Kita
Bukan Bangsa Terbelah
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
11 Oktober 2014
PENGESAHAN
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah merupakan ”pintu masuk” kedua bagi
Koalisi Merah Putih untuk menciptakan instabilitas politik (jika mungkin
krisis konstitusional) dalam rangka mengancam pemerintahan baru. Tanggal 8
Juli atau satu hari sebelum Pemilu Presiden 2004, KMP telah membuka pintu
masuk pertama dengan memaksakan perubahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD.
UU
Pilkada di tingkat daerah diharapkan menjadi model untuk perubahan serupa di
tingkat nasional, yakni pemilihan presiden yang dilakukan secara tidak
langsung melalui MPR (presiden sebagai mandataris MPR). Dalih KMP, pemilihan
langsung terlalu liberal, kebablasan, mahal, dan menciptakan konflik
horizontal sehingga negara ini perlu ”kembali
ke UUD 1945 dan sila keempat Pancasila”.
Tujuan
akhir KMP adalah melancarkan pemakzulan terhadap presiden terpilih Joko
Widodo dalam waktu secepat-cepatnya satu tahun atau selambat-lambatnya dua
tahun. Setelah pemakzulan, MPR akan memilih presiden baru dengan dukungan
suara KMP yang menguasai mayoritas DPR.
Strategi
KMP ini langkah memundurkan demokrasi (democratic reversal) yang mendapat
tentangan besar-besaran dari berbagai kalangan masyarakat. Demokrasi sedang
berkembang positif dan the feel good factor sedang dirasakan berbagai
kalangan masyarakat yang optimistis memandang masa depan setelah Pemilu
Legislatif 2014 dan Pilpres 2014 sukses.
Strategi
”bumi hangus” KMP ini diperkirakan kontraproduktif dan bahkan akan memecah
belah KMP sendiri. Pembangkangan internal KMP akan sangat frontal di tingkat
daerah daripada di tingkat nasional karena berbagai faktor: kondisi khas
kedaerahan, kesukaran konsolidasi karena faktor jarak dan waktu, dan
lain-lain.
Pada
akhirnya KMP akan dianggap sebagai public
enemy number one yang melancarkan dendam politik semata-mata tanpa ada
niat membangun bangsa dan negara agar lebih maju. Cepat atau lambat pandangan
masyarakat ini akan berpengaruh terhadap partai-partai KMP yang pada
gilirannya memicu konflik internal.
Dalam
kenyataannya, konflik internal yang dimaksud telah melanda PPP. Bukan tidak
mungkin konflik serupa yang berujung pada pergantian ketua umum partai akan
dialami pula oleh Partai Golkar, PAN, atau Partai Demokrat. Sejauh ini yang
tampak solid PKS dan Gerindra.
Kondisi
tersebut sesungguhnya menguntungkan posisi pemerintah baru sebab KMP
berhadapan langsung melawan rakyat (bukan vis-à-vis
koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla). Kini tinggal bagaimana pemerintah baru
mengapitalisasi kondisi yang menguntungkan itu.
Seperti
telah diucapkan sendiri oleh presiden terpilih Joko Widodo, dirinya bersama
wakil presiden terpilih Jusuf Kalla sama sekali tidak gentar menghadapi
ancaman-ancaman politis yang dilancarkan KMP. Mengapa?
Pertama,
”fenomena Jokowi” atau ”Jokowimania” yang meneguhkan Joko Widodo sebagai
pemimpin baru yang didukung mayoritas rakyat yang ingin breaking with the
past (memutus mata rantai masa lalu). Kita menyaksikan meroketnya Joko Widodo
yang terpilih sebagai gubernur DKI dan langsung terpilih sebagai presiden
hanya dalam waktu relatif singkat—dengan melampaui popularitas Prabowo
Subianto pada sejumlah jajak pendapat September 2012.
Kedua,
Joko Widodo memperoleh mandat mayoritas pemilih dari berbagai kalangan partai
ataupun nonpartai hampir di seluruh provinsi untuk memenangi Pilpres 2014.
Untuk pertama kalinya pula pilpres di negeri ini berlangsung luber, jurdil,
dan kredibel berkat partisipasi rakyat, media massa mainstream, dan media
sosial.
Ketiga,
Joko Widodo-Jusuf Kalla dipandang sebagai duet yang siap bekerja ketimbang
berwacana. Duet ini antitesis dari pemerintah SBY yang dianggap lebih suka
berwacana (sebenarnya Prabowo juga dipandang sebagai antitesis SBY karena dianggap
tegas/tidak peragu).
Keempat,
selama kampanye, Jokowi berhasil meyakinkan pemilih dengan program-program
pro rakyat yang mengedepankan perubahan dan kesinambungan (change and continuity). Detail program
pemerintahan Joko Widodo, yang telah disiapkan oleh Tim Transisi, cukup riil
dan diprediksi akan cukup berhasil mencapai kedaulatan politik, kemandirian
ekonomi, dan kepribadian budaya sesuai cita-cita Trisakti.
Kepemimpinan
Joko Widodo-Jusuf Kalla punya legitimasi kuat, berwatak solidarity maker, dan get
things done. Proses pengambilan keputusan didasarkan kesepakatan politis
dan birokratis, yang menempatkan keluaran kebijakan sebagai ”kotak hitam”
yang utuh—bukan didasarkan kepentingan pribadi/kelompok/partai.
Kita
kebetulan punya eksekutif dan legislatif yang berseberangan. Namun,
pemerintah yang sibuk bekerja demi rakyat akan diimbangi DPR yang menjalankan
fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasinya secara tepat dan beradab.
Akan sangat memalukan jika pelantikan presiden digagalkan saat mata
dunia tersorot ke upacara yang semestinya berlangsung khidmat itu. MPR dan
DPR yang baru wajib membuktikan diri bahwa kita bukan bangsa yang terbelah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar