Poros
Maritim dan Perairan ASEAN
Connie Rahakundini Bakrie ; Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia; Direktur Eksekutif Institute of Defense and Security
Study
|
DETIKNEWS,
02 Oktober 2014
Ide
poros maritim yang dilontarkan presiden terpilih Joko Widodo secara langsung
memberi bargaining position
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan Sea Lanes of Communications strategis
yang dimilikinya, yang menyebabkan banyak negara bersaing untuk mendominasi
jalur maritim tersebut.
Karena
itu, modernisasi matra laut dan udara perlu dipercepat untuk mengatasi
ketertinggalan kualitas dan kuantitas alat utama sistem persenjataan. Secara
prinsip, kualitas kekuatan militer laut dan udara Indonesia harus dapat
memberikan sumbangan pada upaya membangun perimbangan kekuatan untuk menjaga
perdamaian kawasan secara keseluruhan.
Dalam
jangka waktu dua dasawarsa ke depan, Asia adalah pusat ekonomi dunia karena
tiga dari lima negara dengan ekonomi terkuat dunia berada di Asia: China,
Jepang, dan India. Sedangkan pada 2050, Indonesia diprediksi akan menjadi
kekuatan ekonomi nomor 8 terbesar dunia.
Gagasan
Jokowi mengenai poros maritim jelas memberikan sinyal bahwa negeri ini akan
kembali bangkit menjadi bangsa bahari dengan memusatkan kekuatan ekonomi,
daya tawar diplomasi, serta strategi politik dan militernya pada penguasaan
dan pengendalian wilayah maritim. Pertanyaannya kemudian, dalam konsep Nawa Cita sebagai 9 Agenda Prioritas yang diusung oleh Jokowi, di mana disampaikan
bahwa anggaran pertahanan negara akan ditingkatkan menjadi 1,5 persen produk
domestik bruto saja, mampukah kita menjadi sebuah negara berporos maritim?
Indonesia
dapat secara agresif terus-menerus menyatakan posisi nonbloknya dan artinya
menegakkan Manual San Remo 1994
tentang konflik bersenjata di laut yang melarang aktivitas perseteruan
bersenjata di perairan negara netral. Tapi jelaslah hal ini akan membawa kita
pada implikasi lain akan permasalahan yang mencakup kapasitas dan sumber daya
militer Indonesia yang akan terkikis untuk mengawasi dan mengontrol aktivitas
kapal-kapal dan pesawat yang bertindak agresif di dalam wilayah perairan dan
udara kita.
Namun
Indonesia juga dapat mengambil pilihan nonblok—dalam arti sesungguhnya—yaitu
untuk mampu merangkul dan memasuki orbit maritim negara-negara ASEAN dan
Beijing, di mana Indonesia dapat meminta China terus mendukung serta
mengembangkan kapasitas armada dirgantara dan kelautan Indonesia, khususnya
dalam hal pengindraan maritim, persenjataan, pembangunan kapal, dan
pengembangan kemampuan oceanography.
Di sisi lain bersama-sama Amerika Serikat dan aliansinya mendukung aktivitas
ISR, aktivitas penerbangan dan pelayaran di seluruh wilayah perairan dan
udara nasional.
Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono sesungguhnya menjadi sorotan dalam “diam”-nya
menanggapi masalah klaim China atas Air
Defence Identification Zones (ADIZ) di Laut China Timur. Sebenarnya momentum
ini dapat digunakan oleh Jokowi untuk menetapkan ADIZ secara unilateral agar
mampu melegitimasi ulang kepemimpinan Indonesia dalam mengantisipasi dan
berperan aktif dalam konstelasi arc of
instability kawasan. Mengapa?
Pertama,
ADIZ dapat menjadi faktor karakteristik dan psikologis karena seorang
pemimpin hebat harus mampu berorientasi pada kebijakan luar negeri untuk
menunjukkan kemampuannya berperan di luar masalah domestik. Kedua, ADIZ dapat
menjadi cara meningkatkan nasionalisme atau semangat regionalisme jika
diterapkan dalam lingkup ASEAN. Ketiga, ADIZ dapat dilihat sebagai langkah
untuk meningkatkan peran dalam memperluas proyeksi kekuatan.
China’s Air Defense Identification Zone
(CADIZ) merupakan bagian dari strategi Cina untuk dapat menerapkan
anti-access and area-denial jauh dari garis pantai Cina. Kekhawatiran bahwa
CADIZ juga akan diterapkan di Laut Cina Selatan dapat menjadi momentum untuk
menunjukkan kedaulatan Indonesia atas ruang udara nasionalnya sendiri yang
terabaikan. “Claiming what is ours and
defending what is ours” seharusnya menjadi semangat Indonesia
bersama-sama negara ASEAN dalam mengantisipasi masalah akan ruang udara
selain wilayah perairannya semata. Langkah inisiasi unilateral ASEAN ADIZ
harus didorong oleh kepercayaan diri Indonesia untuk melindungi kepentingan
nasional dan kepentingan negara-negara kawasan atas pengelolaan, pemanfaatan,
dan pengamanan atas ruang udaranya.
Di sisi
lain, sejak Desember 2004, Australia mengumumkan pembentukan Australian
Maritime Identification Zone (AMIZ) sepanjang 1.000 mil laut dari garis
pantai terluar Australia dan meliputi hampir sepertiga wilayah Indonesia.
Sejak Maret 2005, semua perlintasan kapal yang melalui zona tersebut diminta
memberikan perincian lengkap tentang kargo, kru, lokasi, kecepatan, dan
pelabuhan tujuannya. Karena itu, Australia mengintegrasikan unsur-unsur
militer Australia untuk menegakkan AMIZ yang diaplikasikan secara sepihak.
Padahal,
dengan penerapan AMIZ, Australia telah melanggar kedaulatan enam negara
tetangganya, termasuk Indonesia. Profesor Don Rothwell menyatakan AMIZ
merupakan sebuah pelanggaran besar terhadap kebebasan bernavigasi di laut
lepas dan kebebasan negara tetangga Australia untuk mengontrol wilayah
perairannya sendiri.
Sebagaimana
ADIZ, langkah Australia akan AMIZ ini dipastikan akan diikuti oleh Cina, yang
pada 2020 dan 2050 akan menjadi negara dengan kemampuan green-water navy dan blue-water
navy. Jika kompetisi ini terjadi dan diikuti oleh negara sekutu Amerika
Serikat lainnya, kedaulatan Indonesia dan beberapa negara ASEAN dipastikan
akan semakin terjepit, baik di ruang udara maupun wilayah perairannya.
Dalam
konsep offensive realist, negara
maupun sebuah kawasan membutuhkan kekuatan, tidak hanya untuk menjaga posisi
demi terciptanya balance of power,
tapi juga untuk menjadi sekuat mungkin. Dalam sebuah sistem, di mana tidak
ada otoritas yang lebih tinggi daripada negara, menjadi masuk akal bagi tiap
negara untuk memiliki power agar terjaga dari serangan negara lain. Karena
itu, semua negara akan berperilaku selalu sama: mencari dan membangun power
sebesar-besarnya.
Langkah tegas dan percaya diri Indonesia bersama-sama ASEAN untuk
menetapkan “ASEAN One Water-One Sky
Security” melalui ASEAN ADIZ dan ASEAN
Maritime Identification Zone dan kemudian mewujudkannya dalam kapabilitas
kerja sama pertahanan laut dan udara kawasan (ASEAN + China Maritime Security dan Air Space Cooperation) dapat
menjadi kendaraan bagi pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan mimpinya akan
Indonesia sebagai sebuah negeri bahari yang terlahir kembali, dengan poros
maritim dan dirgantara yang berdaulat dan mumpuni, terutama dalam aspek
pertahanan untuk menghadapi tantangan, risiko, dan ancaman dari konstelasi
politik keamanan regional dan internasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar