Jokowi
Butuh Koalisi Besar Masa-Rakyat
Made Supriatma ; Peneliti Masalah-Masalah Politik Militer, Jurnalis
Lepas
|
INDOPROGRESS,
15 Oktober 2014
SEKARANG semua sudah jelas. Setelah melakukan berbagai macam manuver
dan akrobat politik, hasilnya adalah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang
menyokong Joko Widodo-Jusuf Kalla kalah total dalam semua lini pertarungan di
parlemen. Koalisi ini terbukti tidak mampu melawan Koalisi Merah Putih (KMP)
pimpinan Prabowo Subianto.
Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menjadi
minoritas yang menentukan. Secara cerdik dia mengambil posisi di tengah dan
menunggu di tikungan untuk mengambil kesempatan yang paling baik. Politicking yang dilakukan oleh
Yudhoyono, walaupun sangat buruk dan tidak elegan, telah berhasil memojokkan
kubu Jokowi-Kalla. Melihat reaksi yang muncul, presiden yang sangat hati-hati
menjaga citranya ini justru kehilangan semua credential sebagai seorang demokrat. Padahal, credential itulah yang selama ini
dengan susah payah ia bangun.
Ada dua hal yang sangat penting diperlihatkan dalam proses pemilihan
pimpinan di DPR dan MPR ini. Pertama, Yudhoyono berhasil memegang kendali
atas semua percaturan politik ini. Dia berhasil menjadikan ‘netralitas’nya
(yang siapapun tahu bahwa itu hanya pura-pura belaka) sebagai senjata. Dia
dan Partai Demokrat akhirnya menjadi penentu dalam mengalahkan koalisi
pendukung Jokowi-Kalla. Di DPR, Yudhoyono berhasil mendudukkan kerabat
istrinya, Agus Hermanto, menjadi Wakil Ketua DPR. Sementara anaknya, Edhie
Baskoro (Ibas) menjadi Ketua Fraksi. Di MPR, bekas menteri kehutanan di
Kabinet Yudhoyono, Zukifli Hassan dari PAN berhasil menjadi Ketua. Zulkifli
Hassan adalah besan Amien Rais, pendiri PAN. Sementara PAN sendiri saat ini
dipimpin oleh pengusaha yang terjun ke dunia politik, Hatta Rajasa. Untuk
memperumit lagi masalah, Hatta Rajasa adalah besan dari Yudhoyono.
Kedua, PDIP sekali lagi membuktikan diri sebagai partai yang pandir
dalam hal mengelola kekuasaan. Mereka tidak pandai membangun koalisi. Mereka
kemaruk dalam transaksi politik. Mereka tidak pandai berhitung, khususnya
dalam hal siapa yang mendapat apa dan seberapa besar. Mungkin karena partai
ini terlalu lama dikangkangi oleh seorang pemimpin yang mengelola
kekuasaannya di dalam partainya, sama seperti Kim Il Sung atau Kim Jong Uhn
mengelola partai di Korea Utara. Singkat kata, koalisi yang dipimpin PDIP dan
dimaksudkan untuk menjadi benteng bagi Jokowi-JK impoten dalam menghadapi
Koalisi Merah Putih Biru (lambang Partai Demokrat).
Nah, sekarang apa yang bisa dilakukan oleh Jokowi? Akankah
pemerintahannya, seperti yang dikatakan oleh Amien Rais, hanya akan berumur
setahun saja? Apakah administrasi pemerintahannya akan mampu mengimbangi
segala macam penjegalan (obstructionism) dari partai-partai oposisi di
parlemen, seperti yang secara gamblang dinyatakan oleh Hashim Djojohadikusumo
dalam wawancaranya di harian The Wall Street Journal?
Banyak pesimisme dilontarkan kepada Jokowi-Kalla. Orang ragu apakah dia
akan mampu bertahan dari gempuran ganas koalisi pimpinan Prabowo Subianto.
Keraguan ini mungkin juga lahir karena mengingat apa yang pernah terjadi pada
Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden Gus Dur naik ke kekuasaan
karena manuver politik Poros Tengah, yakni koalisi partai-partai Islam
pimpinan Amien Rais. Namun Poros Tengah juga yang menjatuhkan Gus Dur.
Akankah hal ini berulang? Akankah Amien Rais kembali mampu memainkan peranan
sebagai ‘the king maker’ seperti
hampir dua dasawarsa yang lampau?
Keadaan di parlemen memang tidak menjanjikan untuk Jokowi-Kalla.
Beberapa petinggi koalisi Prabowo sudah mengisyaratkan bahwa pertarungan akan
terjadi di setiap lini dan menjadi bagian dari menu politik harian (day to day politics). Setiap kebijakan
yang memerlukan persetujuan parlemen bisa dipastikan akan menjadi arena
pertarungan politik. Jokowi dipaksa untuk melakukan transaksi politik hingga
ke hal yang sekecil-kecilnya. Dia harus memberikan konsesi untuk meloloskan
agenda-agenda politik dan ekonominya. Setiap proses legislasi harus dibarengi
dengan pemberian konsesi-konsesi kepada partai-partai politik. Sangat mungkin
bahwa konsesi-konsesi tersebut berupa kontrak dan proyek yang terkait dengan
kroni-kroni partai-partai politik. Konsesi-konsesi inilah yang nantinya akan
menjadi bagian dari politik eceran (retail
politics).
Salah satu alasan mengapa koalisi Prabowo ini tidak pecah dan bahkan
menguat adalah karena mereka menemukan bahwa mereka memiliki kekuatan tanpa
harus berada di dalam kekuasaan. Mereka memiliki kekuatan tawar menawar yang
jauh lebih besar ketika mereka bersatu. Dengan bertindak kolektif, mereka
mendapatkan apa yang tidak mereka dapati jika berjalan sendirian.
Ini adalah hal baru yang ditemukan oleh para politisi koalisi Prabowo.
Harus diingat, koalisi ini dipimpin oleh orang-orang yang sudah kenyang makan
asam garam dalam politik. Politisi seperti Akbar Tanjung, Setya Novanto, atau
Fadel Muhamad misalnya, tidak saja sangat sangat paham akan bekerjanya
lembaga-lembaga negara. Mereka juga kampiun dalam mensiasati sistem politik
dan mengelak dari sistem hukum.
Ada dua hal yang menonjol dalam fenomena penguasaan Parlemen oleh kubu
oposisi ini. Yang pertama adalah semakin menonjolnya peranan bos-bos partai.
Kita melihat Yudhoyono adalah identik dengan Partai Demokrat, Prabowo
Subianto dengan Partai Gerindra, Megawati Sukarnoputri dan Puan Maharani
dengan PDIP, Amien Rais dan Hatta Rajasa dengan PAN, Aburizal Bakrie dan
Akbar Tanjung dengan Golkar, Surya Paloh dengan Nasdem, Wiranto dengan
Hanura, dan lain sebagainya. Cengkeraman kekuasaan para bos ke dalam
partainya sendiri ini memang bervariasi antara satu partai dengan yang lain.
Prabowo, Megawati, Yudhoyono, Wiranto, dan Surya Paloh boleh dikatakan
identik dengan partainya. Sementara partai seperti PPP memang tidak lagi
dikuasai seorang bos setelah Surya Dharma Ali dilemahkan oleh tuduhan korupsi
oleh KPK. Kita sudah menyaksikan peranan para bos partai ini ketika terjadi
perturangan memperebutkan puncak pimpinan di DPR/MPR. Para bos yang tergabung
dalam koalisi ini sangat berhasil menjadi ‘whip’
(pecut) yang mengendalikan suara partainya di parlemen.
Fenomena kedua adalah adanya kemungkinan pergeseran penguasaan sumber
material partai-partai politik dari kementrian ke parlemen. Diperkirakan,
koalisi Prabowo akan menyapu bersih semua kepemimpinan alat-alat kelengkapan
parlemen. Mereka akan menguasai komisi-komisi yang, untuk sementara ini,
diperkirakan akan berjumlah 11. Mereka juga diperkirakan akan menguasai
‘jalur duit’ Badan Anggaran serta badan-badan lain, seperti Badan Legislasi,
Badan Urusan Kerja Sama Parlemen, dan Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurut Tata
Tertib DPR, calon pimpinan itu diajukan melalui sistem paket, seperti dalam
pemilihan pemimpin DPR dan MPR. Jika koalisi Prabowo berhasil menguasai semua
lini kepemimpinan di parlemen ini maka mereka akan memiliki pengaruh yang
sangat besar terhadap jalannya pemerintahan.
Penguasaan parlemen ini menjadi menarik karena partai-partai yang
tergabung dalam kubu koalisi Prabowo juga tidak terlalu ngotot untuk mencari
konsesi untuk mendapatkan kursi kementerian. Di masa lalu, partai-partai
politik selalu berlomba-lomba mendapatkan portofolio suatu departemen karena
dari situlah mereka bisa mengekstraksi keuntungan material untuk kepentingan
mesin partai maupun kepentingan pribadi para bos partai. Kondisi ini sedikit
banyak menyumbang pada ketidakmampuan Jokowi untuk memecah koalisi Prabowo
dengan memberikan kursi menteri kepada partai-partai itu. Selain di pihak
Jokowi sendiri memang ‘pelit’ untuk membagikan kursi-kursi yang terkategori
paling basah untuk partai-partai ini. Jokowi, yang terpilih dengan mandat
untuk bekerja secara professional, tentu tidak mudah untuk melakukan dagang
sapi untuk posisi-posisi terpenting dalam kabinetnya ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar