Minggu, 12 Oktober 2014

Konferensi Jurnalis TV Asia-Pasifik : Harapan dan Tantangan

                        Konferensi Jurnalis TV Asia-Pasifik :

Harapan dan Tantangan

Fajar Kurniawan  ;   Jurnalis Utama, Ketua IJTI Jakarta Raya
KORAN SINDO,  08 Oktober 2014

                                                                                                                       


”Pers adalah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan sosial.”    Thomas Jefferson.

Apa yang diutarakan presiden ketiga Amerika Serikat Thomas Jefferson merupakan sebuah tantangan dan harapan dari insan pers di mana pun berada. Baik itu pers cetak maupun pers elektronika. Apa yang terjadi dalam 16 tahun terakhir di Indonesia misalnya, pers yang menjadi pilar ke-4 demokrasi berusaha untuk mengawal nilai-nilai luhur bangsa, yang pada reformasi 1998 nilainilai itu diperjuangkan oleh mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat yang ada untuk suatu perubahan.

Berbicara wajah pertelevisian di Indonesia sebagai salah satu kekuatan pers dalam sebuah negara demokrasi, maka tidak bisa terlepas dari peran pers itu sendiri. Meminjam istilah proklamator negeri ini Bung Karno, penyambung lidah rakyat, apa yang dilakukan oleh pers umumnya dan pertelevisian khususnya, seharusnya bisa sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Selain juga lembaga penyiaran di Indonesia dituntut menjadi pengontrol jalannya pemerintahan.

Berbicara keberadaan dan peran jurnalisme televisi di Indonesia, tentu tidak lepas dari persoalan hubungan insan pers dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam konteks ini adalah demokrasi. Euforia demokrasi yang ada saat ini sadaratau tidak membawa dampak terhadap dunia penyiaran (jurnalisme televisi). Tekanan politik yang ada terhadap insan pers setelah tumbangnya rezim Orde Baru memunculkan pers yang ”liar”. Liar dimaksud, pers dalam hal ini jurnalisme televisi mulai ikut-ikutan partisan.

Di sisi lain karenabebas mengemukakan pendapat, media tanpa cek dan ricek dan berimbang mulai memainkan frame tertentu, yang sadar atau tidak justru dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Independensi mulai tergerus, etika dikesampingkan. Contoh pemberitaan yang berat sebelah saat TVRIdi Gorontalo hanya menampilkan salah seorang kandidat bupati saja. Dampaknya, TVRI Gorontalo digeruduk massa pendukung salah satu kandidat yang ”disudutkan” berang.

Mereka ramai-ramai menduduki TVRIGorontalo dan tindak kekerasan terhadap insan pers di lembaga penyiaran itu pun terjadi. Itu satu contoh dari sekian banyak hal lain dari kaca mata independensi dan etika. Bolehjadihaltersebuttidakdibenarkan, namun di sisi lain harus menjadi pembelajaran bagi jurnalisme televisi itu sendiri. Banyak hal yang bisa dilakukan televisi untuk membantu proses demokrasi di sebuah negara. Tentu syaratnya televisi harus bisa berperan independen dan tidak mudah diintimidasi baik oleh kekuasaan maupun oleh bisnis.

Dalam posisi yang independen, televisi dapat menyediakan informasi yang beragam, memacu keterbukaan gagasan, dan juga memberikan pertimbangan- pertimbangan. Namun, peranitudapatterlaksanajikatelevisi memperhatikan beberapa halberikut, seperti:(1) tanggung jawab;(2) informasi;(3) pasargagasan. Tentunya ketiga hal itu bisa berjalan dengan baik jika pers dalam hal ini lembaga penyiaran terbebas dari tekanan politik yang ada dan menjalankan kode etik jurnalisme televisi yang ada di negara tersebut. Independensi media di setiap negara berbeda dalam aplikasinya, apalagi di daerah konflik seperti di Timur Tengah, Timor Leste yang baru mengecap kemerdekaan dari Indonesia, Malaysia, Burma, dan Meksiko.

Pada dasarnya praktik jurnalisme adalah praktik profesional. Hoyer dan Lauk (2003) berpendapat bahwa profesionalisasi jurnalisme merupakan upaya yang dilakukan oleh organisasi media untuk melepaskan diri dari keberpihakan terhadap politik dan untuk merengkuh pasar (publik) yang lebih luas. Namun, tidak jarang pula profesionalisasi jurnalisme yang semula bertujuan untuk melepaskan diri dari partisanships malah menjadi bumerang ketika jurnalis dan organisasi media menyerah pada logika-logika.

Dalam konteks tersebut, peran dari organisasi jurnalis menjadi penting, untuk membangun kompetensi para pekerjanya. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) sebagai salah satu organisasi profesi wartawan, mengambil peran untuk membangun profesionalisme jurnalis televisi dengan mengedepankan kompetensi. Sebagai wujud dari peran itu, IJTI pada 2013 mengambil tempat di Surabaya, Jawa Timur, menggelar Konferensi Jurnalis Televisi Internasional yang dihadiri oleh jurnalis televisi dari kawasan Asia-Pasifik, termasuk jurnalis televisi dalam negeri.

Menurut Ketua Umum IkatanJurnalisTelevisiIndonesiaPusat Yadi Hendrayana, Ikatan JurnalisTelevisiIndonesiaberinisiatif menggelar konferensi internasional di Surabaya, dengan harapan jurnalis televisi dapat bersikap independen saat melakukan kerja jurnalistiknya dalam pemilu legislatif dan pemilihan presiden 2014. Dengan demikian, IJTI sebagai organisasi profesi jurnalis televisi di Indonesia diharapkan berada di garda paling depan untuk penegakan kepentingan publik, bukan kepentingan golongan atau pribadi. Tentunya, hasil konferensi internasional ini dapat menjadi bahan masukan berharga bagi para jurnalis televisi umumnya dan anggota IJTI khususnya, dalam menjalankan tugas.

Konferensi tersebut kemudian menghasilkan Prakarsa Surabaya yang kemudian akan menjadi acuan para jurnalis televisi dalam melaksanakan tugas jurnalistik di tingkat nasional maupun internasional. Putusan tersebut menelurkan dua prakarsa utama yang bersifat nasional dan internasional. Lima poin yang bersifat nasional, yaitu jurnalis televisi Indonesia bersikap netral pada pelaksanaan Pemilu 2014, mematuhi kode etik jurnalistik dan peraturan penyiaran, mengedepankan pemberitaan positif, meningkatkan kompetensi jurnalis, dan meningkatkan kesejahteraan kontributor televisi di daerah.

Beberapa hari menjelang pagelaran kedua, di Sulawesi Utara dengan Manado sebagai tuan rumah. Konferensi Jurnalis Televisi Asia-Pasifik kembali digelar. Selain akan membahas persoalan jurnalisme televisi di negara-negara peserta, konferensi jurnalis televisi se-Asia Pasifik yang diikuti oleh 12 jurnalis asing dari kawasan tersebut, juga akan mewujudkan cita-cita para jurnalis televisi Asia-Pasifik untuk mengukuhkan Asosiasi Jurnalis Televisi Asia Pasifik (AJTAP), sebagai wadah para jurnalis televisi Asia-Pasifik dalam mengemban spirit saling pengertian dan kebersamaan serta peningkatan kompetensi dan kesejahteraan. Semoga harapan tersebut dapat terwujud di tengah tantangan dan tuntutan profesionalitas seorang jurnalis. Selamat berkonferensi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar