Kembali
Dagang Sapi
Ardi Winangun ; Pengamat Politik; Tinggal di Matraman, Jakarta
Timur
|
DETIKNEWS,
02 Oktober 2014
Bila
sebelum Pemilu Presiden Jokowi mengatakan koalisi tanpa syarat, tak ada
bagi-bagi kursi menteri, dan kabinet ahli, ucapan itu sepertinya menjadi
omong kosong. Buktinya, Jokowi dan elit di sekitarnya merayu-rayu partai yang
terhimpun dalam Koalisi Merah Putih, rivalnya, untuk bergabung dalam kabinet
menteri yang hendak disusun.
Jokowi
mengatakan demikian bisa jadi awalnya adalah semangat untuk membangun
pemerintahan yang disusun bukan berdasarkan atas praktek dagang sapi. Namun
Jokowi mengatakan demikian bisa jadi ia terlalu lugu dalam berpolitik
sehingga sebelum Pemilu Presiden selalu mengatakan hal-hal yang lurus atau
idealis.
Sebagai
orang yang berlatar belakang seorang pengusaha, Jokowi besar bukan karena
pendidikan politik yang diberikan oleh partainya. Gaya kerjanya yang blusukan
inilah yang mengangkat pamornya. Orang yang selalu mengatakan kerja, kerja,
kerja itu memang bisanya bekerja sehingga kesibukan inilah yang membuat
dirinya tidak terlalu paham dengan realitas dan strategi politik.
Bisa
saja Jokowi ingin idealismenya seperti itu, yakni membentuk kabinet yang
diisi oleh para profesional namun para elit di sekilingnya dan realitas
politik yang membuat idealismenya itu runtuh. Orang di sekeliling Jokowi bisa
jadi memberi masukan kepadanya bahwa Koalisi Merah Putih adalah kubu yang
tidak bisa dipandang sebelah mata. Bila kubu itu solid maka ia bisa menjadi
mimpi buruk bagi Jokowi.
Kekuasaan
eksekutif yang dipegang bisa diganggu oleh kekuatan legislatif, di mana
Koalisi Merah Putih jumlah kursinya di DPR lebih banyak daripada gabungan
partai pendukungnya, yakni PDIP, PKB, Partai Nasdem, dan Hanura. Dari DPR
inilah kelak kerja-kerja Jokowi akan ‘dihambat’ dan ‘dipersulit.’
Untuk
itu lingkaran elit dan penasihat Jokowi memberi masukan bahwa mereka
membutuhkan partai yang terhimpun dalam Koalisi Merah Putih untuk mau
bergabung dalam kekuasaan yang disusun. Mereka membutuhkan dukungan tambahan
guna untuk memperkuat posisi pemerintahan, di satu sisi. Sedang di sisi yang
lain untuk menggembosi Koalisi Merah Putih yang sudah menebar ancaman kepada
Jokowi. Tentu partai politik dari Koalisi Merah Putih yang sudi bergabung ke
dalam kekuasaan pastinya dengan syarat harus mau mendukung pemerintahan
Jokowi.
Mendengar
masukan itu, bisa jadi Jokowi baru sadar bahwa inilah dunia politik yang ada
kompromi. Tak hanya itu yang membuat Jokowi sadar politik. Adanya ketakutan
bila kekuatan di parlemen yang mendukung dirinya lemah maka kinerja dan
kekuasaannya tidak aman, juga membuat Jokowi sadar politik. Sebab sudah sadar
politik dan dirinya butuh kekuasannya aman 5 tahun ke depan maka dirinya
menelan ludahnya sendiri yakni yang selalu mengatakan koalisi tanpa syarat,
tak ada bagi-bagi kursi, kabinet ahli, menteri tak boleh rangkap jabatan
menjadi ketua partai.
Untuk
itulah saat ini Jokowi obral kursi kepada partai yang terhimpun dalama
Koalisi Merah Putih. Di sini Jokowi sudah tidak memikirkan menterinya itu
bisa bekerja atau tidak. Saat ini yang ada dipikirannya kabinet tersusun dan
posisinya aman. Adanya iming-iming dari Jokowi kepada Koalisi Merah Putih
jatah kursi menteri yang disediakan buat mereka, rupanya membuat beberapa
partai tergoda, misalnya PAN dan PPP. Tawaran itu seperti air segar di tengah
gurun pasir yang tandus. Namun mereka terikat oleh kesepakatan Koalisi Merah
Putih yang hendak memposisikan diri sebagai kekuatan oposisi maka mereka yang
tergoda itu malu-malu untuk mengatakan iya.
Bagi
anggota Koalisi Merah Putih yang tergoda oleh iming-iming tawaran kursi
menteri, mereka bisa jadi dilandasi oleh pragmatisme politik dan kekuasaan.
Mereka berpandangan berdasarkan pengalaman ternyata oposisi yang dilakukan
tidak efektif dan hanya menyisakan kelelahan. Daripada yang demikian mending
mereka masuk dalam kekuasaan, selain bisa merasakan nikmatnya kekuasaan juga
adanya anggapan dari situlah keberlangsungan partai bisa terus berlanjut.
Partai
politik butuh kekuasaan tujuannya banyak. Selain untuk merealisasikan
ide-idenya juga untuk mengkapitalisasi modal guna membiayai dirinya. Untuk
itu partai politik yang terus berada dalam kekuasaan maka ia memiliki umur
yang panjang. PAN dan PPP bila mau menerima tawaran Jokowi untuk masuk dalam
susunan kabinet menteri tentu alasannya bukan karena idealisme namun lebih
pada pragmatisme, yakni kalau bisa hidup enak mengapa hidup susah namun
dengan idealisme yang tergadai. PAN dan PPP sadar bahwa pembiayaan partai itu
berat dan mahal sehingga dengan mencelupkan diri dalam kekuasaan maka tujuan
pragmatisme itu tercapai.
Di sini, antara Jokowi dan partai dari Koalisi Merah Putih yang mau
bergabung ke dalam kekuasaan, terjadi suatu proses yang saling membutuhkan.
Kubu Jokowi membutuhkan dukungan tambahan untuk memperkuat posisi kekuasaan,
sementara di kubu partai politik yang sudi menerima kursi menteri ingin
menikmati kekuasaan. Akibat yang demikian maka ya kembali seperti di atas
bahwa politik kita masih dilandasi oleh transaksi dagang sapi, bagi-bagi
kekuasaan, dan koalisi dengan syarat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar