Selasa, 03 Juni 2014

Ungkapan Indah Tim Sukses

Ungkapan Indah Tim Sukses

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Apa yang kita sebut tim “sukses” itu secara psikologis kelihatan, atau terasa, melegakan. Mungkin bahkan membawa semangat pembebasan. Kita seperti dibujuk, dan diberi jaminan, untuk tidak usah risau. Tim itu seolah meyakinkan jaminannya: bila Anda ingin sukses, serahkan semua urusan pada kami.

Anda cukup duduk manis. Kami yang bekerja keras, Anda yang memetik hasilnya. Begitulah yang kita pahami dari tampilan simboliknya. Dan mereka membikin jembatan antara dunia simbolik dan dunia nyata ini dengan penampilan meyakinkan. Masingmasing berbusana rapi “jali”, kemeja mahal, dasi mahal, jas mahal, yang kadang hanya untuk nampang , ditenteng melulu, dan dalam rapat ditaruh di sandaran kursi. Dalam presentasi, jelas mereka mengesankan adanya kemampuan orang profesional. Ungkapan-ungkapan yang digunakannya meyakinkan.

Mereka selalu bicara tentang solusi, alternatif, terobosan, strategi, investigasi, mencuri start, dan banyak “trik” lainnya yang memesona. Semua itu untuk membungkam bos, yang dilayani, agar dia menaruh “trust “ yang besar pada mereka. Tapi kalau diperhatikan secara cermat, terasa bahwa di sana sini sebenarnya mereka tak terlalu yakin akan kata-kata mereka sendiri. Mereka bukan manusia sempurna, yang mengerti segala hal. Ada banyak yang sebetulnya tak mereka pahami. Tapi sisi gelap ini disembunyikan dengan rapi, serapi tampilan lahiriah mereka.

Kita memang memerlukan tim sukses. Tapi sebaiknya kita yang mengendalikan mereka, dan bukan sebaliknya. Kita bukan konsumen benda-benda bikinan pabrik yang sudah jadi, dan punya jaminan kesempurnaan. Kepada mereka, kita harus kritis. Kita dilarang untuk sepenuhnya “pasrah bongkokan“ atau percaya seutuhnya, dengan sikap taklid buta pada orangorang itu. Barangkali bagus diingat, bahwa dunia ini merupakan kuburan tim sukses yang kebanyakan tidak meraih sukses. Kalau dihitung sejak tim sukses dalam pilkades, pilcamat, pilkada, baik di tingkat kabupaten, dan kabupaten kota maupun provinsi, dan pilpres, betapa banyak jumlah mereka.

Makin banyak pasangan yang bertarung, makin banyak tim sukses yang dilibatkan, dan makin banyak jumlah mereka “gugur” di dalam pertarungan. Di tingkat organisasi masyarakat sipil, juga di dalam lingkungan organisasi sosial keagamaan, banyak sekali pemilihan ini pemilihan itu, yang juga melibatkan tim sukses. Sudah jelas bahwa tak semua pasangan yang bersaing itu memperoleh kemenangan. Tim sukses itu hanya sebuah nama, atau ungkapan. Namanya tampak positif, tapi menjebak kita, karena kenyataannya, seperti sudah disebutkan di atas, tak semua tim sukses meraih sukses.

Kita mencatat, ada yang meraih cercaan, ada yang disesali, ada yang tak berkutik ketika oleh jago yang didukungnya, yang marah besar karena kekalahannya itu, mereka dicaci maki dan ditololtololkan, disebut otak udang, sok tahu, tak mau mendengar suara orang lain, dan bukan hanya itu. Di mana-mana, di dalam pertarungan apa pun, selalu ada tim sukses yang rontok. Dan ada orang-orang yang kapok, dan bersumpah mati untuk tak mengulangi lagi menjadi tim sukses apapun.

Tim sukses bisa datang dari dalam lingkungan partai sang bos, bisa juga dari luar. Mereka bisa suatu tim profesional yang didatangkan, teken kontrak dan minta bayaran tinggi. Bisa juga orang-orang dari berbagai latar belakang, yang entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba “merapat” ke suatu pasangan yang bakal bersaing di pentas politik. Tim sukses dari luar partai itu bisa saja menimbulkan kemarahan dan rasa cemburu di kalangan orang-orang dalam. Bila tim sukses tak mengantarkan bos ke pintu kemenangan, konflik itu bisa menjadi semakin ganas.

Caci maki, kutukan, dan penghinaan, terpaksa ditelan dengan diam oleh tim sukses itu. Beban, dan tanggung jawab moral tim sukses mungkin dapat disamakan dengan pelatih sepak bola. Ketika sang pelatih tak berhasil mengantarkan “anak-anak” asuhannya ke pintu kemenangan, pelatih pun menghadapi risiko serupa. Bedanya, pelatih sepak bola hanya mempertaruhkan kemampuan teknis dan pengalaman, tim sukses lebih dari itu. Mereka, terutama yang “merapat” sendiri ke suatu pasangan calon presiden dan wakil presiden, bisa dicibir dan dipandang sebelah mata.

Dan seperti disebut di atas, mereka juga bisa menimbulkan kejengkelan dan rasa cemburu orang dalam. Sudah lama mereka bekerja untuk partai, dan tak dilibatkan ke dalam posisi penting itu, tapi tiba-tiba orang yang “merapat” dengan diam-diam itu malah memperoleh posisi begitu istimewa. Orang yang memang memiliki ambisi besar, cibiran, dan kritik yang bermuatan etis itu jelas tidak ada gunanya. Suara-suara etis itu tak bakal digubris. Etika hanya menyentuh kulit luar yang sudah terlalu tebal. Untuk membela diri dari cibiran orang banyak, mereka bisa menghibur diri dengan mengatakan bahwa mereka kerja profesional.

Mungkin bahkan sejak awal mereka telah menutup rapat kemungkinan cibiran ini dengan alasan profesional tadi. Tingkah laku dan sikap seperti itu seolah memberi tahu kita bahwa apa yang profesional tak perlu menggubris etika. Kata “profesional” kelihatannya bisa dijadikan kedok, dan jalan keluar dari keruwetan etis yang lembut itu. Kita cenderung tak peduli. Tapi orang partai, ketua partai, penasihat dan mereka yang disebut pengendali biduk partai, diminta untuk tak bersikap seperti itu. Seprofesional apa pun suatu tim sukses, kita wajib mengendalikannya.

Partai tak boleh menjadi ajang bagi orang luar untuk memainkan kartu politiknya. Tim sukses bila benar bakal membawa sukses pasti ada tuntutannya. Mungkin minta jabatan menteri. Mungkin minta bayaran lain, yang tak mudah memenuhinya. Untuk sementara kelihatannya mereka membantu partai, tapi dilihat dari segi manajemen sumber daya manusia, mereka merusak tatanan karena dengan begitu akan menjadi jelas, orang yang sudah lama menanti karier, ternyata diloncati begitu saja oleh orang yang menyebut dirinya profesional tadi.

Jika perkara-perkara etis lain yang berhubungan dengan dirinya sendiri pun bisa dilanggar, kita harus mencatat bahwa di masa depan, kemungkinan “merusak” partai, atau mencemarkan nama baik partai, bukan tak mustahil terjadi. Orang macam itu tidak menaruh loyalitas pada siapa pun karena hidupnya dilandaskan pada apa yang bersifat “kontrak”, atau “perjanjian” serba tertulis, atas dasar kebanggaan profesional tadi. Sikap hati-hati, dengan penuh perhitungan dan antisipasi, menjadi penting sekali.

Partai harus bisa menjaga dirinya sendiri karena tim demi tim, juga tim sukses, belum tentu membantu. Mereka tak bicara loyalitas. Bagi mereka, yang dijadikan rujukan hanya beberapa unsur penting di dalam kontrak. Tim sukses maupun yang tak sukses, sama-sama menjanjikan ungkapan indah, dengan segenap pemanis yang menawan. Tapi komitmen dan perjuangan mereka hanya terbatas pada apa yang disepakati dalam kontrak. Mereka tak pernah bicara tentang loyalitas, dan tak pernah menyertakan hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar