Senin, 20 Oktober 2014

Mencuat Kontroversi Sri Mulyani dalam Radar Jokowi

Mencuat Kontroversi Sri Mulyani

dalam Radar Jokowi

Herdi Sahrasad  ;   Pengamat Politik
INILAH.COM,  14 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Kabar bahwa presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) sudah menelpon Sri Mulyani Indrawati untuk masuk kabinet, mengundang reaksi pro-kontra, bahkan mencuat menjadi kontroversi. Apa yang terjadi?

Berbagai kalangan meminta Jokowi tidak menarik masuk Sri Mulyani ke dalam kabinet karena hampir pasti memicu gelombang demo dan protes yang justru menggerogoti kredibilitas presiden di masa mendatang. Situasi ini bakal menuai kontroversi yang mendistorsi citra Kabinet Jokowi.

Tokoh Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif pernah mengingatkan bahwa, kasus Century adalah kejahatan ekonomi skala besar yang harus dituntaskan karena menusuk rasa keadilan rakyat.

Sri Mulyani yang menjadi aktor utama bail out Century, disebut-sebut masuk dalam 'radar' presiden terpilih Jokowi. Para analis dan aktivis pergerakan menyesalkan hal ini, seolah tak ada calon menteri lain selain ''Srikandi Centurygate'' ini.

Sri Mulyani memiliki peluang besar untuk menjabat sebagai Menkeu karena desakan kubu neoliberal dan kelompok kepentingan di Jakarta. Kubu Jokowi-Megawati diduga tidak kuat menahan tekanan IMF/Bank Dunia dan kaum neolib Jakarta ini.

''Kalau Sri Mulyani jadi Menkeu, apalagi Menko Ekuin, maka agenda Trisakti Soekarno yang diusung Jokowi hancur lebur, dan hampir pasti gelombang frustasi, aksi protes dan demo marak menyergap Presiden Jokowi,'' kata Nehemia Lawalata dari Persatuan Alumni GMNI dan mantan sekretaris politik Prof Sumitro Djojohadikusumo.

Sebelumnya pengamat politik Universitas Gajah Mada (UGM) Arie Sujito khawatir sosok Sri Mulyani dianggap akan menjadi 'peluru' dan amunisi buat Koalisi Merah Putih (KMP) dan mendorong civil society berdemonstrasi memprotes Jokowi. Sebab selama ini publik melihat sosok Sri Mulyani selalu lekat dengan kasus skandal Bank Century.

Harian ''Bisnis Indonesia'' 21 Februari 2013 sempat memuat artikel berjudul "Asing Incar Obligasi RI" yang ditulis oleh Lavinda. Tulisan itu selintas hanya memberikan informasi yang biasa saja. Tetapi apabila dicermati lebih dalam, maka akan menguak langkah-langkah kebijakan keuangan yang selama ini dibuat Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Dalam tulisan yang datanya dari ADB (Asian Development Bank) dinyatakan, beberapa data obligasi (surat utang) dari beberapa negara antara lain Indonesia, Thailand, China, Filipina, dan Malaysia. Obligasi Indonesia mempunyai yield (imbal hasil) sebesar 5,26% per tahun. Thailand 3,61%, China 3,58%, Filipina 3,52%, dan Malaysia 3,48%.

Yang menarik adalah yield yang dibayar Indonesia (5,26%) jauh lebih tinggi dari Filipina (3,52%). Padahal, demikian Ir Abdulrachim Kresno, Pengamat Ekonomi-Politik dan mantan aktivis gerakan mahasiswa ITB 1977/78, menurut lembaga rating internasional baik S&P, Fitch maupun Moody's rating Indonesia di atas atau lebih baik dari rating Filipina. Seharusnya negara yang ratingnya lebih tinggi dapat mengeluarkan obligasi yang yieldnya lebih rendah.

Karena itu, ungkap Abdulrachim, menjadi janggal bila yield obligasi Indonesia jauh di atas Filipina, apalagi dengan selisih sampai 1,74%. Kelihatannya seperti kecil, tetapi harus diingat bahwa tenor obligasinya (jangka waktu jatuh temponya) panjang, bisa sampai 20-30 tahun dan nilai totalnya Rp 812 Trilyun.

Sehingga bila diasumsikan tenornya 20 tahun selisih yield 1,74% akan menyebabkan Indonesia membayar 34,8% atau Rp282,57 Trilyun lebih besar dari pada seharusnya bilamana yieldnya sama dengan Filipina 3,52%. Artinya telah terjadi pemborosan luar biasa dalam pembayaran yield Indonesia.

Tentu ini menimbulkan pertanyaan ada apa di balik kebijakan keuangan yang ganjil ini ? Apakah ada transaksi-transaksi gelap di baliknya? Apabila hal ini terjadi di negara maju tentu akan menimbulkan heboh luar biasa yang bisa menimbulkan Pansus di Parlemen karena merupakan skandal kebijakan keuangan. Tetapi di Indonesia yang diberitakan malah obligasi Indonesia oversubscribed (kelebihan minat beli) dan diopinikan di media masa bahwa dunia internasional mempercayai Indonesia. Ya tentu saja karena obligasinya sangat menguntungkan asing.

Karena itu mudah dimengerti bila Sri Mulyani mendapat penghargaan Finance Minister of the Year dari majalah Euromoney 2006 karena telah memanjakan kepentingan asing.

Sebetulnya justru Menteri Keuangan Filipina yang layak untuk diberikan gelar The Best Finance Minister karena telah mampu menjual obligasi dengan yield yang murah karena bisa menyamai yield negara-negara Thailand, Malaysia, China yang ratingnya di atas Filipina

Sungguh suatu ironi karena pemborosan Rp282,57 triliun dalam 20 tahun atau Rp14,13 triliun per tahun adalah nilai yang besar. Itu setara dengan setiap tahun membangun tiga jembatan setara Suramadu, jauh lebih besar dari biaya membangun double track KA Jakarta-Surabaya yang "hanya" Rp10 triliun, hampir sama dengan anggaran belanja Kementerian Pertanian yang Rp17,8 triliun.

Indonesia sulit maju dan selalu ketinggalan dengan negara-negara tetangga Singapura, Malaysia, Korea, China dan Taiwan yang pada era 60-an masih sama-sama miskin karena elit-elit pemerintahannya, yang berwenang mengatur keuangan negara lebih mengabdi kepada kepentingan asing daripada kepada ibu pertiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar