Darurat
Terorisme
Said
Aqil Siradj ; Ketua Umum PB NU
|
KOMPAS,
09 Juni 2014
MUSIM
darurat telah tiba. Derasnya berbagai persoalan yang menggerojok seakan telah
menobatkan negeri kita sebagai ”negeri darurat”.
Ada
darurat bencana, darurat kemacetan dan banjir, darurat korupsi, darurat
kekerasan dan intoleransi, darurat kejahatan seksual, dan sekarang ada
darurat terorisme. Ungkapan darurat terorisme muncul kembali setelah belum
lama ini terbit buku bertajuk Darurat Terorisme, Kebijakan Pencegahan,
Perlindungan dan Deradikalisasi” yang ditulis oleh Mayjen Agus Surya Bakti,
Deputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Pertanyaan
pun layak dilayangkan, benarkah negeri kita berada dalam situasi darurat
terorisme? Ini setidaknya memercikkan aroma ”horor” setara mencekamnya dengan
situasi saat masyarakat dikagetkan oleh kasus kejahatan paedofilia yang
terjadi belakangan ini. Kasus sekolah internasional di Jakarta dan kasus seorang
tersangka yang telah melakukan aksi paedofilia terhadap ratusan anak membuat
masyarakat tercekam rasa was-was.
Horor yang mengintai
Seusai
hiruk pikuk pemilu legislatif dan saat ini masyarakat tengah menanti
Pemilihan Presiden 9 Juli mendatang, hawa panas terus menyengat. Berbagai
siasat demi memenangkan ”presiden pilihan rakyat” terus digerakkan.
Sampai-sampai kampanye hitam saling bersahutan memekakkan keheningan sosial.
Di balik
gemerlap dan riuh pemilu, diam-diam aparat kepolisian melalui Densus 88
menangkap tiga terduga teroris di Klaten, Jawa Tengah. Aksi berlanjut dengan
penangkapan Ramuji, anggota kelompok Santoso-Eka yang beraksi di Poso. Mereka
ini diduga akan menggelar amaliyah bom bunuh diri bertepatan dengan
penyelenggaraan Pilpres 9 Juli 2014. Polisi juga menangkap terduga teroris
Galih Satria di Desa Wonocoyo, Trenggalek, Jawa Timur. Penangkapan juga
dilakukan terhadap dua terduga teroris di Nusa Tenggara Barat yang diduga
merupakan sel baru. Perburuan kawanan teroris Poso, terutama Santoso, masih
berlangsung.
Seiring
dengan gigihnya aparat kepolisian menangkap dan memburu teroris, tiba-tiba
masyarakat tersentak oleh aksi kekerasan yang dilakukan sekelompok orang
terhadap Direktur Galang Press di Yogyakarta saat di rumahnya diadakan kebaktian.
Yogyakarta makin panas dengan kejadian susulan perusakan atas bangunan rumah
ibadah umat Kristiani di Dusun Tanjungsari dan Dusun Pangukan, Sleman.
Tampaknya
terorisme dan kekerasan berparas agama saling berkelindan dan bahu-membahu
dalam mengayunkan aksinya. Dua wajah kekerasan tersebut sama-sama bersendikan
pada sikap intoleransi, antipati, dan kebencian terhadap segala hal yang
”berbeda rupa”. Perbedaan di antara keduanya memang ada. Terorisme bersifat
klandestin, beraksi secara mendadak dan langsung menghancurkan dengan senjata
api atau bom terhadap sasaran yang dituju, baik korban manusia maupun
bangunan fisik. Kekerasan beraroma agama lazimnya dilakukan secara terbuka,
berkelompok, dan bisa juga massal terhadap sasaran yang dibidik meski sering
juga dilakukan aksi dadakan, seperti pada kasus Yogyakarta. Kekerasan model
ini juga bisa terang-terangan seperti pada kasus penyerangan di Monas, beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh
sekelompok orang beratribut tertentu.
Metamorfosis gerakan
Kita
terus dihadapkan dengan apa yang kerap disebut radikalisme. Ada indikasi
radikalisme, yaitu respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Biasanya
respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan
perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga,
atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
kondisi yang ditolak. Tak berhenti pada upaya penolakan, radikalisme terus
berupaya mengganti tatanan tersebut dengan bentuk tatanan lain. Ciri ini
menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau
pandangan dunia tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan
tatanan itu sebagai ganti dari tatanan yang ada. Sikap radikal mengandaikan
keinginan untuk mengubah keadaan secara mendasar.
Radikalisme
muncul dari turunan sikap ghuluw,
yaitu bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespons persoalan
hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Dari
elemen sikap ini lalu memunculkan sikap tatharruf, yaitu sikap berlebihan
karena dorongan emosional yang berimplikasi terhadap empati berlebihan dan
sinisme keterlaluan dari masyarakat. Akhirnya, dari kedua sikap ini akan
melahirkan sikap irhab. Ini yang
terlalu mengundang kekhawatiran. Sebab, bisa jadi membenarkan kekerasan atas
nama agama atau ideologi tertentu. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan
karena dorongan agama atau ideologi. Teroris disebut irhabi/irhabiyyun, karena mereka menempuh jalan kekerasan (al-’unuf) demi mencapai tujuan politis
mereka (al-ahdaf al-siyasiyah).
Pasar ideologi
Negeri
kita saat ini secara kasat mata tengah dibelit oleh maraknya berbagai
kelompok keagamaan dalam wujud puritan dan radikal. Kelompok-kelompok ini
secara terang-terangan mendaratkan aksinya dengan kedok dakwah yang lurus
sesuai dengan orisinalitas zaman Nabi Muhammad. Dakwah mereka sering
bertabrakan dengan tradisi keagamaan yang mainstream.
Demikianlah,
negeri kita sedang berada dalam situasi pasar bebas ideologi. Kebebasan
ekspresi pada era reformasi ini telah dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok
keagamaan yang dengan gagah berani menolak Pancasila dan UUD 45 serta mudah
sekali mengecap thoghut terhadap
segala hal yang berbau NKRI. Negara sudah tak punya daya dan wibawa. Sebuah
organisasi keagamaan kecil yang tampak terorganisasi dengan rapi, misalnya,
malah mendapat perlindungan dari pejabat negara. Padahal, dalam setiap
pengajian mereka terus mendakwahkan penyesatan terhadap kelompok Islam
lainnya dan bahkan mengejek simbol-simbol negara.
Yakinlah bahwa kondisi darurat makin menajam selama kelompok-kelompok
ini bebas melakukan kegiatannya. Aksi kekerasan dan bahkan terorisme sulit
dibendung. Intoleransi akan terus terjadi dan menorehkan warna kelam terhadap
kebinekaan. Kita tentu tak ingin ada kelompok ala Boko Haram atau Assyabab
yang sangat puritan dan radikal seperti di Nigeria dan Somalia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar