Nasib
Jalan Pintas
Tri Agung Kristanto ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
03 Oktober 2014
PENGESAHAN
Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jumat (26/9)
dini hari, masih menyisakan persoalan. Rakyat marah karena merasa hak
demokrasinya disabot parlemen. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun kecewa.
Kekecewaan
Presiden SBY mengherankan karena sesuai Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, setiap
RUU dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. SBY, sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat, juga memiliki perpanjangan tangan di DPR, yaitu Fraksi Partai
Demokrat (F-PD) yang pada periode 2009-2014 beranggotakan 148 orang. Sayang,
F-PD melakukan walk out sehingga opsi pilkada melalui DPRD tercantum dalam
RUU.
Presiden
SBY mencari jalan agar RUU Pilkada tidak berlaku. Ia, antara lain, meminta
pertimbangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva serta mantan
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, Senin lalu.
RUU
Pilkada dinilai tidak sejalan dengan UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (MD3) yang tidak memberikan wewenang kepada DPRD untuk memilih
kepala daerah. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga
diubah dengan RUU Pemerintahan Daerah yang disetujui DPR dan pemerintah,
Jumat lalu tak memberikan wewenang pada anggota DPRD untuk memilih kepala
daerah.
Selasa
lalu, SBY menyatakan akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (perppu), mengacu pada Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Kamis (2/10)
malam, dua perppu pun dikeluarkan Presiden SBY. Pertama, Perppu No 1 Tahun
2014 tentang Pemilu Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) yang
membatalkan UU No 22 Tahun 2014 tentang Pilkada. Kedua, Perppu No 2 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah yang melengkapi UU Pemerintahan Daerah yang
baru.
Kedua
Perppu itu akan dibahas oleh DPR periode 2014-2019, yang 292 orang dari 560
anggotanya berasal dari partai politik pendukung pilkada tidak langsung.
Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan, perppu hanya bisa diterima atau
ditolak oleh DPR. Tak ada pembahasan lagi.
Alasan SBY
Presiden
SBY, kemarin malam, mengemukakan, ia mengambil risiko mendukung pilkada
langsung karena merupakan presiden hasil pemilu langsung. Namun, ia
menyerahkan kepada DPR untuk melakukan penilaian politik sesuai dengan
kewenangannya. Pilkada langsung yang diajukannya melalui Perppu No 1/2014 itu
dengan perbaikan, misalnya memberikan kesempatan untuk uji publik terhadap
calon.
Saat
dibahas, tentu partai pendukung pilkada melalui DPRD keberatan dengan perppu
itu karena menjadikan pilkada kembali langsung oleh rakyat. Mungkinkah mereka
berbalik badan? SBY dan Partai Demokrat tentu saja memahami peta kekuatan
politik ini. Koalisi pendukung pilkada melalui DPRD, jikalau digelar voting,
tentu akan memenangi pemungutan suara.
Tentu
bukan tugas ringan bagi F-PD DPR, yang kini bukan lagi pemilik kursi
terbanyak di DPR, untuk meminta dukungan dari fraksi yang menolak pilkada
langsung, yaitu Fraksi Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya
(Gerindra), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Walau F-PD mendapatkan dukungan dari
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Nasdem, jumlah
suaranya untuk menyelamatkan Perppu masih kalah banyak, hanya 268 suara.
Pengajuan perppu hanya menjadi ”jendela” bagi rakyat untuk melihat bahwa SBY
konsisten mendukung pilkada langsung.
Apabila
Perppu Pilkada ditolak, UU Pilkada berlaku. Namun, akan ada persoalan karena
tak sejalan dengan UU No 17/2014 dan UU Pemerintahan Daerah, yaitu belum ada
wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah. Hal ini dijawab dengan penerbitan
Perppu tentang Pemerintahan Daerah.
DPR
harus segera membahas perppu yang dibuat Presiden SBY pada masa persidangan
ini. Masyarakat pun bisa segera mengetahui sikap politik sebenarnya parpol di
DPR dan SBY.
Presiden SBY sepanjang memerintah negeri ini paling tidak menerbitkan
17 perppu dengan alasan hal ihwal kegentingan yang memaksa yang beragam.
Perppu Pilkada menjadi jalan pintas menjawab kegeraman masyarakat pada
pilkada tak langsung yang digulirkan DPR. Namun, jalan pintas itu juga bisa
segera lenyap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar