analysis (RIA).

Analisis ini telah digunakan oleh para pengambil kebijakan publik di Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Uni Eropa sejak 1970-an. Mengapa pendekatan teori ekonomi dengan ADR diperlukan untuk masa depan bangsa ini?

Di lapangan hukum pidana misalnya pemberantasan korupsi, penelitian penulis menunjukkan bahwa selama kurun 2009-2013 total kerugian keuangan negara di seluruh sektor pembangunan mencapai hampir Rp500 triliun.

Sementara kerugian keuangan negara yang berhasil diselamatkan oleh kejaksaan, kepolisian, dan KPK mencapai kurang lebih Rp8.716.000.000.000 (delapan triliun tujuh ratus enam belas miliar), hanya tercapai kurang dari 20%.

Capaian tiga institusi penegak hukum tersebut belum dikurangi dengan biaya perkara korupsi rata-rata Rp200 juta per tahun dan biaya makan narapidana per hari Rp15.000 dengan rata-rata jumlah narapidana 100.000 orang per bulan dan rata-rata menjalani hukuman selama 1-3 tahun.

Kalkulasi secara total dana APBN dan keberhasilan pengembalian kerugian keuangan negara dari korupsi terbukti tidak signifikan, bahkan jauh lebih kecil dari harapan membantu kesejahteraan rakyat. Fakta dan data tersebut merupakan buah dari pengutamaan pendekatan penjeraan (deterrent effect) dari pemulihan hubungan baik antara pelaku dan korban (negara atau perorangan atau kelompok) berbasis efisiensi dan berdampak produktif.

Solusi alternatif dari penjeraan/ penghukuman adalah sistem pemidanaan nonpenal (nonpenal policy) yang mengutamakan best-practices baik bagi kepentingan negara maupun korban perorangan maupun pelaku. Hukuman yang cocok dalam konteks pendekatan efisiensi ini hukuman denda yang tinggi dilengkapi dengan hukuman bersyarat dan pidana kerja sosial bagi pelakunya.

Sistem hukuman nonpenal ini bukan bertujuan efek jera secara fisik, melainkan efek jera baik secara finansial maupun sosial dan bersamaan dengan sistem hukuman tersebut negara tidak perlu harus mengeluarkan biaya yang sangat besar dan tidak efisien.

Biarkan biaya hasil penghematan dengan sistem hukuman ini disediakan untuk pelayanan kesehatan dan pendidikan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar