Ani-Kuntoro
Jadi Menteri?
Edy Mulyadi ; Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies
|
INILAH.COM,
14 Oktober 2014
NAMA Sri Mulyani Indrawati (SMI) akhirnya bergema juga. Konon, dia akan
diplot mengisi kursi menteri pada kabinet Jokowi-JK. Tidak tanggung-tanggung,
konon lagi, dia akan menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Posisi keren
yang menggawangi jatuh-bangunnya perekonomian negeri berpenduduk lebih dari 240
juta jiwa ini.
Nama lain yang juga beredar adalah Kuntoro Mangkusubroto. Nama ini
memang tidak sekencang SMI. Namun, tak urung gosip ini memantik kekhawatiran
sebagian kalangan yang paham betul rekam jejak Kuntoro di jajaran birokrasi.
Jika kabar-kabur yang berseliweran itu benar, lengkap sudah
keterpurukan Indonesia. Nyaris sejak Orde Baru, dan disambung Orde Reformasi,
kendali ekonomi Indonesia senantiasa diserahkan kepada para penghamba
sekaligus pejuang neoliberalisme. Satu mazhab yang getol menyerahkan segala
sesuatunya kepada kehendak pasar.
Perempuan yang akrab disapa Ani itu kini adalah Managing Director Dana
Moneter Internasional (IMF). Jabatannya sekarang sudah lumayan mentereng.
Tapi, saat didapuk menduduki posisinya tersebut, sempat berembus kabar, Ani diselematkan the
invisble hand agar tidak terseret pusaran mega skandal Bank Century.
Sekadar mengingatkan saja, saat –meninjam istilah Wapres Jusuf kalla--
perampokan uang negara sebesar Rp6,7 triliun itu terjadi, dia adalah Menteri
Keuangan sekaligus Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Sebagai
KKSK, Ani dianggap orang kedua yang paling bertanggung jawab setelah Wapres
Boediono.
Komparador
asing sejati
Agar publik tidak lupa, selain mega skandal Century, Ani juga punya
sederet prestasi yang membuktikan dia adalah seorang komparador asing sejati.
Pada Februari 2013, misalnya, obligasi RI yang dijualnya laris-manis bak
kacang goreng. Dan, pembeli utamanya ternyata investor asing. Kenapa?
Perempuan yang dipuji-puji media asing sebagai Menkeu terbaik Asia,
bahkan dunia ini, menyorongkan yield sebesar 5,26% per tahun. Angka ini jauh
lebih tinggi dibandingkan obligasi yang diterbitkan sejumlah negara ASEAN
lain. Sebut saja, Thailand 3,61%, Filipina 3,52%, dan Malaysia 3,48%.
Yang membuat seru, yield yang dibayar Indonesia ternyata jauh lebih
tinggi ketimbang Filipina. Padahal saat obligasi itu diterbitkan, sejumlah
lembaga rating seperti S&P, Fitch, dan Moody’s mengganjar peringkat
Indonesia di atas Filipina. Dalam logika pasar uang, negara yang peringkatnya
lebih tinggi bisa mengail dana dengan biaya lebih murah.
Selisih bunga Indonesia dan Filipina sepertinya ‘hanya’ 1,74%. Tapi
mari kita sejenak menggunakan kalkulator sederhana. Tenor obligasi yang
diterbitkan negara biasanya panjang, 20-30 tahun. Obligasi yang dilego mbak
Ani itu nilainya Rp812 triliun. Dengan selisih bunga yang ‘hanya’ 1,74% itu
akan memaksa Indonesia membayar 34,8% atau Rp282,57 triliun lebih besar
daripada jika yield-nya sama dengan Filipina yang 3,52%. Bayangkan, Rp282,57
triliun!
Bisakah Anda memaknai angka Rp282,7 triliun dalam 20 tahun bagi
Indonesia? Itu artinya, tiap tahun rakyat harus membayar Rp14,13 triliun
lebih besar untuk mengisi kocek asing. Jumlah itu setara dengan membangun
tiga jembatan setara Suramadu. Jauh lebih besar daripada biaya membangun
double track kereta api Jakarta-Surabaya yang cuma Rp10 triliun.
Hobi obral obligasi dengan bunga supermahal Sri terus berlanjut. Pada
2008, Indonesia menerbitkan global bond di New York sebesar US$2 miliar
dengan tenor 10 tahun. Bunga yang diberikan 6,95%. Ini bunga obligasi negara
tertinggi yang diberikan oleh negara ASEAN. Sebagai perbandingan, suku bunga global
bond yang diterbitkan Malaysia waktu itu cuma 3,86%, Thailand 4,8%. Bahkan
Filipina, yang selama ini dikenal sebagai The
Sick Man in Asia, bunganya hanya 6,51%.
Yang lebih hebat lagi, pada 2009, untuk menambal defisit APBN, dia
kembali menerbitkan global bond senilai US$3 miliar. Global bond itu terbagi
dua; US$2 miliar berjangka waktu 10 tahun dengan bunga 11,75% dan US$1 miliar
berjangka waktu 5 tahun berbunga 10,5%. Pada saat yang sama, Filpina
menangguk dana dari pasar internasional sebesar US$1,5 miliar dengan bunga
8,5% saja!
Bisa dipahami, mengapa para kapitalis asing cinta berat kepadanya. Bisa
dimaklumi juga, kenapa majalah Euromoney pada 2006 mengganjarnya sebagai Finance Minister of the Year. Sri
mulyani telah memuaskan syahwat kapitalis asing sambil mengorbankan
kepentingan bangsanya sendiri. Menteri keuangan seperti inikah yang akan
kembali diboyong Jokowi masuk dalam jajaran kabinetnya?
Merugikan
negara dengan UU Migas
Bagaimana dengan Kuntoro? Rekam jejak Kuntoro sejauh ini biasa-biasa
saja, jauh dari cemerlang. Padahal, karirnya di pemerintahan terbilang
panjang dan cukup lengkap. Dia pernah menjadi Dirjen Pertambangan Umum
(1993-1997),dua kali Menteri Pertambangan, yaitu pada Kabinet Pembangunan VII
(1998) dan di Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Direktur Utama PLN
(2000), serta Kepala Badan Pelaksana-Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Aceh-Nias (2005).
Satu lagi tentang Kuntoro. Sekadar mengingatkan saja, Kuntoro adalah
tokoh penting di balik UU No. 22/2001 tentang Migas yang sangat menguntungkan
asing dan sangat merugikan Indonesia. Bukan itu saja, lewat Kuntoro pula
USAID masuk, bahkan mengucurkan dollar demi suksesnya pembahasan RUU yang
draft-nya mereka buatkan.
Kisah pengkhianatan anak bangsa kepada bangsanya sendiri ini masih
dapat ditemukan dalam arsip Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia di
Jakarta. Pada 29 Agustus 2008 Kedubes AS mengeluarkan pernyataan resmi
mengenai keterlibatan USAID dalam apa yang disebut sebagai proses reformasi
sektor energi.
Lewat dokumen itu sangat jelas peran yang dimainkan Kuntoro pada awal
1999. Saat itu, sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dia minta
bantuan USAID mereview sebuah draft RUU Migas. USAID menyambut positif
undangan itu dan selanjutnya bersama pemerintah Indonesia menandatangani Strategic Objective Grant Agreement
(SOGA) yang berlaku untuk lima tahun sekaligus mengucurkan bantuan US$20
juta.
Tuisan ini akan kian panjang jika harus menguliti kinerja dan prestasi
keduanya sebagai pengabdi dan pejuang kepentingan asing. Pertanyaan besar
kepada Jokowi, benarkah Anda akan menarik mereka dalam jajaran menteri?
Kalau memang benar, lantas dimana doktrin Tri Sakti yang dengan
berbusa-busa Anda semburkan saat berkampanye Pilpres tempo hari? Bukankah
dengan Trisakti itu Anda sukses menyihir rakyat Indonesia yang sudah lama ingin
mandiri dalam politik, ekonomi, budaya sendiri? Atau, karena Anda telah
mengubahnya menjadi dengan Nawacita pada visi-misi yang diserahkan ke KPU,
maka dagangan Tri Sakti itu kini boleh dicampakkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar