Senin, 20 Oktober 2014

SBY : Pemimpin Pencitraan

SBY : Pemimpin Pencitraan

Victor Silaen  ;   Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SATU HARAPAN,  17 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Menyusul disahkannya RUU Pilkada yang mengembalikan hak pilih dalam pemilihan kepala daerah ke tangan DPRD dalam Rapat Paripurna DPR, 26 September lalu, Presiden SBY langsung menuai kecaman dari berbagai kalangan, utamanya di jejaring media sosial. Pemicunya adalah aksi walk out yang dilakukan oleh Fraksi Demokrat saat sidang paripurna tersebut. Partai pimpinan SBY itu dinilai bermuka dua: di satu sisi mendukung Pilkada langsung, di sisi lain malah melakukan aksi walk out. Sikap Partai Demokrat itulah yang kemudian membuat masyarakat geram. SBY pun sontak dicibir sebagai pemimpin “yang memalukan”.

Hari-hari sesudahnya SBY memperlihatkan responsnya kepada publik. Ia mengatakan, antara lain, kurang tidur dan menyesali apa yang terjadi itu. Kalau saja SBY bukan presiden RI sejak 2004, boleh jadi kita mudah iba dan bersimpati kepadanya. Tapi tidak, kita sudah teramat sering menyaksikan sikapnya yang melow seperti itu. Dulu kita pikir, kalau SBY sudah melow, ia niscaya bertindak cepat dan tegas terkait hal-hal yang membuatnya begitu. Tapi faktanya tidak, dan kita pun kecewa, berkali-kali.

Maka sekarang, terkait UU Pilkada yang merampas hak politik rakyat itu, sikap melow SBY justru membuat kita curiga. Sungguhkah ia menyesali aksi walk out para kadernya di DPR? Kalau begitu berarti bukan dirinya yang menginstruksikan aksi tersebut. Lantas, apakah itu merupakan prakarsa dari Nurhayati Ali Assegaf, Ketua Fraksi Demokrat? Seberani itukah ia mengambil keputusan atas nama partainya?

SBY lalu bertelepon dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zulva. Tapi, menurut Hamdan, SBY tak menyinggung soal pembatalan UU tersebut. SBY kemudian berkonsultasi dengan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril, ia menyarankan SBY (juga Jokowi) untuk tidak menandatangani UU tersebut. Namun yang terjadi kemudian, setibanya di Jakarta, SBY langsung melakukan konsolidasi dengan kader Partai Demokrat (30/9/2014) dan lalu memutuskan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) dan akan mengajukannya ke DPR, setelah menandatangani draf UU itu.

Pertanyaannya, jika SBY nantinya akan mengeluarkan perppu, mengapa pula ia harus meneken UU Pilkada yang baru disahkan DPR itu? Bukankah tindakan mengeluarkan perppu dapat dibaca sebagai sikap ketidaksetujuannya terhadap UU tersebut? Sebaliknya, kalau ia setuju dan karena itu menekennya, lantas untuk apa ia kemudian mengeluarkan perppu?

Fakta bicara, 3 Oktober lalu, SBY sudah mengeluarkan dua perppu untuk menggantikan UU No. 12 Tahun 2014 tentang Pilkada Tidak Langsung itu. Apa yang membuatnya kali ini bisa bertindak cepat – hanya seminggu?

Inilah hal-hal membingungkan yang membuat kita semakin sulit untuk tak melihat SBY sebagai pemimpin pencitraan. Artinya, SBY adalah sosok yang lebih mementingkan citra diri daripada konsistensi sikap, ucapan dan tindakannya  sebagai pemimpin. Benar bahwa ia seorang politikus, bahkan kini Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrat selain sebagai Ketua Dewan Pembina. Laiknya politikus ulung yang sudah cukup lama berpolitik, pastilah SBY sadar betul bahwa manajemen citra diri di depan publik sangatlah penting. 

Namun, SBY tak boleh lupa bahwa ia juga kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Terkait itu maka ia seharusnya lebih mementingkan ketegasan dan kecepatan dalam bertindak, demi bangsa dan negara, dan demi rakyat. Maka, jika demi kepentingan yang lebih luas itu citra dirinya menjadi kurang baik, apa boleh buat itulah risiko yang harus dihadapi. Bukankah itu keniscayaan seorang pemimpin?

Tak lama lagi periode kepemimpinan SBY berakhir. Yang kita sayangkan, ia akan mewariskan sejumlah masalah yang tak kunjung diselesaikannya. Entah karena tak mampu atau tak mau, keduanya  kerap sulit dipisahkan secara tegas. Tapi yang jelas, faktor “mementingkan citra diri” tak bisa dilepaskan darinya.

Kembali pada UU Pilkada, sebenarnya kalau SBY betul-betul tak setuju Pilkada Tidak Langsung, bukankah ia dapat memerintahkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selaku pembantunya di pemerintahan untuk menghentikan pembahasan RUU tersebut di DPR? Tapi mengapa hal itu tak dilakukannya? Sangat mungkin jawabannya adalah ini: demi pencitraan, agar ia dikesankan sebagai pemimpin yang demokratis dan tak usil mengintervensi proses politik di lembaga legislatif.

Itulah SBY yang pada 12 November 2007 dipuji dunia karena berhasil membawa Indonesia menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Itulah SBY yang sejak 2008 makin diapresiasi karena memelopori pertemuan tahunan “Bali Democracy Forum” sebagai forum saling belajar demokrasi antarnegara di kawasan Asia Pasifik. Tapi, sejak Jumat lalu, dunia mulai mengecamnya sebagai pemimpin yang membawa kemunduran demokrasi bagi Indonesia.

Itulah SBY yang pernah mendapatkan World Statesman Award dari The Appeal of Conscience Foundation (ACF) pada 31 Mei 2013, karena dinilai berhasil dalam mengembangkan demokrasi, toleransi dan dialog antarumat di dalam negeri. Padahal fakta bicara, masalah “sekecil” GKI Yasmin yang secara hukum sudah menang di Mahkamah Agung pun tak kunjung diselesaikannya. Padahal SBY, di rumahnya sendiri di Cikeas, pada 16 Desember 2011, berjanji di depan para pimpinan gereja dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) untuk turun-tangan langsung demi menyelesaikan masalah rumah ibadah di Kota Bogor tersebut.

Tak dapat disangkal, SBY memang lebih memedulikan pencitraan. Sebenarnya pencitraan itu sendiri baik jika ia bersifat alami, dalam arti tak secara sengaja dibangun. Itulah yang oleh Wooden (2006) disebut innate image, sesuatu yang berkaitan dengan karakter. Sebaliknya, pencitraan menjadi tak baik jika orang yang bersangkutan secara sadar mengelolanya demi tujuan meraih reputasi atau meningkatkan popularitas. Ia bahkan menjadi sesuatu yang palsu, jika ternyata tak didukung dengan fakta-fakta sesuai dengan apa yang hendak digambarkan oleh citra yang dimaksud.

Menurut Covey (1989), citra diri seperti itu tak ubahnya topeng. Itulah yang disebut Wooden sebagai social image: sesuatu yang terlihat dari luar bagus tapi tak otentik sekaligus tak jujur, dan karenanya juga tak sejati.

Kini, sesuatu yang palsu itu kian terungkap. Tak heran jika sejalan dengan itu masyarakat, melalui jejaring media sosial, makin mudah mencemooh dan mengecamnya.  Mungkin tak berlebihan jika diprediksi nanti, 20 Oktober, SBY akan turun dari panggung dengan kepala tertunduk karena kehormatan sudah pergi meninggalkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar