Mencari
Filsafat Indonesia : Pluralisme
Tommy F Awuy ; Dosen Filsafat FIB UI
|
KOMPAS,
11 Oktober 2014
PADA 19-20 September lalu diadakan Simposium
Internasional Filsafat Indonesia: ”Mencari Sosok Filsafat Indonesia”. Sebuah
peristiwa yang teramat penting, khususnya bagi sejarah filsafat di Indonesia
dan tentu saja diharapkan bisa memberikan kontribusi besar bagi kemajuan
kebudayaan dan pendidikan secara umum. Tema ”Mencari Sosok Filsafat
Indonesia” langsung menggelitik!
Kata
’mencari’ dalam filsafat memiliki arti khusus, yakni energi dasar yang
membuatnya bergeliat hidup. Adapun istilah ’sosok’ dan ’filsafat Indonesia’
bisa dibaca sebagai dua istilah yang merangsang masalah; ’sosok’ mengacu pada
manusia-personal dan ’filsafat Indonesia’ sebagai sebuah frase yang mengacu
pada sistem produk konvensi yang nonpersonal. Bagaimana kedua istilah ini
bisa berpadu?
Apakah
Indonesia belum punya sistem filsafat dalam pengertian tunggal-akademis?
Belum memiliki argumen-argumen dasar bagi berdirinya sebuah sistem pemikiran
selayaknya filsafat sistematik dengan pilar-pilarnya seperti
”ontologi/metafisika”, ”epistemologi”, dan ”aksiologi”? Tema ”Mencari Sosok
Filsafat Indonesia” tak lain bertujuan menjawab pertanyaan di atas.
Filsafat
sistematik-akademis jelas bukan produk bangsa kita. Bahkan, sebagai bangsa
pun kita masih asing dengan sebutan filsafat sistematik-akademis itu. Kita
hanya dekat dengan turunannya bernama ilmu pengetahuan. Tak akan terdengar
demikian signifikannya oleh bangsa ini bahwa sebuah negara bangkit jadi besar
karena filsafatnya.
Sejarah filsafat
Filsafat
sistematik-akademik adalah produk bangsa Yunani Kuno. Model atau paradigma
institusinya, perguruan tinggi, didirikan Plato lalu diikuti muridnya,
Aristoteles (Academy dan Lyceum). Tak pelak, siapa pun yang mempelajari
filsafat menjadi suatu keniscayaan haruslah terlebih dulu mempelajari
filsafat Yunani Kuno. Sebab, dari sanalah fondasi filsafat sistematik itu
kita peroleh.
Apakah
dengan demikian apabila kita mempelajari filsafat maka artinya kita hanya
mengikuti filsafat Yunani Kuno? Jelas tidak! Filsafat merupakan disiplin
berpikir yang sangat terbuka dan terutama bertolak dari soal-soal keseharian
dari mana kita berada. Berpikir terbuka mengisyaratkan melihat ke berbagai
arah, seluas-luasnya, dengan kemungkinan berhenti sejenak pada horizon
tertentu, lalu bergerak lagi. Berpikir terbuka adalah pengembaraan yang
sangat menantang, indah, dan abadi.
Filsafat
tidaklah muncul dalam ruang tunggal dan monoton. Awal munculnya Filsafat
Yunani Kuno bernapaskan pertemuan berbagai kebudayaan atau transgeografi.
Sejarah filsafat Yunani biasanya dibagi tiga periode: pra-Sokrates, Sokrates,
dan post-Sokrates. Para filsuf pra-Sokrates, pendiri, seperti Pherecydes,
Anaximandros, Anaximenes, dan Pythagoras membangun filsafat dari berbagai
pengaruh dalam perjalanan intelektual mereka. Kosmologi, teologi, sistem
angka dan hitungan dalam filsafat pra-Sokrates itu bersinggungan erat dengan
konsepsi yang ada di alam pikiran bangsa India dan Persia, misalnya.
Filsafat
pada awalnya sudah menunjukkan model berpikir sinkretisme. Kesadaran akan
realitas pun terbentang luas dan jelas antara kesadaran akan ”yang satu” dan
”yang banyak”. Filsuf pra-Sokrates, Empedokles, menekankan dasar realitas
adalah banyak (plural) terdiri dari air, udara, api, dan sebagainya.
Pluralisme dalam filsafat sesungguhnya bukanlah ’barang’ baru.
Semangat
sinkretisme antar-kosmologi yang berbeda dan konsepsi pluralisme yang
bertujuan mencari akar (radix)
realitas terus berlangsung hingga kini. Filsafat Yunani Kuno diinterpretasi
oleh para pemikir sesuai kondisi kosmologis dari mana mereka hidup. Muncul
kemudian dengan label besar seperti filsafat Jerman, Inggris, Perancis,
Amerika, dan Spanyol tak lepas dari sejarah awal sinkretisme dan pluralisme
filsafat Yunani Kuno tersebut. Pada puncaknya terbagilah demarkasi filsafat
Barat dan filsafat Timur dengan kekhasannya masing-masing. Keduanya terus
berkelindan tanpa pertentangan substansial yang serius. Dalam banyak
pemikiran filsuf Barat kita bisa temukan pengaruh kebijakan Timur, juga
sebaliknya.
Merawat pluralisme
Filsafat
muncul dari pertanyaan dan percakapan dengan realitas, peristiwa keseharian,
ritual, mitologi, sastra, dan lain-lain. Setiap negara dan bangsa memiliki
latar belakang atau infrastruktur seperti itu.
Para
bapak dan ibu pendiri Republik Indonesia, bahkan para pujangga Nusantara,
sudah berpikir filosofis dengan caranya masing-masing. Terutama sejak
dilaksanakannya ”politik etis” oleh Belanda mereka berkenalan dan akrab
dengan filsafat Barat. Mohammad Yamin, Hatta, Soekarno, Sjahrir, Soepomo, Tan
Malaka, Kartini, Sam Ratulangi, Soenaryo, S Takdir Alisjahbana, Driyarkara,
Soedjatmoko, sedikit saja nama-nama dari banyaknya pemikir kita yang dari
tulisan-tulisan mereka jelas bergelut dengan filsafat Barat. Sampai sejauh
mana keterpengaruhan filsafat Barat
dalam membangun ”keindonesiaan” itu jelas masih butuh
interpretasi-interpretasi intertekstual secara intens.
Konsep
republik, revolusi, batang tubuh UUD 1945, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
dan lain-lain tentu tak jatuh langsung dari langit. Semua itu merupakan
pergumulan pemikiran filosofis dalam kurun waktu cukup lama dan sinkretik,
dari berbagai fragmen kebijakan suku-suku, agama, ras, dan filsafat Barat.
Tak
terelakkan negara dan bangsa Indonesia berdiri di atas semangat pluralisme.
Bhinneka Tunggal Ika merupakan rumusan filosofis yang begitu terbuka untuk
didalami, menyimpan benih yang sangat mungkin menjelma sebagai filsafat
sistematik, akademis, dan tentu ideologis. Namun, sekaligus banalitas akan begitu
saja muncul dari sana jika kita hanya membaca atau memaknainya sekadar slogan
politik dan ’artefak’ dengan perspektif budaya yang sempit.
Indonesia
sebagai negara kesatuan dari dasar bangunan sinkretik-pluralisme adalah
sebuah kata kerja. Kesadaran historik kenusantaraan hingga kini senantiasa
ditandai oleh konsep ”menjadi”. Pluralisme menunjukkan sebuah kesadaran
kosmologis bangsa sebagai ketersediaan ruang-ruang untuk bebas bergerak,
berekspresi, berkarya, dalam merawat konsep ”menjadi” itu.
Filsafat
sistematik dan akademis sangat dibutuhkan dalam merawat pluralisme karena
dari disiplin ini kita diajak untuk mengkritisi keberagaman kesadaran
kosmologis yang historik itu. Membangun filsafat sistematik bernapaskan
pluralisme menjadi filsafat Indonesia bukanlah harapan kosong atau
mengada-ada. Dari bapak dan ibu bangsa, tradisi itu sebenarnya sudah ditebar,
disemai, dan dipetik, bahkan memanennya sebagai negara-bangsa yang berdaulat.
Filsafat
pluralisme bagi sebuah negara di sini bukanlah identik dengan negara sebagai
lembaga formal-pemaksa yang memegang otoritas penuh bagi keberlangsungan
hidupnya. Filsafat sistematik yang bernapaskan pluralisme beroperasi dan
hidup dalam masing-masing pemikiran personal maupun komunitas, sebagai
fragmen-fragmen kewilayaan. Kesadarannya hadir dalam kebersamaan yang terus
saling menyapa dan memberdayakan.
Bagaimanapun,
filsafat pluralisme bagi Indonesia, sama halnya dengan kesadaran negara dan
bangsa lain, bukanlah bentangan jalan yang mulus.
Tepatnya
konsep pluralisme adalah sebuah taruhan menghadapi kemungkinan
konflik-konflik yang tak terhindarkan. Namun dengan pluralisme itulah kita
tertantang menjadikannya potensi kreatif, bukan serta-merta menghindar,
apalagi melenyapkannya dengan alasan ancaman bagi kesatuan.
Filsafat sistematik di sini kita maknai sebagai konsep sinkretisme dan
pluralisme. Simposium Internasional Filsafat Indonesia sekiranya bisa
memunculkan kesadaran bagi kebutuhan metodik untuk mendalami lebih jauh lagi
makna filsafat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar