Rabu, 01 Oktober 2014

Keberanian Eksperimen Demokrasi Hongkong

Keberanian Eksperimen Demokrasi Hongkong

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  01 Oktober 2014

                                                                                                                       


ADA pepatah Tionghoa berbunyi, shan gao huangdi yuan, yang diterjemahkan sebagai pegunungan terlalu tinggi dan sang kaisar terlalu jauh. Ini menggambarkan pusat kekuasaan di Beijing sulit mengendalikan penduduk yang berjauhan. Gema yang didengungkan unjuk rasa penduduk Wilayah Administrasi Khusus Hongkong (Hongkong SAR) mulai pekan lalu adalah pesan jelas rakyat tidak mau dipengaruhi kekuasaan RRC atas wilayah bekas koloni Inggris itu.

Dari sisi para mahasiswa Hongkong, unjuk rasa bertajuk Pendudukan Central, distrik keuangan Hongkong, adalah pengejawantahan kebebasan menghadapi kekuasaan pusat RRT. Ekspresi kelas menengah Hongkong tentang demokrasi.

Secara tersurat, tuntutan ditujukan agar Kepala Eksekutif Hongkong dipilih langsung tahun 2017, tidak melalui sistem perwakilan yang disetujui Beijing. Hak penentuan nasib sendiri menjadi perdebatan logika tentang yurisdiksi dan kedaulatan. Hal ini khususnya menyangkut janji politik ataupun interpretasi konstitusi mini Hongkong yang disebut Basic Law.

Unjuk rasa besar-besaran di Hongkong sebelumnya terjadi tahun 2003 jelang diberlakukannya undang-undang keamanan nasional anti subversi, yang akhirnya dibatalkan. Sejak itu, setiap awal Juli unjuk rasa damai Hongkong rutin menjadi bagian upaya menyalurkan aspirasi politik menuntut demokrasi, hak pemilihan umum, hak minoritas, perlindungan kebebasan berbicara, dan berbagai kekhawatiran politik lainnya.

Gerakan pro demokrasi Hongkong sudah mencapai tahap kritis ketika tujuan ”satu negara dua sistem” sudah tidak memperhitungkan pembangunan kesejahteraan ekonomi. Ada motivasi kuat cerminan kelas menengah di kota kosmopolitan dunia yang lebih besar dari hanya sekadar stabilitas ekonomi.

Secara bersamaan, penguasa Beijing di bawah Presiden Xi Jinping yang memiliki portofolio mengurus masalah Hongkong dan Makao harus memastikan solusi Pendudukan Central tidak mencapai momentum berubah menjadi hak penentuan nasib sendiri secara nasional. Beijing khawatir wilayah pinggirannya menjadi tidak stabil mengarah pada situasi berpengaruhnya ekstremisme, separatisme, dan radikalisme.

Bagi RRT, batasan reformasi dan keterbukaan di bidang politik menjadi ujian penting menghadapi unjuk rasa di Hongkong. Dengan tujuh juta penduduk, Hongkong didominasi para plutokrat miliuner yang jumlahnya mencapai 39 orang dalam daftar orang terkaya di dunia menurut majalah Forbes.

Presiden Xi, yang juga menjabat sebagai Sekjen Partai Komunis Tiongkok (PKT), memiliki pilihan reformasi dan keterbukaan secara politik melalui eksperimen ”satu negara dua sistem” yang berlaku di Hongkong. Mengerahkan kekuatan garnisun Tentara Pembebasan Rakyat di Hongkong yang berkekuatan sekitar 6.000 orang pasti bukan pilihan.

Atau, seperti yang pernah disampaikan Deng Xiaoping tahun 1992 dalam perjalanan ke Shenzhen dan sekitarnya, gaige bu neng xiang xiaojiao nuren (reformasi tidak bisa seperti wanita yang kakinya diikat menjadi kecil). Reformasi, termasuk politik, membutuhkan keberanian. Termasuk eksperimen demokrasi. Momentum ini ditunggu di Hongkong dan Beijing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar