Konferensi
Jurnalis TV Asia-Pasifik :
Harapan
dan Tantangan
Fajar Kurniawan ; Jurnalis Utama, Ketua IJTI Jakarta Raya
|
KORAN
SINDO, 08 Oktober 2014
”Pers
adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas
manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan sosial.” Thomas Jefferson.
Apa yang diutarakan presiden ketiga Amerika Serikat Thomas Jefferson
merupakan sebuah tantangan dan harapan dari insan pers di mana pun berada.
Baik itu pers cetak maupun pers elektronika. Apa yang terjadi dalam 16 tahun
terakhir di Indonesia misalnya, pers yang menjadi pilar ke-4 demokrasi
berusaha untuk mengawal nilai-nilai luhur bangsa, yang pada reformasi 1998
nilainilai itu diperjuangkan oleh mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat
yang ada untuk suatu perubahan.
Berbicara wajah pertelevisian di Indonesia sebagai salah satu kekuatan
pers dalam sebuah negara demokrasi, maka tidak bisa terlepas dari peran pers
itu sendiri. Meminjam istilah proklamator negeri ini Bung Karno, penyambung
lidah rakyat, apa yang dilakukan oleh pers umumnya dan pertelevisian
khususnya, seharusnya bisa sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah.
Selain juga lembaga penyiaran di Indonesia dituntut menjadi pengontrol
jalannya pemerintahan.
Berbicara keberadaan dan peran jurnalisme televisi di Indonesia, tentu
tidak lepas dari persoalan hubungan insan pers dengan kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Dalam konteks ini adalah demokrasi. Euforia demokrasi yang ada
saat ini sadaratau tidak membawa dampak terhadap dunia penyiaran (jurnalisme
televisi). Tekanan politik yang ada terhadap insan pers setelah tumbangnya
rezim Orde Baru memunculkan pers yang ”liar”. Liar dimaksud, pers dalam hal
ini jurnalisme televisi mulai ikut-ikutan partisan.
Di sisi lain karenabebas mengemukakan pendapat, media tanpa cek dan
ricek dan berimbang mulai memainkan frame tertentu, yang sadar atau tidak
justru dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Independensi mulai tergerus,
etika dikesampingkan. Contoh pemberitaan yang berat sebelah saat TVRIdi
Gorontalo hanya menampilkan salah seorang kandidat bupati saja. Dampaknya,
TVRI Gorontalo digeruduk massa pendukung salah satu kandidat yang
”disudutkan” berang.
Mereka ramai-ramai menduduki TVRIGorontalo dan tindak kekerasan
terhadap insan pers di lembaga penyiaran itu pun terjadi. Itu satu contoh
dari sekian banyak hal lain dari kaca mata independensi dan etika.
Bolehjadihaltersebuttidakdibenarkan, namun di sisi lain harus menjadi
pembelajaran bagi jurnalisme televisi itu sendiri. Banyak hal yang bisa
dilakukan televisi untuk membantu proses demokrasi di sebuah negara. Tentu
syaratnya televisi harus bisa berperan independen dan tidak mudah
diintimidasi baik oleh kekuasaan maupun oleh bisnis.
Dalam posisi yang independen, televisi dapat menyediakan informasi yang
beragam, memacu keterbukaan gagasan, dan juga memberikan pertimbangan-
pertimbangan. Namun, peranitudapatterlaksanajikatelevisi memperhatikan
beberapa halberikut, seperti:(1) tanggung jawab;(2) informasi;(3)
pasargagasan. Tentunya ketiga hal itu bisa berjalan dengan baik jika pers
dalam hal ini lembaga penyiaran terbebas dari tekanan politik yang ada dan
menjalankan kode etik jurnalisme televisi yang ada di negara tersebut.
Independensi media di setiap negara berbeda dalam aplikasinya, apalagi di
daerah konflik seperti di Timur Tengah, Timor Leste yang baru mengecap
kemerdekaan dari Indonesia, Malaysia, Burma, dan Meksiko.
Pada dasarnya praktik jurnalisme adalah praktik profesional. Hoyer dan
Lauk (2003) berpendapat bahwa profesionalisasi jurnalisme merupakan upaya
yang dilakukan oleh organisasi media untuk melepaskan diri dari keberpihakan
terhadap politik dan untuk merengkuh pasar (publik) yang lebih luas. Namun,
tidak jarang pula profesionalisasi jurnalisme yang semula bertujuan untuk
melepaskan diri dari partisanships malah menjadi bumerang ketika jurnalis dan
organisasi media menyerah pada logika-logika.
Dalam konteks tersebut, peran dari organisasi jurnalis menjadi penting,
untuk membangun kompetensi para pekerjanya. Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI) sebagai salah satu organisasi profesi wartawan, mengambil
peran untuk membangun profesionalisme jurnalis televisi dengan mengedepankan
kompetensi. Sebagai wujud dari peran itu, IJTI pada 2013 mengambil tempat di
Surabaya, Jawa Timur, menggelar Konferensi Jurnalis Televisi Internasional
yang dihadiri oleh jurnalis televisi dari kawasan Asia-Pasifik, termasuk
jurnalis televisi dalam negeri.
Menurut Ketua Umum IkatanJurnalisTelevisiIndonesiaPusat Yadi
Hendrayana, Ikatan JurnalisTelevisiIndonesiaberinisiatif menggelar konferensi
internasional di Surabaya, dengan harapan jurnalis televisi dapat bersikap
independen saat melakukan kerja jurnalistiknya dalam pemilu legislatif dan
pemilihan presiden 2014. Dengan demikian, IJTI sebagai organisasi profesi
jurnalis televisi di Indonesia diharapkan berada di garda paling depan untuk
penegakan kepentingan publik, bukan kepentingan golongan atau pribadi. Tentunya,
hasil konferensi internasional ini dapat menjadi bahan masukan berharga bagi
para jurnalis televisi umumnya dan anggota IJTI khususnya, dalam menjalankan
tugas.
Konferensi tersebut kemudian menghasilkan Prakarsa Surabaya yang
kemudian akan menjadi acuan para jurnalis televisi dalam melaksanakan tugas
jurnalistik di tingkat nasional maupun internasional. Putusan tersebut
menelurkan dua prakarsa utama yang bersifat nasional dan internasional. Lima
poin yang bersifat nasional, yaitu jurnalis televisi Indonesia bersikap
netral pada pelaksanaan Pemilu 2014, mematuhi kode etik jurnalistik dan
peraturan penyiaran, mengedepankan pemberitaan positif, meningkatkan
kompetensi jurnalis, dan meningkatkan kesejahteraan kontributor televisi di
daerah.
Beberapa hari menjelang pagelaran kedua, di Sulawesi Utara dengan
Manado sebagai tuan rumah. Konferensi Jurnalis Televisi Asia-Pasifik kembali
digelar. Selain akan membahas persoalan jurnalisme televisi di negara-negara
peserta, konferensi jurnalis televisi se-Asia Pasifik yang diikuti oleh 12
jurnalis asing dari kawasan tersebut, juga akan mewujudkan cita-cita para
jurnalis televisi Asia-Pasifik untuk mengukuhkan Asosiasi Jurnalis Televisi
Asia Pasifik (AJTAP), sebagai wadah para jurnalis televisi Asia-Pasifik dalam
mengemban spirit saling pengertian dan kebersamaan serta peningkatan
kompetensi dan kesejahteraan. Semoga harapan tersebut dapat terwujud di
tengah tantangan dan tuntutan profesionalitas seorang jurnalis. Selamat berkonferensi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar