Kematian Gaya Hidup
Saifur Rohman ; Pengajar
Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 03
Februari 2016
Jessica Kumala Wongso
(27) ditangkap polisi di Jakarta, Sabtu (30/1), atas dugaan keterlibatan
dalam tindak pidana pembunuhan. Penangkapan itu menyusul kematian Wayan Mirna
Salihin (27) setelah menyeruput kopi
di sebuah kafe di Jakarta.
Kejadian itu diawali
kesepakatan tersangka, korban, dan seorang teman untuk bertemu di sebuah mal
sore hari pukul 16.00. Belakangan diketahui tersangka lebih dulu memesan cocktail untuk dirinya dan fashioned sazerac untuk teman korban.
Kasus ini telah
menyita perhatian publik karena lokasi kejadian adalah kafe yang selama ini
telah jadi ikon baru gaya hidup warga perkotaan. Kala citra kafe sebagai
tempat bersantai telah jadi bagian dari modus kejahatan, apa yang
sesungguhnya terjadi di masyarakat kita? Bagaimana pola-pola perubahan sosial
dan eksesnya dalam sistem sosial bila dilihat dari peran kafe sebagai
ekspresi gaya hidup?
Politik ruang
Kasus itu memberikan
tengara, ada masalah interpersonal, sosial, dan politik ruang dalam bingkai
kapitalisme global di tengah-tengah masyarakat kita. Hal itu bertolak dari
kenyataan, selama ini dipahami kafe merupakan kedai yang tidak hanya
menawarkan minuman dan makanan ringan, tetapi juga tempat bersantai. Dalam
pola pikir marxisme, kafe adalah tempat pelarian diri warga kota dalam mesin
kapitalisme global yang hiruk-pikuk. Jadi, harga yang dibayar bukanlah
sekadar nilai dari menu minuman dan makanan, melainkan lokasi dan suasana.
Kebutuhan tempat yang nyaman di tengah kebisingan kota telah menjadi
komoditas penting.
Inilah barangkali yang
dipikirkan Sara Upstone ketika menulis buku Spatial Politics in the Post-Colonial
Novel (Farnham: Ashgate, 2009). Dia mengembangkan teori: ruang
adalah media ucap baru untuk praktik politik, kekuasaan, dan kekacauan.
Sebagai sebuah media, penulisan sejarah masyarakat adalah penulisan tentang
sejarah ruang. Contoh, sejarah pembangunan kota cukup dilihat dari
perkembangan jumlah apartemen. Sebab, apartemen adalah ikon dari penciptaan
ruang vertikal yang semula tidak pernah ditemukan ketika ruang hanya mengacu
pada perluasan tanah.
Bila direfleksikan
dalam kenyataan sekarang, sebetulnya ada politik ruang di balik menjamurnya
kafe di kota-kota besar. Politik ruang itu, suka atau tidak, telah membawa
perubahan dalam sistem sosial. Perubahan itu sekurangnya dapat diidentifikasi
dalam lima fakta sosial.
Pertama, kafe telah
dicitrakan sebagai ruang baru yang "bisa menghasilkan uang". Nilai
ekonomis itu dipahami dalam variabel penawaran-permintaan yang terus
meningkat. Ketika lebih dari 300 kafe kelas atas bertebaran, hal itu bisa
dibaca sebagai indikasi atas tingginya minat warga kota mengunjungi ruang
itu.
Kedua, secara
psikologis, kedai kopi telah berubah jadi ruang ekspresi dari gaya hidup kaum
urban yang merindukan keakraban sosial-emosional. Mereka bisa
memperbincangkan apa saja di sebuah pojok kafe. Bila merujuk arti secara
etimologis, kata "kafe" memang berasal dari bahasa Perancis yang
berarti minuman kopi. Padahal, secara historis, komoditas kopi di Nusantara
sebetulnya bagian dari sejarah pengisapan warga Hindia Belanda sebagaimana
ditunjukkan Multatuli dalam novel yang ditulis pada tahun 1860. Sebetulnya
sejarah kopi di Indonesia adalah sejarah kesedihan.
Punahnya
ruang santai
Ketiga, kafe kembali
mengalami metamorfosis dalam perubahan sosial, yakni dari tempat bersantai
jadi tempat yang tidak bisa benar-benar santai. Kafe telah jadi bagian dari
proses kreatif untuk menghasilkan perbincangan serius. Rancangan pelbagai
kebijakan yang berdampak luas dimulai dari sebuah obrolan ringan antarelite
politik di sebuah kafe. Hal itu tidak sulit menemukan bukti. Dalam berbagai
kasus di Indonesia, obrolan ringan tak jarang berubah jadi negosiasi
penyuapan.
Kelima, kafe berubah
dari inspirasi eksistensialisme menuju media ekshibisionisme. Ketika pada
masa 1970-an jumlah kafe merebak di Paris, filsuf Perancis, Jean-Paul Sartre,
menghabiskan waktunya di kafe untuk menulis risalah filsafat
eksistensialisme. Pada perkembangan berikutnya, kafe mulai menjamur di
Indonesia pada 1980-an, seiring pertumbuhan ekonomi Orde Baru dan lahirnya
kelas menengah perkotaan. Dalam dekade terakhir, ketika paham eksistensialisme
Sartre telah berakhir, kafe telah berubah jadi ruang virtual bagi warga kota
agar bisa disebut eksis. Istilah 'eksis' bukanlah eksistensialisme yang
mendamba pentingnya kebebasan, tetapi lebih merujuk ekshibisionisme.
Fakta-fakta sosial di
atas menunjukkan betapa gaya hidup mengalami perubahan dan sistem sosial
memaksa kita untuk berpikir tentang pencarian dan pendefinisian ruang baru
untuk gaya hidup baru. Nyatanya, masyarakat perkotaan mengalami evolusi.
Mereka mendapati gaya hidup modern telah mati. Sebab, gaya hidup telah
bercampur dengan pandangan hidup dan ruang santai telah berubah menjadi
tempat yang mengerikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar