Konflik Pemikiran di dalam NU (Bag
2)
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
REPUBLIKA, 01 Februari
2016
Menurut pemantauan
saya, sebagian besar ulama Nahdlatul Ulama (NU) masih berpegang pada
Ahlussunnah waljamaah (Aswaja) NU sesuai rumusan KH Hasyim Asy'ari. Sesuai
keputusan Munas Ulama di Lampung (1992), mereka sependapat bahwa konsep
Aswaja KH Hasyim Asy'ari memungkinkan perubahan pola bermazhab, dari secara
qauli (produk) menuju secara manhaji (metodologi).
Mereka khawatir
(bahkan bisa dibilang mencurigai) ada rencana sistematis untuk mengubah
secara resmi ajaran Aswaja KH Hasyim Asy'ari yang dianggap sudah tidak sesuai
dengan tuntutan keadaan. Dalam Draf Materi Muktamar ke-33 NU muncul berbagai
usul perubahan terhadap rumusan di dalam berbagai pasal AD atau rekomendasi
muktamar yang oleh para piminan Wilayah NU dan Cabang NU dianggap berpotensi
untuk membelokkan ajaran NU.
Forum Lintas Wilayah
NU (FLWNU) memberi koreksi dan dalam materi muktamar, butir-butir bermasalah
sudah dihilangkan. Sayangnya, di dalam muktamar tidak tersedia cukup waktu
untuk membahas masalah itu. NU Online yang merupakan media resmi PBNU
menyiarkan hasil Muktamar ke-33 yang sama dengan Draf Materi Muktamar yang
ditolak oleh FLWNU. Yang menarik, PBNU menyatakan apa yang ditulis NU Online
itu tidak benar. Sampai hari ini, kawan-kawan dari FLWNU belum menerima hasil
keputusan muktamar yang resmi.
Masalah perbedaan
tafsir terhadap Aswaja NU itu harus diselesaikan dengan baik. Siapa pun juga
tidak berhak untuk melarang Dr Said Aqiel Siradj (SAS) dkk serta tokoh-tokoh
muda NU untuk menganggap bahwa rumusan Aswaja Kyai Hasyim Asy'ari dianggap
sempit dan terlalu sederhana. Namun, SAS dkk tidak bisa mengubahnya begitu
saja dengan mengabaikan pendapat mayoritas.
Pendapat mayoritas
ulama juga tidak sama dengan pendapat NU Salafi. Untuk mengetahui dengan
tepat pendapat mayoritas ulama yang ideal tentu diperlukan jajak pendapat.
Perlu dipahami bahwa kekuatan NU terletak pada jamaah (komunitas), bukan pada
jam'iyyah (organisasi).
Dari 20 ribuan
pesantren, semua adalah milik jamaah, bukan jam'iyyah. Dari belasan ribu
sekolah di kalangan NU, hanya sekitar 10 persen yang dimiliki jam'iyyah NU.
Kalau jam'iyyah mengubah rumusan Aswaja sekehendak hati, jamaah bisa meninggalkan
mereka.
Aspek HAM
Salah satu masalah
yang potensial untuk menimbulkan perbedaan tafsir adalah timbulnya
pertentangan prinsip HAM dengan hukum agama dan hukum negara. Misalnya,
keberadaan jamaah Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.
Ada kelompok di dalam
NU (dan juga di luar NU) yang berpendapat bahwa Ahmadiyah dan Syiah itu bukan
bagian dari Islam. KH Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa Syiah itu menyimpang.
Namun, di Cirebon, ada
kalangan NU yang menyatakan bahwa Syiah adalah bagian dari NU. Ada yang mengatakan
bahwa Syiah yang dianggap menyimpang oleh KH Hasyim Asy'ari adalah Syiah
Rafidhah yang mengecam sahabat Nabi dan Siti Aisyah. Akan tetapi, banyak
warga NU yang kemudian menganggap bahwa semua Syiah itu bukan bagian dari
Islam.
Karena menganggap
bahwa Syiah dan Ahmadiyah bukan bagian dari Islam maka kelompok Islam yang
punya pendapat seperti itu lalu meminta supaya Ahmadiyah dan Syiah dilarang
untuk bisa berkembang di Indonesia. Kelompok ini tidak (mau) paham bahwa
sesuai UUD semua agama, termasuk Syiah dan Ahmadiyah punya hak untuk hidup di
Indonesia. Kita berbeda dengan Malaysia dalam masalah menyikapi keberadaan
Ahmadiyah dan Syiah.
Pihak yang ingin
Ahmadiyah dilarang untuk aktif di Indonesia menggunakan UU Penodaan Agama
sebagai dasar dari tuntutan tersebut. Apalagi, pada 2010 Mahkamah Konstitusi
menegaskan bahwa UU tersebut tidak bertentangan dengan UUD ketika Gus Dur dkk
mengajukan judicial review terhadap UU tersebut.
Menarik sekali bila
mereka menggugat secara resmi terhadap Ahmadiyah berdasarkan UU tersebut.
Apakah pengadilan akan memenuhi gugatan itu atau tidak?
UUD hasil amendemen
telah menegaskan bahwa HAM di Indonesia tidak sepenuhnya bebas seperti di
negara Barat. Pasal 28 huruf J mengatur bahwa pertimbangan moral dan
nilai-nilai agama perlu diperhatikan. Walau demikian, selalu akan muncul
perbedaan penafsiran terhadap teks di dalam UUD itu.
Tafsir terhadap khittah
Dalam Tashwirul Afkar
yang dikutip di atas, PBNU 1999-2004 dikritik karena dianggap terlalu
politis, sehingga ditulis jam'iyyah NU berada di simpang jalan. Menarik
sekali bahwa mereka yang dulu menganggap KH Hasyim Muzadi terlalu politis,
kini tidak menganggap SAS dkk terlalu politis. Padahal, kini PBNU bisa
dianggap telah dikendalikan oleh PKB. Ada kawan yang mengatakan secara
bergurau bahwa PKB itu seperti anak perusahaan yang melakukan akuisisi
terhadap perusahaan induk.
Selama ini, terdapat
multitafsir atau konflik pemikiran dalam penerapan khittah itu. Penerapannya
amat situasional dan berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Ada ketua PWNU
yang diberhentikan karena menjadi calon wakil gubernur, tetapi ada ketua PCNU
yang boleh menjadi calon bupati dan ada ketua PBNU yang boleh menjadi calon
wakil gubernur. Juga, ada ketua umum PBNU yang boleh menjadi calon wakil presiden.
Campur tangan partai
sudah amat terasa dan mengganggu kemandirian dan keberadaan jam'iyyah NU
sebagai bagian dari masyarakat sipil dari tingkat nasional hingga tingkat
cabang. Hal serupa juga terjadi di dalam organisasi di bawah NU, seperti
Ansor, Fatayat, dan Muslimat NU.
Perlu dilakukan
pembahasan serius tentang penafsiran terhadap khittah NU dalam bidang
politik. Sayang sekali kalau organisasi yang sudah berusia hampir seratus
tahun ini harus menjadi subordinat partai politik. Paradigma parpol amat
bertentangan dengan paradigma ormas yang diharapkan menjadi lokomotif
masyarakat sipil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar