Jokowi
Jangan Lupakan Posisi Menlu
Derek Manangka ; Wartawan Senior
|
INILAH.COM,
18 Oktober 2014
MENCERMATI aktifitas Jokowi sebagai Presiden Terpilih, cukup kuat
kesan, perhatian dan sikap bekas Walikota Surakarta ini terhadap pos Menteri
Luar Negeri dan masalah internasional sangat rendah.
Mengemukanya kesan sekaligus dugaan di atas antara lain tercermin dari
fokus perhatian Jokowi tentang isu internasional. Dari semua pernyataan
Jokowi - khususnya menjawab pertanyaan para pewarta, isu internasional hampir
tidak pernah dia sentuh. Padahal ISIS misalnya merupakan salah satu isu yang
sangat relevan dengan posisi Indonesia.
Sebagai calon pemimpin Indonesia, Jokowi seharusnya sudah bisa
memberikan wacana, apa konsep dan strateginya menghadapi perkembangan ISIS,
salah satu kelompok yang mengusung isu Islam namun juga ditentang oleh banyak
pemimpin dunia dan negara-negara Islam.
Komunitas internasional di Jakarta, apakah itu kalangan diplomatik
atapun investor asing, sebetulnya sangat memerlukan bahan pegangan, bagaimana
mereka berkomunikasi dengan pemerintahan pasca SBY. Tanpa mereka minta pun,
sebetulnya Jokowi patut mengambil inisiatif menggelar pertemuan informal
dengan komunitas tersebut. Tapi atmosfir ini yang tidak ditangkap oleh
Jokowi.
Disamping kurangnya perhatian, publik juga tidak memperoleh gambaran,
siapa yang bakal dipercaya oleh Jokowi sebagai Menteri Luar Negeri.
Jokowi juga nampaknya kurang tahu peta yang terjadi di Pejambon dalam
lima tahun terakhir ini. Diangkatnya Dino Pati Djalal, eks Dubes RI untuk
Amerika Serikat sebagai Wakil Menlu pada "menit-menit" terakhir
dari kekuasaan SBY, sebetulnya cukup mencerminkan, adanya masalah serius di
internal Kemlu yang berlokasi di Pejambon.
Dino memang seorang diplomat muda yang gesit yang kebetulan ayahnya
Hasyim Djalal pernah menjadi Dubes RI untuk Jerman Barat. Tapi
pengangkatannya sebagai Wakil Menlu, menjelang SBY lengser, terkesan
dipaksakan. Pergantian ini, kabarnya telah menimbulkan keresahan tersendiri
di kantor para diplomat Indonesia tersebut.
Yang terjadi, Jokowi lebih banyak mengulas soal komposisi antara
profesional dan politisi atau masalah siapa figur yang akan memimpin tim
ekonomi. Isu itu bukan berarti tidak penting. Namun mengingat Indonesia
sangat membutuhkan modal, mitra asing dan pasar internasional, kebutuhan
tentang persiapan seorang Menteri Luar Negeri, menjadi cukup mendesak.
Akhirnya muncul pertanyaan, apakah kurangnya perhatian pada pos Menlu
dan isu internasional dikarenakan oleh Tim Transisi yang kurang memiliki
pengalaman atau karena Jokowi mengalami kesulitan mencari figur yang melebihi
kapasitas dan kapabilitas Menlu (incumbent) Marty Natalegawa?
Kalau soal yang terakhir yang menjadi masalah, solusinya sebetulnya
mudah. Jokowi cukup mengadakan pertemuan dengan para mantan Dubes RI yang
jumlah mereka ratusan dan memiliki sebuah perkumpulan. Dari mereka Jokowi
bisa meminta masukan bahkan rekomendasi, siapa sosok putera Indonesia yang cocok
menduduki posisi Menteri Luar Negeri untuk lima tahun ke depan.
Sangat riskan, kalau Jokowi hanya fokus pada masalah domestik,
sementara persoalan internasional yang semakin kompleks, diabaikan atau
terabaikan.
Presiden (terpilih) Jokowi perlu sadar, keberhasilan Presiden pertama
RI, Soekarno, dalam arti Indonesia langsung diperhitungkan oleh dunia, karena
memberi perhatian yang cukup pada politik luar negeri serta figur yang
menjalankannya.
Sama halnya dengan Presiden kedua, Soeharto. Dipilihnya Adam Malik pada
awal pemerintahannya, yang kemudian dikenal sebagai seorang diplomat lincah
bagaikan hewan kancil, tak lepas dari paradigma Soeharto yang ingin
mendapatkan mitra kuat internasional.
Setelah itu pos Menlu berikut kepedulian Indonesia terhadap isu
internasional menjadi kendor. Pada akhirnya berakibat seperti situasi saat
ini. Kalaupun selama sepuluh tahun SBY seperti memberikan porsi dan perhatian
besar, tetapi banyak kekurangannya.
SBY sepertinya tidak merasa puas hanya sebagai Presiden. Dia seperti
juga bertugas sebagai Menlu. Akibatnya masalah internasional tak tertangani
dengan baik, begitu juga masalah domestik.
Inilah yang perlu menjadi pelajaran bagi Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar