Sabtu, 04 Oktober 2014

Nasib Jalan Pintas

Nasib Jalan Pintas

Tri Agung Kristanto  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  03 Oktober 2014




PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jumat (26/9) dini hari, masih menyisakan persoalan. Rakyat marah karena merasa hak demokrasinya disabot parlemen. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun kecewa.

Kekecewaan Presiden SBY mengherankan karena sesuai Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, setiap RUU dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. SBY, sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, juga memiliki perpanjangan tangan di DPR, yaitu Fraksi Partai Demokrat (F-PD) yang pada periode 2009-2014 beranggotakan 148 orang. Sayang, F-PD melakukan walk out sehingga opsi pilkada melalui DPRD tercantum dalam RUU.

Presiden SBY mencari jalan agar RUU Pilkada tidak berlaku. Ia, antara lain, meminta pertimbangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva serta mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, Senin lalu.

RUU Pilkada dinilai tidak sejalan dengan UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang tidak memberikan wewenang kepada DPRD untuk memilih kepala daerah. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga diubah dengan RUU Pemerintahan Daerah yang disetujui DPR dan pemerintah, Jumat lalu tak memberikan wewenang pada anggota DPRD untuk memilih kepala daerah.

Selasa lalu, SBY menyatakan akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), mengacu pada Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945. Kamis (2/10) malam, dua perppu pun dikeluarkan Presiden SBY. Pertama, Perppu No 1 Tahun 2014 tentang Pemilu Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) yang membatalkan UU No 22 Tahun 2014 tentang Pilkada. Kedua, Perppu No 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang melengkapi UU Pemerintahan Daerah yang baru.

Kedua Perppu itu akan dibahas oleh DPR periode 2014-2019, yang 292 orang dari 560 anggotanya berasal dari partai politik pendukung pilkada tidak langsung. Pasal 22 Ayat (3) UUD 1945 menegaskan, perppu hanya bisa diterima atau ditolak oleh DPR. Tak ada pembahasan lagi.

Alasan SBY

Presiden SBY, kemarin malam, mengemukakan, ia mengambil risiko mendukung pilkada langsung karena merupakan presiden hasil pemilu langsung. Namun, ia menyerahkan kepada DPR untuk melakukan penilaian politik sesuai dengan kewenangannya. Pilkada langsung yang diajukannya melalui Perppu No 1/2014 itu dengan perbaikan, misalnya memberikan kesempatan untuk uji publik terhadap calon.

Saat dibahas, tentu partai pendukung pilkada melalui DPRD keberatan dengan perppu itu karena menjadikan pilkada kembali langsung oleh rakyat. Mungkinkah mereka berbalik badan? SBY dan Partai Demokrat tentu saja memahami peta kekuatan politik ini. Koalisi pendukung pilkada melalui DPRD, jikalau digelar voting, tentu akan memenangi pemungutan suara.

Tentu bukan tugas ringan bagi F-PD DPR, yang kini bukan lagi pemilik kursi terbanyak di DPR, untuk meminta dukungan dari fraksi yang menolak pilkada langsung, yaitu Fraksi Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Walau F-PD mendapatkan dukungan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Nasdem, jumlah suaranya untuk menyelamatkan Perppu masih kalah banyak, hanya 268 suara. Pengajuan perppu hanya menjadi ”jendela” bagi rakyat untuk melihat bahwa SBY konsisten mendukung pilkada langsung.

Apabila Perppu Pilkada ditolak, UU Pilkada berlaku. Namun, akan ada persoalan karena tak sejalan dengan UU No 17/2014 dan UU Pemerintahan Daerah, yaitu belum ada wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah. Hal ini dijawab dengan penerbitan Perppu tentang Pemerintahan Daerah.

DPR harus segera membahas perppu yang dibuat Presiden SBY pada masa persidangan ini. Masyarakat pun bisa segera mengetahui sikap politik sebenarnya parpol di DPR dan SBY.

Presiden SBY sepanjang memerintah negeri ini paling tidak menerbitkan 17 perppu dengan alasan hal ihwal kegentingan yang memaksa yang beragam. Perppu Pilkada menjadi jalan pintas menjawab kegeraman masyarakat pada pilkada tak langsung yang digulirkan DPR. Namun, jalan pintas itu juga bisa segera lenyap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar