Rekonstruksi Islam sebagai Ideologi Pembebasan
Joko Arizal ; Mahasiswa Pascasarjana Fisipol Univeristas
Gadjah Mada
|
INDOPROGRESS, 01
Februari 2016
SISTEM kapitalisme
yang selama ini dipuja (sadar atau tidak) berperan dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, ternyata memiliki catatan hitam yang amat mengerikan. Di bawah
sistem ini manusia tak ubahnya seperti benda-benda (reifikasi) yang diperas
tenaganya untuk memenuhi keuntungan pemilik modal. Kapitalisme, yang
merupakan bagian dari modernitas, telah membawa bencana kemanusiaan; secara
psikologis, manusia menjadi makhluk mekanik yang mengalami alienasi.
Sedangkan secara ekonomi dan sosial, sistem ini telah membangun kesenjangan
sosial yang semakin akut. Secara global, kapitalisme telah menyebabkan
keterbelakangan di berbagai negara. Keterbelakangan ini bukan disebabkan oleh
teologi, budaya atau mentalitas, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakadilan
hubungan antara dunia maju dengan dunia ketiga, yang berwatak
imperialis-eksploitatif dan perilaku tidak adil melalui hubungan dan cara
produksi yang menghisap.
Keberadaan sistem
kapitalisme seakan-akan tak bisa dibendung, malah semakin menggurita dan
membentuk budaya konsumerisme. Masyarakat secara luas sangat mudah
terperangkap dalam jaringan itu yang tanpa disadari telah membunuh dirinya
sebagai subjek yang otonom. Bahkan, agama selaku penjunjung tinggi nilai
kemanusiaan, tak berdaya berhadapan dengan sistem kapitalisme yang dehumanis.
Justru sebaliknya, ketika agama menjadi bagian budaya konsumerisme yang
dikendalikan oleh para kapitalis secara tidak langsung dan perlahan telah
meluluhkan agama dari makna liberasi dan emansipasi. Agama lalu kehilangan
daya revolusionernya.
Padahal dalam sejarah
umat manusia, kehadiran para Nabi yang membawa suatu ajaran (agama) sangat
revolusioner dalam arti pembebasan. Ibrahim adalah cermin revolusi akal
menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan berhala-berhala.
Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme. Isa adalah
revolusi ruh atas dominasi materialisme. Muhammad merupakan teladan bagi kaum
tertindas yang berhadapan dengan konglomerat (elit Quraisy) dalam perjuangan
menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih, persaudaraan dan egaliter.
Risalah yang
diturunkan kepada Muhammad berkaitan dengan penyeruan tauhid, baik dalam
pengertian membebaskan manusia dari penghambaan selain Tuhan penciptanya,
juga penghambaan dalam arti hancurnya solidaritas sosial (saat itu semangat
individualisme muncul sangat kuat akibat serakahnya manusia dalam menumpuk
harta untuk mengukuhkan status quo). Kelompok masyarakat yang menjadi sasasan
utamanya adalah kaum musyrikin, terutama elit dan pedagang Quraisy.
Masyarakat Makkah dalam wujud teologis adalah penyembah berhala, dan dalam
wujud sosialnya merupakan bangunan masyarakat yang secara ekonomi, sosial dan
politik dalam kendali dan hegemoni elit Quraisy yang eksploitatif.
Pesan-pesan yang dibawa oleh Muhammad adalah untuk membongkar sistem
kepercayaan palsu dan sistem sosial hegemonik Quraisy.
Di sini, misi utama
Islam adalah pembebasan. Yaitu membebaskan manusia dari segala pengekangan,
penindasan, ketidakadilan, kepercayaan palsu dan semua yang menghambat
manusia untuk hidup sesuai dengan fitrahnya. Sehingga secara eksistensial,
kehadiran Islam hendak mengembalikan manusia kepada perannya, khalifah Allah
di muka bumi.
Apabila di Makkah misi
utama Nabi terkonsentrasi pada pembebasan (liberasi), maka di Madinah lebih
pada pembangunan dan memperkuat solidaritas sosial yang lebih transenden dan
mempertemukan mereka dengan latar belakang sosial yang berbeda. Di sini, Nabi
menyatukan kaum Muhajirin, Anshor, Yahudi, dan Nashrani dengan sebuah kontrak
sosial yang dikenal dengan “Piagam Madinah.” Menurut Robert N. Bellah,
kontrak sosial yang dibentuk oleh Muhammad merupakan model kontrak modern dan
demokratis pertama dalam sejarah umat manusia. Di bawah kepemimpinan
Muhammad, masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam
kecanggihan sosial dan kapasitas politik.
Model Makkah dan
Madinah yang terdiri dari konsep pembebasan dan pembangunan inilah dapat
dijadikan salah satu contoh bagaimana Islam menjadi spirit perubahan sosial.
Untuk mencapai perubahan itu diperlukan kesadaran kolektif mengenai masalah
yang dihadapi, dan diharapkan dapat membawa subjek pada kesadaran akan
situasinya. Kesadaran tersebut akan membawa pada kepercayaan bahwa suatu
realitas bisa diubah. Hal ini dikarenakan realitas sosial merupakan realitas
terlibatnya manusia dalam proses sejarah.
Dalam konteks
masyarakat modern yang semakin komplek, di mana agama mulai mengalami
kehilangan daya emansipatoris, diperlukan ijtihad menggali api Islam yang
menggugah kesadaran sosial. Untuk itu, suatu gerakan agama, dalam hal ini
Islam, harus berpadu dengan analisa sosial. Analisa sosial memberikan peta ke
mana gerakan tersebut harus direkayasa, sementara itu agama memberikan
semangat ideologis dan komitmen imannya. Dengan cara itu kita bisa
mengharapkan agama sebagai kritik ideologi, sekaligus melibatkan masyarakat
dalam gerakan sosial itu yang selama ini ekslusif dan bersifat elitis, dalam
arti merupakan rekayasa yang dipikirkan oleh seorang intelektual tanpa
melibatkan mereka yang menderita.
Dalam kenyataan
sosiologisnya, agama merupakan universal simbolicum yang paling efektif dalam
melegitimasi kepentingan-kepentingan atau relasi kuasa kelas dominan dalam
proses sosial. Praksis agama seperti ini akan menjadi nyata, manakala kita
terlibat dalam aksi sosial. Bentuk aksi sosial itu bisa bermacam-macam,
tergantung dari konteks sosial yang dibutuhkan. Tapi yang paling penting
adalah pengembangan kesadaran (raissing consciousness), yaitu mengusahakan pertumbuhan kesadaran
sosial-keagamaan, supaya aksi-aksi sosial benar-benar muncul dari keputusan
yang idelogis, rasional dan matang.
Penyadaran dibutuhkan
dalam pemikiran keagamaan dewasa ini, karena penyadaran akan membuat seorang
individu beragama secara kritis dalam melihat keterkaitan sosial terhadap apa
saja yang terjadi di sekitarnya. Penyadaran ini akan membantu individu dan
masyarakat berkembang dari tahap kesadaran konformis dan reformis menuju pada
kesadaran kritis-transformis. Dalam usaha ini, perspektif transformatif akan
memberikan dorongan psikologis-religiusnya. Agama adalah the inner dimention
of man yang paling hakiki dan paling berperan dalam memotivasi bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak, termasuk bentuk-bentuk kerangka
orientasinya dan objek pengabdiannya.
Islam tidak
membenarkan pemeluknya pasif dan apatis, sementara orang lain teraniaya.
Orang-orang yang tidak berjuang untuk membebaskan orang yang lemah dan
tertindas, tidak bisa mengaku benar-benar beriman dan hanya beriman secara
verbal. Umat Islam mesti benar-benar menyadari bahwa cita-cita Islam adalah
terwujudnya ummah al wahidah
(sebuah tatanan masyarakat yang terintegrasi, utuh dan terpadu), ummah al washatan (masyarakat
penengah, moderat dan adil) dan khair
al ummah (masyarakat yang unggul). Inilah pemikiran keagamaan yang
berusaha memberi jawaban dan komitmen keagamaan atas situasi dehumanisasi
dari dunia modern-kapitalistik.
Dari cita-cita luhur
ini, jelaslah bahwa Islam tidak hanya mementingkan pengembangan spiritual dan
moral pada level individu, tetapi kesadaran eksistensial yang turut-serta
berperan dalam pembangunan masyarakat. Untuk menjadikan Islam sebagai amunisi
perubahan sosial, mesti dilakukan pengubahan paradigma. Moeslim Abdurrahman,
misalnya, memaknai Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan
teologisnya (apalagi yang telah dibakukan oleh ulama), justru muncul dalam
pergulatan sehari-hari para umatnya untuk menegakkan cita-cita keadilan.
Islam adalah ruh kemanusian yang paling sejati yang menuntun peradaban,
terutama dalam pemerdekaan dan pembebasan (liberation), baik bagi kesadaran
orang per orang maupun secara kolektif, untuk mewujudkan keadaban (amar bi al ma’ruf) dan peradaban dalam
arti menghidupkan cita-cita kemanusiaan yang merdeka, bebas dan terhormat (nahy munkar).
Kebenaran yang
berlandaskan pemerdekaan bukanlah terletak pada kemampuan bagaimana hebatnya
wacana dan nalar yang dirumuskan. Justru kriteria dasar untuk melihat apakah
makna Islam telah menggerakkan emansipasi kemanusiaan haruslah dilihat dari
proses empiris yang sedang berlangsung. Dengan demikian Islam menjadi gagasan
sejarah yang bergerak, dan bukan sekedar memperkaya khazanah intelektual yang
mengambang, tidak jelas memihak dan melakukan penghadangan terhadap proses
dehumanisasi dan marginalisasi sosial.
Moeslim ingin mencari
moda interpretasi orto-praksis, bagaimana mempertautkan (bahkan
mengkonfrontasikan) hubungan antara iman dengan realitas perubahan sosial.
Karena tujuan risalah Islamiyah adalah bagaimana ide agama dalam pergulatan
hidup secara kolektif berperan dalam menegakkkan tatanan sosial yang adil,
sebagai cita-cita ketakwaan. Moeslim mengupayakan bagaimana mengaitkan Islam
sebagai ideologi perubahan yang menggugah kesadaran emansipatoris, terutama
yang bersifat struktural dan bukan Islam sebagai kegiatan dakwah yang terlalu
mengutamakan kesalehan ritual. Baginya, Islam merupakan agama yang prinsip-prinsipnya
tidak hanya didasarkan pada ritual atau spiritual spekulatif, tapi yang
paling fundamental ialah menjaga agar nilai-nilai kemanusiaan tidak
dimanipulasi atau secara moral diselewengkan oleh sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar