Sabtu, 04 Oktober 2014

Poros Maritim dan Perairan ASEAN

Poros Maritim dan Perairan ASEAN

Connie Rahakundini Bakrie  ;   Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia; Direktur Eksekutif Institute of Defense and Security Study
DETIKNEWS,  02 Oktober 2014

                                                                                                                       


Ide poros maritim yang dilontarkan presiden terpilih Joko Widodo secara langsung memberi bargaining position Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan Sea Lanes of Communications strategis yang dimilikinya, yang menyebabkan banyak negara bersaing untuk mendominasi jalur maritim tersebut.

Karena itu, modernisasi matra laut dan udara perlu dipercepat untuk mengatasi ketertinggalan kualitas dan kuantitas alat utama sistem persenjataan. Secara prinsip, kualitas kekuatan militer laut dan udara Indonesia harus dapat memberikan sumbangan pada upaya membangun perimbangan kekuatan untuk menjaga perdamaian kawasan secara keseluruhan.

Dalam jangka waktu dua dasawarsa ke depan, Asia adalah pusat ekonomi dunia karena tiga dari lima negara dengan ekonomi terkuat dunia berada di Asia: China, Jepang, dan India. Sedangkan pada 2050, Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 8 terbesar dunia.

Gagasan Jokowi mengenai poros maritim jelas memberikan sinyal bahwa negeri ini akan kembali bangkit menjadi bangsa bahari dengan memusatkan kekuatan ekonomi, daya tawar diplomasi, serta strategi politik dan militernya pada penguasaan dan pengendalian wilayah maritim. Pertanyaannya kemudian, dalam konsep Nawa Cita sebagai 9 Agenda Prioritas yang diusung oleh Jokowi, di mana disampaikan bahwa anggaran pertahanan negara akan ditingkatkan menjadi 1,5 persen produk domestik bruto saja, mampukah kita menjadi sebuah negara berporos maritim?

Indonesia dapat secara agresif terus-menerus menyatakan posisi nonbloknya dan artinya menegakkan Manual San Remo 1994 tentang konflik bersenjata di laut yang melarang aktivitas perseteruan bersenjata di perairan negara netral. Tapi jelaslah hal ini akan membawa kita pada implikasi lain akan permasalahan yang mencakup kapasitas dan sumber daya militer Indonesia yang akan terkikis untuk mengawasi dan mengontrol aktivitas kapal-kapal dan pesawat yang bertindak agresif di dalam wilayah perairan dan udara kita.

Namun Indonesia juga dapat mengambil pilihan nonblok—dalam arti sesungguhnya—yaitu untuk mampu merangkul dan memasuki orbit maritim negara-negara ASEAN dan Beijing, di mana Indonesia dapat meminta China terus mendukung serta mengembangkan kapasitas armada dirgantara dan kelautan Indonesia, khususnya dalam hal pengindraan maritim, persenjataan, pembangunan kapal, dan pengembangan kemampuan oceanography. Di sisi lain bersama-sama Amerika Serikat dan aliansinya mendukung aktivitas ISR, aktivitas penerbangan dan pelayaran di seluruh wilayah perairan dan udara nasional.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sesungguhnya menjadi sorotan dalam “diam”-nya menanggapi masalah klaim China atas Air Defence Identification Zones (ADIZ) di Laut China Timur. Sebenarnya momentum ini dapat digunakan oleh Jokowi untuk menetapkan ADIZ secara unilateral agar mampu melegitimasi ulang kepemimpinan Indonesia dalam mengantisipasi dan berperan aktif dalam konstelasi arc of instability kawasan. Mengapa?

Pertama, ADIZ dapat menjadi faktor karakteristik dan psikologis karena seorang pemimpin hebat harus mampu berorientasi pada kebijakan luar negeri untuk menunjukkan kemampuannya berperan di luar masalah domestik. Kedua, ADIZ dapat menjadi cara meningkatkan nasionalisme atau semangat regionalisme jika diterapkan dalam lingkup ASEAN. Ketiga, ADIZ dapat dilihat sebagai langkah untuk meningkatkan peran dalam memperluas proyeksi kekuatan.

China’s Air Defense Identification Zone (CADIZ) merupakan bagian dari strategi Cina untuk dapat menerapkan anti-access and area-denial jauh dari garis pantai Cina. Kekhawatiran bahwa CADIZ juga akan diterapkan di Laut Cina Selatan dapat menjadi momentum untuk menunjukkan kedaulatan Indonesia atas ruang udara nasionalnya sendiri yang terabaikan. “Claiming what is ours and defending what is ours” seharusnya menjadi semangat Indonesia bersama-sama negara ASEAN dalam mengantisipasi masalah akan ruang udara selain wilayah perairannya semata. Langkah inisiasi unilateral ASEAN ADIZ harus didorong oleh kepercayaan diri Indonesia untuk melindungi kepentingan nasional dan kepentingan negara-negara kawasan atas pengelolaan, pemanfaatan, dan pengamanan atas ruang udaranya.

Di sisi lain, sejak Desember 2004, Australia mengumumkan pembentukan Australian Maritime Identification Zone (AMIZ) sepanjang 1.000 mil laut dari garis pantai terluar Australia dan meliputi hampir sepertiga wilayah Indonesia. Sejak Maret 2005, semua perlintasan kapal yang melalui zona tersebut diminta memberikan perincian lengkap tentang kargo, kru, lokasi, kecepatan, dan pelabuhan tujuannya. Karena itu, Australia mengintegrasikan unsur-unsur militer Australia untuk menegakkan AMIZ yang diaplikasikan secara sepihak.

Padahal, dengan penerapan AMIZ, Australia telah melanggar kedaulatan enam negara tetangganya, termasuk Indonesia. Profesor Don Rothwell menyatakan AMIZ merupakan sebuah pelanggaran besar terhadap kebebasan bernavigasi di laut lepas dan kebebasan negara tetangga Australia untuk mengontrol wilayah perairannya sendiri.

Sebagaimana ADIZ, langkah Australia akan AMIZ ini dipastikan akan diikuti oleh Cina, yang pada 2020 dan 2050 akan menjadi negara dengan kemampuan green-water navy dan blue-water navy. Jika kompetisi ini terjadi dan diikuti oleh negara sekutu Amerika Serikat lainnya, kedaulatan Indonesia dan beberapa negara ASEAN dipastikan akan semakin terjepit, baik di ruang udara maupun wilayah perairannya.

Dalam konsep offensive realist, negara maupun sebuah kawasan membutuhkan kekuatan, tidak hanya untuk menjaga posisi demi terciptanya balance of power, tapi juga untuk menjadi sekuat mungkin. Dalam sebuah sistem, di mana tidak ada otoritas yang lebih tinggi daripada negara, menjadi masuk akal bagi tiap negara untuk memiliki power agar terjaga dari serangan negara lain. Karena itu, semua negara akan berperilaku selalu sama: mencari dan membangun power sebesar-besarnya.

Langkah tegas dan percaya diri Indonesia bersama-sama ASEAN untuk menetapkan “ASEAN One Water-One Sky Security” melalui ASEAN ADIZ dan ASEAN Maritime Identification Zone dan kemudian mewujudkannya dalam kapabilitas kerja sama pertahanan laut dan udara kawasan (ASEAN + China Maritime Security dan Air Space Cooperation) dapat menjadi kendaraan bagi pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan mimpinya akan Indonesia sebagai sebuah negeri bahari yang terlahir kembali, dengan poros maritim dan dirgantara yang berdaulat dan mumpuni, terutama dalam aspek pertahanan untuk menghadapi tantangan, risiko, dan ancaman dari konstelasi politik keamanan regional dan internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar