Pemisahan
Kekayaan Negara di BUMN
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Keuangan Negara, Fakultas Hukum Universitas Atma
Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
01 Oktober 2014
MAHKAMAH Konstitusi, melalui
Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014,
telah mengukuhkan status kekayaan negara yang bersumber dari keuangan negara
dan dipisahkan dari APBN untuk disertakan menjadi penyertaan modal di BUMN
tetap menjadi bagian dari rezim keuangan negara. Hal itu telah mengakhiri
perdebatan mengenai frasa ”kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” dalam Pasal 2
Huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang
merupakan salah satu unsur dari keuangan negara.
Meskipun UU Nomor 17 Tahun 2003 dengan tegas telah menempatkan kekayaan
yang dipisahkan pada BUMN merupakan bagian dari keuangan negara, ketentuan
tersebut sering dibenturkan dengan pandangan yang menganut prinsip otonomi
badan hukum privat dan teori transformasi keuangan negara.
Pandangan yang pertama tersebut menyatakan bahwa dengan perubahan
bentuk hukum suatu BUMN menjadi PT persero, status kekayaan negara yang
bersumber dari pemisahan keuangan negara di BUMN yang dalam UU Nomor 19 Tahun
2003 tentang BUMN dikatakan tak lagi tunduk pada prinsip-prinsip pengelolaan
APBN, seakan-akan tak lagi terjamah oleh sistem pengawasan BPK terhadap
penggunaan uang yang bersumber dari APBN tersebut.
Pandangan ini melupakan bahwa pengawasan terhadap penggunaan keuangan
negara dari APBN yang disertakan sebagai modal/saham dalam BUMN hanya
dilakukan khusus terhadap aliran keuangan negara tersebut. Negara
berkepentingan untuk mengamankan uang negara yang masuk dalam kas BUMN melalui
mekanisme subsidi maupun penyertaan modal.
Dalam teori hukum keuangan negara, eksistensi asas kelengkapan (volledigheid beginsel) telah menjamin
bahwa tak boleh ada celah abu-abu yang memungkinkan adanya aliran keuangan
negara yang lepas dari sistem pengawasan parlemen melalui audit BPK. BPK
dalam konstitusi ditegaskan memiliki atribusi wewenang sebagai organ tinggi
negara dengan fungsi auditif. Selain itu, dengan prinsip ”hak preferensi
negara”, negara tak boleh kehilangan wewenang pengawasan terhadap penggunaan
keuangan negara yang harus selalu dipertanggungjawabkan melalui siklus
pengelolaan APBN.
Hal itu juga sekaligus mengafirmasi kesahihan ”teori sumber” sebagai
salah satu teori klasik dalam pengelolaan keuangan negara, yang menegaskan
prinsip bahwa setiap aliran uang negara yang bersumber dari APBN harus
dipertanggungjawabkan berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban APBN.
Pasal
33
Paradigma pengelolaan BUMN tak boleh berlari meninggalkan prinsip dasar
yang terkandung dalam Pasal 33 UUD Negara RI 1945. Oleh karena itu,
seharusnya ruh dalam pengelolaan BUMN tetap diarahkan untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat dan negara tak boleh kehilangan kendali pengawasan atas
tata kelola BUMN.
Hal ini sekaligus juga meruntuhkan konsep sumir bahwa melalui privatisasi
BUMN telah terjadi transformasi keuangan negara menjadi uang privat dalam
wadah BUMN persero yang seakan-akan tak terjamah lagi oleh sistem pengawasan
negara.
Privatisasi tak boleh menjadi wilayah abu-abu untuk melakukan berbagai
praktik koruptif dengan membingkainya menjadi risiko bisnis. Cara pandang
terakhir ini bisa mengancam penyalahgunaan aset negara di berbagai BUMN yang
jumlahnya kini tak kurang dari Rp 3.500 triliun.
BUMN didirikan oleh negara dan tak boleh sekadar hanya berorientasi profit
karena Pasal 33 harus selalu menjadi paradigma dalam pengelolaan BUMN. BUMN
dalam perspektif konstitusi harus tetap menjadi agen pembangunan untuk
memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Putusan Mahkamah Agung No 1863/K/Pid.Sus/2010 sebelumnya telah menjadi
yurisprudensi yang menjadi rujukan bagi KPK untuk menyelamatkan triliunan
rupiah uang negara yang disalahgunakan pengelolaannya oleh beberapa BUMN.
Dengan adanya putusan MK dan putusan MA tersebut, seharusnya tak perlu
lagi keuangan negara di BUMN diperdebatkan status hukum publiknya, apalagi
dengan motif tersembunyi untuk mengambil keuntungan dari wilayah abu-abu
dalam pengelolaannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar