Rabu, 03 Februari 2016

Konflik Pemikiran di dalam NU (Bag 1)

Konflik Pemikiran di dalam NU  (Bag 1)

Salahuddin Wahid  ;   Pengasuh Pesantren Tebuireng
                                                   REPUBLIKA, 30 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perbedaan tafsir suatu ajaran atau aturan adalah hal lumrah, terjadi di banyak organisasi bahkan di dalam negara. Namun, bila perbedaan itu amat berbeda atau bertentangan, organisasi itu akan mengalami guncangan, bahkan mungkin perpecahan jika tidak dikelola dengan baik. Sebagai contoh, kita bisa melihat Uni Soviet atau Sarikat Islam pada 1930-an.

Di dalam jam'iyyah Nahdlatul Ulama menjelang 1990, terjadi perubahan mendasar di dalam sekelompok anak muda NU dalam menafsirkan ajaran Ahlusunah waljamaah (Aswaja) yang menjadi ajaran dasar bagi NU.
Perbedaan ini konsekuensi logis dari banyaknya anak muda NU yang tamat dari berbagai pesantren dan lalu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk ke negara Barat dan Timur Tengah. Mereka mendapat dorongan dan pengayoman serta diilhami Ketua Umum PBNU (1984-1999) Abdurrahman Wahid.

Aswaja an-Nahdliyah yang selama ini menjadi ajaran dasar dan acuan berpikir bagi organisasi NU, tercantum dalam Qanun Asasi yang disusun KH Hasyim Asy'ari. Secara sederhana, Aswaja NU dirumuskan sebagai ajaran yang dalam fikih mengikuti imam empat (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali). KH Bisri Mustofa menambah rumusan itu: dalam akidah mengikuti Imam Asy'ari dan Imam Maturidi, dan dalam tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi.

Definisi ulang Aswaja Pada 1995, Dr Said Aqiel Siradj (SAS)
menyatakan di depan Musyawarah Pimpinan PMII (1995), "Batasan tentang Aswaja yang dikemukakan KH Hasyim Asy'ari itu membuat kita agak risih, katakan saja cukup memalukan karena kesederhanaannya." Pendapat SAS itu mendapat tanggapan keras dari para ulama NU. 

Seingat saya, sekitar 1995 pernah dibentuk tim untuk mengkaji dan mengklarifikasi pernyataan SAS itu, tetapi saya tidak tahu akhirnya.
Dalam pertemuan di Pesantren Sukorejo Asem Bagus, Situbondo, beberapa bulan lalu, ada pembicara yang mengemukakan kembali pernyataan SAS itu. Saya menanggapinya bahwa rumusan Aswaja KH Hasyim Asy'ari yang dibuat pada 1926 ditujukan bagi masyarakat lapisan bawah yang merupakan mayoritas umat Islam. Tentu rumusan itu harus mudah diingat, dipahami, dan diikuti umat yang jumlahnya amat besar dan tingkat pendidikannya belum setinggi pada 1995.

Ternyata, pengikut Aswaja an-Nahdliyah hasil rumusan KH Hasyim Asy'ari mencapai sekian puluh juta. Berarti, Aswaja rumusan KH Hasyim Asy'ari itu sesuai harapan ma syarakat yang ingin dituju. Jadi, Aswaja ru musan KH Hasyim Asy'ari itu tidak memalukan, tetapi jitu dalam membaca harapan masyarakat.

Yang memalukan justru orang yang tidak mampu memahami untuk siapa dan bagaimana rumusan sederhana itu dibuat. KH Hasyim Asy'ari tentu bisa membuat rumusan canggih, tetapi untuk apa kalau itu tidak dipahami dan tak diikuti orang banyak.

SAS juga yakin, nantinya pemikirannya itu akan diikuti banyak orang. Di kalangan NU, banyak anak muda yang berpikiran liberal dan sebagian membentuk Jaringan Islam Liberal. Mereka pernah memegang posisi strategis di struktur NU, seperti pimpinan Lakpesdam.

Saat KH Hasyim Muzadi menjadi ketua umum, posisi strategis tak banyak mereka pegang. Dalam jurnal Tashwirul Afkar edisi No 17 tahun 2004 jelang muktamar, untuk laporan utama mereka menggunakan judul "Simpang Jalan NU". Edisi ini memuat tulisan yang menggugat PBNU (1999-2004) yang dianggap terlalu politis. Bisa juga dimaknai simpang jalan menafsirkan Aswaja.

Selain SAS, sejak lama, sejumlah anak muda menyatakan perlunya redefinisi konsep Aswaja NU. Mohammad Luthfi Tomafi (alumnus al-Azhar Kairo) menulis pada akhir 2002, konsep Aswaja NU sudah terasa sempit. Pada tataran fikih, keempat mazhab yang diresmikan NU sudah nyata-nyata tidak mampu menampung kompleksitas persoalan saat ini.

Di dalam majalah Tashwirul Afkaritu, Pimpinan Redaksi Imdadun Rahmat menu lis, di jam'iyyah NU, arus ortodoksi dan konservatisme masih belum memberi ruang gerak kepada anak muda dengan arus transformatifnya. Pendapat anak-anak muda NU yang liberal dianggap tak sesuai dengan "NU otentik".

Tulisan lain yang senada dibuat oleh Syafiq Hasyim. Dia menyatakan, akibat persinggungan dengan modernitas, perlu reinterpretasi bahkan dekonstruksi terhadap Aswaja. Akan dilahirkan corak pemikiran baru yang tetap berpijak pada khazanah lama, tapi kritis; dan apresiatif terhadap interpretasi baru, tapi selektif.

Pada 2003 diadakan Muktamar Pemikiran Islam yang digelar sejumlah anak muda NU di Situbondo. Namun muktamar itu tidak di tanggapi positif oleh para kiai di Jawa Timur. Di muktamar itu, Cak Nur, SAS, Masdar F Mas'udi, Ulil Abshar Abdalla, dan lainnya berbicara. Muktamar itu menyampaikan gagasan yang sejalan dengan pemikiran sejumlah anak muda NU tadi.

NU Salafi

Di pihak lain, muncul kelompok yang berseberangan dengan Prof Nur Syam (sekjen Kementerian Agama), yang dalam tulisannya (2008) disebut sebagai NU Salafi. Saya tidak tahu apakah istilah itu tepat.
Dalam tulisan itu ditengarai pemikiran sebagian kelompok NU menunjukkan kecenderungan ke arah kanan (fundamental). Itu dilihat dari penggeseran anak muda NU yang berpikiran progresif dari posisi strategis di Lakpesdam. Dia menulis, pada 1990-an makin banyak anak muda NU yang belajar ke Timur Tengah yang punya corak pemikiran keagamaan cenderung ke arah Islam formal.

Alumnus Timur Tengah ini kebanyakan berpendapat, substansi dan simbol harus sama. Mereka amat mengapresiasi pelarangan MUI terhadap sekularisme agama, pluralisme agama, dan liberalisme agama. Mereka juga cenderung mendorong pemerintah melarang Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.

Saya pernah punya pengalaman saat memberi sambutan pada peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur di Masjid al-Akbar Surabaya. Saya menyampaikan bahwa pluralisme yang diperjuangkan Gus Dur bukanlah paham yang menganggap semua agama itu sama dan benar. Kita boleh toleransi dalam masalah sosial, tetapi tidak boleh toleransi akidah.
Besoknya, seorang kiai menelepon saya dan minta tidak usah membela Gus Dur dalam masalah pluralisme agama. Saya menjawab, ada kekeliruan pemahaman terhadap pemikiran pluralisme agama yang dipunyai Gus Dur. Pluralisme Gus Dur tidak menganggap semua agama itu sama dan benar.

Di media sosial terdapat akun NU Garis Lurus yang sering mengkritik kelompok lain yang berbeda pendapat dengan cara-cara kurang baik. Tentu keberadaan mereka tidak bisa kita larang, kita hormati keberadaannya. Akan lebih baik bila perbedaan pendapat itu dikomunikasikan secara langsung dengan kelompok lain yang pendapatnya berlawanan. Perang kata-kata melalui media sosial memperuncing keadaan dan tidak menyelesaikan masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar