Politik
Perempuan Menyambut Pilpres
Ida
Fauziyah ; Ketua
Umum PP Fatayat NU dan Ketua Komisi VIII DPR RI
|
KORAN
SINDO, 17 Juni 2014
Pada 9
April 2014 bangsa Indonesia telah menggelar perhelatan demokrasi, yaitu
pemilu legislatif. Sebagai pemilu keempat di era Reformasi, Pemilu 2014
merupakan perhelatan demokrasi yang penting bagi proses konsolidasi demokrasi
kita yang sampai saat ini masih terus berlangsung.
Salah
satu isu penting dalam konsolidasi demokrasi itu adalah peningkatan
partisipasi dan penguatan representasi perempuan dalam kancah politik,
khususnya di parlemen. Di era Reformasi ini representasi perempuan di
parlemen memang mengalami fluktuasi dan pasang surut. Pada periode 1999-2004,
anggota DPR perempuan sebanyak 44 orang atau 8,80%. Representasi perempuan
meningkat pada pemilu kedua di masa reformasi.
Pada
periode 2004-2009, wakil rakyat perempuan meningkat menjadi 62 orang (11%),
meski dengan persentase lebih kecil ketimbang periode 1992-1997, yaitu 12,15%
dengan 60 wakil perempuan. Hasil Pemilu 2009 menunjukkan kenaikan perempuan
terpilih secara signifikan menjadi 101 orang perempuan atau 18,04% dari 560
anggota DPR periode 2009-2014.
Tidak
hanya di level DPR RI, hasil Pemilu 2009 juga membawa peningkatan jumlah
perempuan terpilih di legislatif tingkat DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/
kota. Kenaikan itu adalah: 18% di DPR, 16% kursi perempuan di seluruh DPRD
provinsi, dan 12 % perempuan di seluruh DPRD kabupaten/kota. Sayang, Pemilu
2014 yang diharapkan menjadi momentum untuk meningkatkan representasi
perempuan tidak tercapai.
Pada
pemilu keempat di era ini representasi perempuan di parlemen justru turun.
Jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR pada Pemilu 2014 hanya
17,32%, yaitu 97 kursi dari 560 anggota DPR. Persentase keterwakilan
perempuan tersebut masih jauh dari angka kritis (critical number) sebesar 30% dari jumlah anggota parlemen.
Penurunan Representasi Politik
Perempuan
Penurunan
ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, faktor kultural. Faktor ini
berupa paradigma patriarki yang masih berkembang di masyarakat. Dunia politik
masih dianggap sebagai dunia kaum lelaki. Masih kuat persepsi yang memandang
bahwa perempuan tidak pantas masuk kancah politik. Situasi ini berdampak pada
dua hal, yaitu masih sedikitnya kader perempuan yang serius masuk politik,
dan rendahnya kesadaran dan partisipasi pemilih perempuan untuk memilih caleg
perempuan.
Kedua,
secara struktural, affirmative action
yang dilakukan untuk mendorong keterpilihan perempuan ternyata belum efektif.
Langkah afirmasi yang tertuang dalam Undang-Undang Parpol dan Undang-Undang
Pemilu itu salah satunya berupa kewajiban bagi partai politik untuk
mencalonkan minimal 30% caleg perempuan dari total jumlah caleg di setiap
daerah pemilihan.
Bahkan,
KPU berwenang mencoret dari kepesertaan pemilu di dapil yang bersangkutan
bagi partai politik yang jumlah caleg perempuannya tidak mencapai 30%. Namun,
langkah itu ternyata belum berbanding lurus dengan keterpilihan perempuan
karena terbentur sistem pemilu yang sedemikian liberal. Pemilu dengan sistem
terbuka dan suara terbanyak ternyata telah melahirkan kompetisi yang liberal
dan menyuburkan politik uang.
Dalam
situasi demikian, caleg yang tidak memiliki ”modal” banyak akan tersingkir
dari pertarungan. Tradisi politik ini telah mendorong pemilih untuk
menentukan pilihan tidak lagi secara rasional, melainkan memilih berdasarkan
pertimbangan pragmatis. Dalam konteks inilah caleg perempuan kerap menjadi
korban dari kompetisi yang pragmatis tersebut.
Berbagai
faktor penyebab penurunan jumlah keterwakilan perempuan diparlemen itu perlu
mendapatkan perhatian untuk dicegah dan diubah. Kabar kurang baik ini tentu
menyadarkan kita bahwa kemajuan proses demokratisasi di Indonesia belum
paralel dengan kemajuan politik kaum perempuan. Kondisi itu menunjukkan bahwa
perjuangan politik perempuan masih jauh dari garis finis.
Masih
panjang perjuangan yang harus dilakukan. Di samping secara kuantitatif terus
mengejar pemenuhan angka representasi minimal, upaya yang harus dilakukan
adalah meningkatkan kualitas dan peran para anggota parlemen perempuan dalam
memperjuangkan nasib kaum perempuan, menciptakan keadilan gender, dan
pemenuhan hak-hak kaum perempuan di semua ranah kehidupan.
Dalam
negara demokrasi, parlemen menjadi alat negara yang berfungsi merumuskan dan
mengesahkan regulasi, salah satunya undang-undang. Untuk itu, para legislator
perempuan mempunyai tugas besar untuk memperjuangkan
hakhakperempuanmelaluiberbagai kebijakan dan regulasi. Lebih dari sekadar
perjuangan hakhak dan nasib perempuan, parlemenmenjadiarenastrategisbagi
perempuan untuk berkontribusi bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Tidak
hanya memberi ruang bagi sumber daya besar perempuan untuk turut serta
mengambil kebijakan negara, perempuan juga membuat keputusan berdasarkan
ethics of care atau peduli pada kepentingan banyak orang.
Menyambut Pilpres 2014
Setelah
pemilu legislatif digelar, bangsa Indonesia masih mempunyai agenda politik
yang tak kalah penting, yaitu pemilu presiden dan wakil presiden. Perhelatan
pemilihan pemimpin nasional yang akan digelar pada 9 Juli 2014 tersebut
merupakan momentum strategis untuk menentukan nasib dan masa depan bangsa
Indonesia.
Tidak
hanya untuk lima tahun mendatang, sebagai arena untuk memilih presiden dan
wakil presiden secara langsung, Pilpres 2014 menjadi pertaruhan demokrasi
Indonesia karena hingga 16 tahun reformasi, konsolidasi demokrasi kita belum
juga selesai. Lebih dari sekadar peralihan kepemimpinan nasional, pilpres
kali ini juga merupakan momentum bagi regenerasi kepemimpinan nasional.
Pada
tahun politik 2014 inilah tongkat kepemimpinan nasional akan beralih dari
generasi tua kepada generasi muda. Fenomena ini dapat dibaca dari munculnya
tokoh-tokoh politik baru yang tampil menjadi capres. Situasi ini merupakan
kemajuan bagi demokrasi Indonesia. Dengan tampilnya generasi muda dalam
kancah kepemimpinan nasional, kita berharap berbagai agenda reformasi yang
belum tuntas akan dapat diselesaikan dengan lebih cepat.
Mengingat
begitu pentingnya proses politik itu, kaum perempuan tidak boleh tinggal
diam. Setelah berhasil terlibat dalam mengusahakan peningkatan keterwakilan
perempuan pada pemilu legislatif, lalu, kaum perempuan juga harus kembali
turut ambil bagian secara aktif dalam momentum pilpres ini. Sebagai salah
satu komponen terpenting bangsa, setidaknya ada tiga hal yang harus didorong
dan diupayakan kaum perempuan dalam proses suksesi kepemimpinan nasional itu.
Pertama,
meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam Pilpres 2014. Menurut data
BPS, perempuan merupakan separuh dari populasi penduduk, yaitu 49,83% dari
total populasi penduduk Indonesia. Pada DPT Pemilu 2014 lalu jumlah pemilih
perempuan adalah 93.151.087 orang, sedangkan pemilih lakilaki berjumlah
93.418.119.
Kenyataan
ini harus dibaca dengan perspektif bahwa perempuan sesungguhnya sangat
menentukan masa depan bangsa melalui pemilihan legislator dan penentuan
kepemimpinan nasional. Karena itu, kita bertanggung jawab untuk meningkatkan
partisipasi politik kaum perempuan dalam Pilpres 2014. Kedua, memilih capres
dan cawapres yang properempuan.
Memilih
pemimpin yang berkomitmen pada kesetaraan dan keadilan gender merupakan suatu
keniscayaan karena keberpihakan pemerintah terhadap perempuan sangat
tergantung oleh political will pemimpinnya. Komitmen ini dapat dibaca dari
visi dan misi capres-cawapres, di samping komitmen memberikan ruang dan
kesempatan kepada perempuan untuk menduduki posisi strategis.
Pilihlah
calon pemimpin yang memberikan perhatian khusus kepada perempuan dengan
berbagai program aksi untuk memberdayakan dan melindungi kaum perempuan,
serta memosisikan perempuan sebagai subjek yang setara, berdaulat secara
politik, merdeka, dan bermartabat. Di samping itu, representasi perempuan
dalam pemerintahan juga perlu ditingkatkan untuk mendorong pengarusutamaan
gender di tingkat eksekutif.
Selama
ini jumlah menteri perempuan di kabinet maksimal hanya 5 orang, atau 1,7%
dari 34 kursi menteri. Dibandingkan dengan representasi perempuan di ranah
legislatif, angka itu sangat timpang.
Ketiga,
memastikan keberpihakan pemerintahan yang baru terhadap kaum perempuan. Di
samping berpartisipasi dalam demokrasi prosedural berupa pemilu, hal yang
jauh lebih penting adalah memastikan berjalannya demokrasi substansial dengan
mendorong pelaksanaan komitmen pengarusutamaan gender dan mewujudkan tata
kelola pemerintahan yang berkeadilan dan berpihak pada kaum perempuan.
Untuk
itu, kita harus terus mendorong, mengawal, dan mengadvokasi kebijakan
pemerintah yang baru melalui perumusan berbagai kebijakan dan aksi konkret
dalam upaya pengembangan, pemenuhan hak, dan perlindungan terhadap perempuan.
Pilpres 2014 ini merupakan momentum penting bagi kaum perempuan untuk
memperbaiki nasibnya melalui perjuangan politik.
Keterlibatan
politik perempuan memiliki makna penting untuk meningkatkan keberpihakan
negara terhadap kaum perempuan dan meneruskan agenda pengarusutamaan gender
di Indonesia. Dalam proses konsolidasi demokrasi yang kini sedang berlangsung
kaum perempuan tidak boleh absen, karena tidak ada demokrasi sejati tanpa
keterlibatan perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar