Orkestra
Besar dengan Konduktor Baru
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
20 Oktober 2014
SETELAH berbulan-bulan digempur ”pertarungan” politik pemilihan
legislatif dan pemilihan presiden yang melelahkan, akhirnya hari ini kita
mendapatkan presiden dan pemerintahan baru yang memberi harapan. Setidaknya,
harapan besar itu ditangkap majalah Time edisi pekan ini, yang memuat foto
Joko Widodo sebagai gambar sampul. ”Joko
Widodo may be the world’s most modest national leader,” tulis Time. Joko Widodo bisa jadi merupakan pemimpin
dunia yang paling sederhana dan rendah hati.
Time menulis, bagaimana Jokowi duduk di kursi belakang kelas ekonomi
nomor 42K maskapai penerbangan Garuda GA226 dari Jakarta menuju Solo. Ketika
ditanya mengapa naik kelas ekonomi, Jokowi menjawab enteng, ”Tubuh saya
kerempeng, tidak memerlukan ruang yang luas di kelas bisnis.” Jawaban yang
mengejutkan sekaligus memperkuat kesimpulan mingguan terkemuka tersebut bahwa
presiden baru Indonesia ini merakyat. Bahasa tubuhnya yang lugu rasanya sulit
berbohong.
Lebih dari itu, hanya tiga hari menjelang pelantikan presiden, Jokowi
mengunjungi Prabowo Subianto dalam suasana penuh keakraban dan kedamaian.
Hasilnya, rupiah langsung menguat dari Rp 12.250 menjadi
Rp 12.100 per dollar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat
dari 4.950 menjadi 5.028. Penguatan ini mengindikasikan faktor nonteknis
ekonomi—berupa sentimen politik—telah berpengaruh besar terhadap pergerakan
pasar finansial pada hari-hari menjelang pelantikan presiden.
Momentum membaiknya perekonomian Indonesia telah kembali terbuka
setelah buntu akibat dominasi koalisi oposisi di parlemen. Rekonsiliasi
Jokowi dan Prabowo sudah terbuka. Namun, seberapa lama momentum ini
berlanjut?
Saya menduga pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan
wakil presiden hari Senin (20/10) ini akan memberi kesempatan rupiah dan IHSG
melanjutkan pergerakan. Rupiah bisa kembali di bawah Rp 12.000 dan IHSG akan mendaki ke level yang pernah dicapai
sebelumnya, yakni 5.200. Namun, apakah ini akan berlanjut?
Dalam jangka pendek, ada dua momentum yang harus dipelihara Jokowi.
Pertama, ia harus membentuk kabinet yang kredibel dengan menteri-menteri yang
bereputasi tinggi. Kesalahan pemerintahan sebelumnya tidak boleh diulangi.
Kesalahan tersebut berupa memberikan ruang terlalu lebar bagi para politisi
untuk ”ikut mengabdi” menjadi menteri. Akibat menterinya kurang kompeten,
terpaksa direkrut 17 wakil menteri. Para menteri seperti ”dipersilakan” sibuk
mengurus partai, sementara para wakil menteri harus ”pasang badan” berjibaku
mengurus hal-hal yang teknis dan operasional. Memang tidak semua seperti itu,
tetapi sebagian besar.
Keputusan Jokowi untuk tidak lagi menghidupkan posisi wakil menteri
merupakan langkah awal yang baik karena berarti dia benar-benar akan menunjuk
orang yang berkompeten daripada sekadar ”politisi yang ingin mengabdi sebagai
menteri”. Keputusan untuk tidak membeli mobil dinas baru juga merupakan
pertanda awal yang baik bahwa kabinet baru akan diisi para menteri dengan
etos kerja yang tinggi, tanpa pamrih material, sederhana, dan rendah hati.
Ini bisa merebut simpati rakyat dan pasar.
Kedua, kinerja kabinet dalam 100 hari pertama akan dinilai publik.
Mengapa? Karena 100 hari adalah periode yang cukup bagi publik untuk menilai
apakah para menteri tersebut benar-benar cakap dan sesuai dengan ekspektasi.
Berbeda dengan yang lain, saya tidak peduli soal pencapaian kinerja para
menteri dalam 100 hari. Tidak begitu penting mengenai apa yang berhasil
mereka capai dalam 100 hari. Kita perlu diyakinkan, apakah dalam 100 hari
tersebut para menteri bisa menunjukkan dirinya mampu mengikuti irama kerja
presiden, yakni mempunyai visi yang jelas di bidang penugasan masing-masing,
cekatan, berani mengambil keputusan strategis, serta memiliki jiwa
kepemimpinan yang kuat.
Jika dalam 100 hari kita dapat menangkap gesture kepemimpinan yang
kuat, kita boleh berharap akan bisa mengulangi apa yang terjadi di India.
Perdana menteri baru Narendra Modi menjadi sosok yang mendapat kepercayaan
pasar sehingga menyebabkan modal asing masuk cukup masif. Mata uang India
menguat dari 64 rupee per dollar AS menjadi 60 rupee per dollar AS.
Saat Jokowi dilantik menjadi presiden, harga minyak dunia juga sedang
turun ke level terendah sejak krisis 2007, yakni di bawah 85 dollar AS per
barrel (dari sebelumnya di atas 100 dollar AS per barrel). Kendati harga
minyak dunia kini turun, tidak berarti Jokowi terbebas dari tugas menaikkan
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Bisa dipastikan, kebijakan subsidi
BBM yang terlalu besar adalah konsep yang salah. Di Tiongkok, subsidi
diberikan kepada penduduk miskin dalam bentuk transfer langsung, bukan
subsidi kepada komoditas. Dengan transfer langsung, akan tercipta daya beli
sehingga perekonomian tumbuh.
Saat ini ada 65 juta penduduk Indonesia yang daya belinya 1,25 dollar
AS atau Rp 15.000 per hari. Mereka inilah yang dikategorikan miskin. Jika
subsidi energi Rp 350 triliun sebagian diberikan kepada mereka, akan tercipta
efek pengganda yang besar, yang memungkinkan perekonomian Indonesia tumbuh
lebih dari 7 persen.
Banyak tugas yang harus dikerjakan Jokowi dan kabinetnya. Harapan
terhadap era baru Indonesia dimulai hari ini. Tugas kita untuk membantu
mendukungnya. Begitu pula bagi para politisi, ”drama” pemilihan presiden
sudah usai, kini saatnya bahu-membahu untuk bekerja keras. Pertumbuhan
ekonomi 5 persen hingga 6 persen tidaklah cukup bagi negara sebesar
Indonesia. Kita harus mengejar pertumbuhan tinggi minimal 7 persen, atau
semoga bisa 10 persen, seperti disarankan Profesor Gustav Papanek
(Universitas Boston) bersama Raden Pardede dan Suahasil Nazara.
Untuk mencapai pertumbuhan tinggi, perlu kolektivitas dari kita semua,
tidak bisa bekerja sendirian. Perekonomian Indonesia adalah sebuah orkestra
besar dengan konduktor baru yang segar. Selamat bekerja keras Pak Jokowi,
seperti biasanya.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar