Hak
Politik Koruptor
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar;
Penulis
Buku “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” (2014)
|
KORAN
SINDO, 01 Oktober 2014
Pencabutan hak politik terhadap koruptor dari kalangan penyelenggara
negara dalam putusan hakim dapat menjadi “efect
determinant“ dari suatu hukuman.
Betapa tidak, penyelenggara negara seperti menteri, gubernur, bupati/
wali kota, anggota DPR/DPRD, atau pejabat kepolisian adalah penyelenggara
negara yang seharusnya menjaga amanat rakyat. Tidak boleh melanggar hukum
atau menyalahgunakan wewenang yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain
yang merugikan keuangan negara. Para penyelenggara negara begitu enak
melakukan korupsi.
Bukan hanya mengutak-atik anggaran proyek saat membahas dan menetapkan
APBNAPBD, korupsi juga dilakukan melalui kebijakan secara kolaboratif antara
pejabat eksekutif, wakil rakyat, dan pengusaha dalam perizinan. Padahal,
mereka menduduki jabatan publik itu karena dipilih secara langsung oleh
rakyat sehingga wajar jika hakim mencabut hak politiknya.
Dasar
Pemikiran
Pencabutan hak politik terpidana korupsi menjadi wajar karena mereka
yang dipercaya rakyat, tetapi justru mengkhianati kepercayaan yang diberikan.
Maka itu, putusan progresif Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang
mencabut hak politik sebagai pidana tambahan untuk tidak memilih dan dipilih
dalam jabatan publik atau jabatan yang dipilih rakyat memang diatur dalam
Pasal 18 ayat (1) huruf d UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor
20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).
Itu juga ditegaskan dalam Pasal 35 ayat (1) butir iii KUHP (Pidana)
sebagai aturan umum, hak memilih dan dipilih bisa dicabut. Pencabutan hak
tertentu seperti “hak untuk dipilih dan dipilih dalam jabatan publik”
sejatinya bisa menjadi alat penjeraan sekaligus menimbulkan rasa takut bagi
calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara.
Bukan hanya itu, UU Korupsi juga mengancam “pembayaran uang pengganti”
yang jumlahnya paling banyak sesuai jumlah uang atau harta benda yang
diperoleh dari korupsi. Sayangnya, ketentuan ini bisa diganti (subsidair)
dengan penjara yang ternyata sangat rendah jika selama satu bulan tidak mampu
dibayar dan tidak ada harta benda terdakwa yang dapat disita untuk membayar
uang pengganti hasil korupsi.
Pencabutan hak politik pada dasarnya sebagai hukuman tambahan selain
hukuman pokok dan denda. Putusan itu menyebabkan terpidana kehilangan hak
politiknya untuk memilih dan dipilih, termasuk hak untuk menduduki jabatan
publik. Biasanya hakim menilai dalam pertimbangan hukumnya karena terpidana
terbukti telah menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai pejabat publik
atau penyelenggara negara.
Sebetulnya hukuman ini tidak berupa hukuman badan, tetapi bisa efektif
lantaran “menimbulkan rasa malu” dengan mencabut hak terpidana yang menjadi
bagian dari hak politik dalam bernegara. Sangat penting melakukan advokasi
terhadap pengenaan pidana tambahan misalnya penuntut umum kejaksaan harus
berani pula menuntut pencabutan hak politik mengingat besarnya intensitas
kejahatan korupsi.
Pertimbangan lain mencabut hak politik lantaran tidak termasuk
pelanggaran hak asasi manusia sehingga dikategorikan derogable right seperti
dimaksud dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Hak politik dapat dibatasi
melalui undangundang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain yang dirampas hak sosial-ekonominya oleh
koruptor. Di dalamnya tersirat upaya untuk memenuhi tuntutan yang adil
berdasarkan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam masyarakat demokratis.
Amunisi
Baru
Ada dua putusan hakim selama reformasi yang menjatuhkan pencabutan hak
politik dan keduanya hasil kerja KPK. Pertama, pencabutan hak politik yang
dijatuhkan Pengadilan Tinggi Tipikor Jakarta terhadap terpidana Irjen Djoko
Susilo dalam kasus korupsi simulator SIM di Korlantas Polri. Djoko juga
dijatuhi pidana 18 tahun penjara dari sebelumnya 10 tahun penjara, denda Rp1
miliar, serta hukuman tambahan berupa: pembayaran uang pengganti sebesar Rp32
miliar.
Kedua, putusan kasasi MA (15/9/2014) terhadap Luthfi Hasan Ishaaq
dengan mencabut hak politiknya lantaran terbukti menerima suap dalam kasus
impor daging sapi di Kementerian Pertanian. Majelis hakim yang terdiri atas
Artidjo Alkostar, Moh Askin, dan MS Lumme juga memperberat hukuman mantan
presiden PKS itu yang semula 16 tahun penjara menjadi 18 tahun penjara serta
denda Rp1 miliar dengan penjara pengganti (subsidair) satu tahun penjara jika
tidak membayar pidana denda.
Tampaknya kedua putusan hakim yang berani mencabut hak politik bisa
menjadi amunisi baru bagi hakim dalam membuat tobat para koruptor. Selain
itu, ada juga upaya pemiskinan berupa denda, hukuman pembayaran uang
pengganti yang dikorupsi, termasuk penyitaan hasil korupsi dengan menerapkan
UU Pencucian Uang yang menggunakan “pembuktian terbalik”.
Apabila tuntutan dan putusan hakim kasasi MA ini dijadikan standar
yurisprudensi bagi pejabat negara yang seharusnya memegang amanah rakyat,
tentu para hakim perkara korupsi wajar mengikutinya. Tanpa bermaksud
mengangkangi asas praduga tak bersalah, akan banyak yang terkena getahnya.
Sebut saja, Sutan Bhatoegana, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik yang saat ini
dalam status tersangka di KPK.
Tujuan asasi pencabutan hak politik cukup rasional, setidaknya dapat
menekan pandangan dalam tulisan saya di harian ini (13/3/2014) bahwa “Korupsi Sudah Menjadi Cita-cita“. Wallahu a’lam bishowab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar