Rabu, 03 Februari 2016

Mewaspadai ‘Virus’ LGBT

Mewaspadai ‘Virus’ LGBT

Hasian Sidabutar  ;   Anggota Initiatives of Change (IofC) Indonesia;
Alumnus Universitas Negeri Medan
                                                  REPUBLIKA, 01 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa pekan terakhir, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan maraknya promosi atau iklan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di media sosial. Mirisnya, iklan perekrutan oleh kaum LGBT telah menyentuh berbagai media sosial yang notabene sedang dicintai anak-anak muda masa kini. Bahkan, kelompok LGBT juga sudah menjalar ke kampus, sekolah, dan tempat umum lainnya.

Berbagai lembaga survei independen dalam dan luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia punya tiga persen kaum LGBT dari total penduduknya. Berarti, dari 250 juta jiwa penduduk kita, 7,5 juta di antaranya adalah LGBT. Atau, lebih sederhananya, dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat, tiga di antaranya adalah LGBT. Hal ini mengindikasikan bahwa "virus" LGBT telah bersarang dan darurat di negeri ini.

Tidak dapat dimungkiri maraknya fenomena LGBT sangat terkait dengan tren negara-negara liberal yang memberikan pengakuan dan tempat bagi penyandang LGBT di masyarakat. LGBT dianggap sebagai bagian life style masyarakat modern yang menganggap pandangan heteroseksualitas sebagai konservatif dan tidak berlaku bagi semua orang.

Bahkan, lebih dari 11 negara, di antaranya, Belanda, Belgia, Spanyol, Swedia, melegalkan perkawinan sejenis dan menjadi surga bagi LGBT untuk menunjukkan eksistensi sosialnya, sekaligus menyalurkan hasrat seksual. Kebebasan dan hak asasi kemudian menjadi dalih atas kebijakan tersebut.

Hingga saat ini, masih terjadi pergolakan di negara-negara Barat, terutama kelompok konservatif yang memegang teguh nilai-nilai keluarga dan teologis yang secara gigih menentang praktik penyimpangan seksual tersebut. Lihat saja sikap pemimpin Gereja Katolik Prancis, Kardinal Phillipe Barbarin, yang menyebut bahwa legalisasi atas pernikahan sejenis akan meruntuhkan tatanan hidup masyarakat.

Di Amerika Serikat sendiri hanya sekitar empat negara bagian yang menyetujui pengakuan pernikahan sejenis. Penolakan juga muncul dari kalangan profesional. Brendan Eich, CEO Mozilla yang mengundurkan diri secara tegas menolak pernikahan sejenis di Negara Bagian Kalifornia. Bahkan, Brendan Eich menyatakan apresiasinya terhadap gerakan anti-LGBT di Indonesia dengan kultur Timur yang menjunjung religiositas.

Secara gencar para penyandang LGBT ini menyosialisasikan diri dan nilai-nilai seksualitas yang mereka anut dengan mengambil momentum kebebasan yang demikian terbuka. Industri budaya pop, terutama industri kreatif di bidang entertainment, seperti musik, sinetron, dan film menjadi alat strategis untuk menyebarkan cara pandang, gaya perilaku, dan eksistensinya pada publik, hampir seluruh lapisan usia dan strata sosial. Lemahnya mekanisme sensor dan kritisisme publik menjadikan proses penetrasi nilai-nilai LGBT menjadi semakin efektif.

Targetnya adalah terciptanya proses habituasi (pembiasaan) dan adaptasi (penyesuaian) bagi masyarakat terhadap LGBT, sehingga akhirnya masyarakat akan menerima fenomena penyimpangan orientasi seksual yang jelas-jelas bertentangan dengan norma agama dan nilai-nilai sosial bangsa sebagai kelaziman, terbiasa, dan bahkan tersugesti untuk masuk dalam kondisi yang mereka sebut sebagai hak asasi yang bergantung pada pilihan individu masing-masing.

Selain memanfaatkan media industri hiburan, LGBT bahkan telah memasuki arena politik dengan jaringan lobi yang kuat. Lihat saja jumlah negara yang semakin banyak melegalisasi pernikahan sejenis dan para politikus yang secara terbuka menunjukkan simpati dan dukungan politiknya.

Setidaknya sejumlah pemimpin negara besar menunjukkan sikap akomodatif terhadah kaum gay dan lesbian, seperti PM Inggris David Cameron, Barack Obama, Francois Hollande. Dukungan ini membawa dunia di ambang bahaya akibat agresi dalam skala yang masif terhadap nilai-nilai keluarga, moral publik, dan masa depan dunia.

Di Indonesia sendiri, saat ini belum ada politikus yang berani terbuka mendukung praktik penyimpangan seksual ini. Namun, tidak menutup kemungkinan ketika penetrasi nilai dan pengakuan sosial kaum LGBT ini telah masif akan mengubah haluan para politikus yang memang cenderung melihat kesempatan berdasarkan kalkulasi potensi dukungan suara. Kaum LGBT kemudian semakin berani muncul di tempat publik dengan mempertontonkan identitasnya yang kini tidak lagi dianggap tabu.

Legitimasi sosial muncul dengan pembelaan ilmiah dan teologis secara apriori guna memperkuat klaim tentang eksistensi maupun tujuan sosial mereka. Situasi itulah yang kemudian membuat LGBT menyebar demikian pesat sebagai epidemi sosial. Tidak lagi hanya fenomena kota besar, tetapi hampir di seluruh wilayah dan lapis sosial.

Memang, LGBT itu bukan kejahatan, akan tetapi berpotensi menghasilkan kejahatan, seperti kekerasan seksual, penyebaran penyakit seksual, dan agresi terhadap nilai-nilai publik. Namun, kita harus bijak karena penyandang LGBT bisa saja merupakan korban maupun pelaku.

Sejumlah penelitian menunjukkan, LGBT bisa muncul akibat pengalaman traumatik (korban kekerasan seksual) maupun faktor genetik yang memengaruhi struktur kromosom yang menunjukkan jenis kelamin. Namun, LGBT juga dapat muncul sebagai dampak interaksi sosial yang keliru, sehingga ikut mengalami penyimpangan seksual (sosial disease).

Hal itu menempatkan bahwa penyandang LGBT bisa saja merupakan pelaku sekaligus korban yang kedua-duanya perlu mendapat perhatian yang tepat agar mereka bisa menyesuaikan dan mengintegrasikan diri dalam masyarakat yang normal. Jika pun itu tidak mungkin, setidaknya mereka tidak akan menjadi ancaman sosial yang membahayakan.

Merespons maraknya kejahatan seksual, terutama terkait LGBT, masyarakat harus mampu mengembangkan kewaspadaan sosial. Begitu pula negara tidak bisa lepas tangan dan berlindung di balik penghargaan terhadap hak asasi warga negara. Negara memiliki kewajiban menjaga nilai-nilai dan standar moral yang dianut oleh publik mayoritas. Berbagai tontonan yang tidak layak dan melegitimasi perilaku penyimpangan seksual harus dievaluasi kembali.

Begitu pula sikap tegas dalam merespons tuntutan pengakuan seksualitas dan perkawinan sejenis. Negara tidak boleh melegalkan agresi terhadap moralitas dan nilai-nilai publik. Tanpa standar moral dan menjaga nilai-nilai yang diyakini publik, niscaya bangsa itu akan kehilangan generasi penerus bagi masa depannya. Penyandang LGBT jika tidak diwaspadai akan menjadi predator seksual bagi orang normal dan merusak masa depan para pewaris masa depan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar