Senin, 20 Oktober 2014

Jokowi Jangan Lupakan Posisi Menlu

Jokowi Jangan Lupakan Posisi Menlu

Derek Manangka  ;   Wartawan Senior
INILAH.COM,  18 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


MENCERMATI aktifitas Jokowi sebagai Presiden Terpilih, cukup kuat kesan, perhatian dan sikap bekas Walikota Surakarta ini terhadap pos Menteri Luar Negeri dan masalah internasional sangat rendah.

Mengemukanya kesan sekaligus dugaan di atas antara lain tercermin dari fokus perhatian Jokowi tentang isu internasional. Dari semua pernyataan Jokowi - khususnya menjawab pertanyaan para pewarta, isu internasional hampir tidak pernah dia sentuh. Padahal ISIS misalnya merupakan salah satu isu yang sangat relevan dengan posisi Indonesia.

Sebagai calon pemimpin Indonesia, Jokowi seharusnya sudah bisa memberikan wacana, apa konsep dan strateginya menghadapi perkembangan ISIS, salah satu kelompok yang mengusung isu Islam namun juga ditentang oleh banyak pemimpin dunia dan negara-negara Islam.

Komunitas internasional di Jakarta, apakah itu kalangan diplomatik atapun investor asing, sebetulnya sangat memerlukan bahan pegangan, bagaimana mereka berkomunikasi dengan pemerintahan pasca SBY. Tanpa mereka minta pun, sebetulnya Jokowi patut mengambil inisiatif menggelar pertemuan informal dengan komunitas tersebut. Tapi atmosfir ini yang tidak ditangkap oleh Jokowi.

Disamping kurangnya perhatian, publik juga tidak memperoleh gambaran, siapa yang bakal dipercaya oleh Jokowi sebagai Menteri Luar Negeri.

Jokowi juga nampaknya kurang tahu peta yang terjadi di Pejambon dalam lima tahun terakhir ini. Diangkatnya Dino Pati Djalal, eks Dubes RI untuk Amerika Serikat sebagai Wakil Menlu pada "menit-menit" terakhir dari kekuasaan SBY, sebetulnya cukup mencerminkan, adanya masalah serius di internal Kemlu yang berlokasi di Pejambon.

Dino memang seorang diplomat muda yang gesit yang kebetulan ayahnya Hasyim Djalal pernah menjadi Dubes RI untuk Jerman Barat. Tapi pengangkatannya sebagai Wakil Menlu, menjelang SBY lengser, terkesan dipaksakan. Pergantian ini, kabarnya telah menimbulkan keresahan tersendiri di kantor para diplomat Indonesia tersebut.

Yang terjadi, Jokowi lebih banyak mengulas soal komposisi antara profesional dan politisi atau masalah siapa figur yang akan memimpin tim ekonomi. Isu itu bukan berarti tidak penting. Namun mengingat Indonesia sangat membutuhkan modal, mitra asing dan pasar internasional, kebutuhan tentang persiapan seorang Menteri Luar Negeri, menjadi cukup mendesak.

Akhirnya muncul pertanyaan, apakah kurangnya perhatian pada pos Menlu dan isu internasional dikarenakan oleh Tim Transisi yang kurang memiliki pengalaman atau karena Jokowi mengalami kesulitan mencari figur yang melebihi kapasitas dan kapabilitas Menlu (incumbent) Marty Natalegawa?

Kalau soal yang terakhir yang menjadi masalah, solusinya sebetulnya mudah. Jokowi cukup mengadakan pertemuan dengan para mantan Dubes RI yang jumlah mereka ratusan dan memiliki sebuah perkumpulan. Dari mereka Jokowi bisa meminta masukan bahkan rekomendasi, siapa sosok putera Indonesia yang cocok menduduki posisi Menteri Luar Negeri untuk lima tahun ke depan.

Sangat riskan, kalau Jokowi hanya fokus pada masalah domestik, sementara persoalan internasional yang semakin kompleks, diabaikan atau terabaikan.

Presiden (terpilih) Jokowi perlu sadar, keberhasilan Presiden pertama RI, Soekarno, dalam arti Indonesia langsung diperhitungkan oleh dunia, karena memberi perhatian yang cukup pada politik luar negeri serta figur yang menjalankannya.

Sama halnya dengan Presiden kedua, Soeharto. Dipilihnya Adam Malik pada awal pemerintahannya, yang kemudian dikenal sebagai seorang diplomat lincah bagaikan hewan kancil, tak lepas dari paradigma Soeharto yang ingin mendapatkan mitra kuat internasional.

Setelah itu pos Menlu berikut kepedulian Indonesia terhadap isu internasional menjadi kendor. Pada akhirnya berakibat seperti situasi saat ini. Kalaupun selama sepuluh tahun SBY seperti memberikan porsi dan perhatian besar, tetapi banyak kekurangannya.

SBY sepertinya tidak merasa puas hanya sebagai Presiden. Dia seperti juga bertugas sebagai Menlu. Akibatnya masalah internasional tak tertangani dengan baik, begitu juga masalah domestik.

Inilah yang perlu menjadi pelajaran bagi Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar