Mencuat
Kontroversi Sri Mulyani
dalam
Radar Jokowi
Herdi Sahrasad ; Pengamat Politik
|
INILAH.COM,
14 Oktober 2014
Kabar bahwa presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) sudah menelpon Sri
Mulyani Indrawati untuk masuk kabinet, mengundang reaksi pro-kontra, bahkan
mencuat menjadi kontroversi. Apa yang terjadi?
Berbagai kalangan meminta Jokowi tidak menarik masuk Sri Mulyani ke
dalam kabinet karena hampir pasti memicu gelombang demo dan protes yang
justru menggerogoti kredibilitas presiden di masa mendatang. Situasi ini
bakal menuai kontroversi yang mendistorsi citra Kabinet Jokowi.
Tokoh Muhammadiyah Buya Ahmad Syafii Maarif pernah mengingatkan bahwa,
kasus Century adalah kejahatan ekonomi skala besar yang harus dituntaskan
karena menusuk rasa keadilan rakyat.
Sri Mulyani yang menjadi aktor utama bail out Century, disebut-sebut
masuk dalam 'radar' presiden terpilih Jokowi. Para analis dan aktivis
pergerakan menyesalkan hal ini, seolah tak ada calon menteri lain selain
''Srikandi Centurygate'' ini.
Sri Mulyani memiliki peluang besar untuk menjabat sebagai Menkeu karena
desakan kubu neoliberal dan kelompok kepentingan di Jakarta. Kubu
Jokowi-Megawati diduga tidak kuat menahan tekanan IMF/Bank Dunia dan kaum
neolib Jakarta ini.
''Kalau Sri Mulyani jadi Menkeu, apalagi Menko Ekuin, maka agenda
Trisakti Soekarno yang diusung Jokowi hancur lebur, dan hampir pasti
gelombang frustasi, aksi protes dan demo marak menyergap Presiden Jokowi,''
kata Nehemia Lawalata dari Persatuan Alumni GMNI dan mantan sekretaris
politik Prof Sumitro Djojohadikusumo.
Sebelumnya pengamat politik Universitas Gajah Mada (UGM) Arie Sujito
khawatir sosok Sri Mulyani dianggap akan menjadi 'peluru' dan amunisi buat
Koalisi Merah Putih (KMP) dan mendorong civil society berdemonstrasi
memprotes Jokowi. Sebab selama ini publik melihat sosok Sri Mulyani selalu
lekat dengan kasus skandal Bank Century.
Harian ''Bisnis Indonesia'' 21 Februari 2013 sempat memuat artikel berjudul
"Asing Incar Obligasi RI" yang ditulis oleh Lavinda. Tulisan itu
selintas hanya memberikan informasi yang biasa saja. Tetapi apabila dicermati
lebih dalam, maka akan menguak langkah-langkah kebijakan keuangan yang selama
ini dibuat Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Dalam tulisan yang datanya dari ADB (Asian Development Bank)
dinyatakan, beberapa data obligasi (surat utang) dari beberapa negara antara
lain Indonesia, Thailand, China, Filipina, dan Malaysia. Obligasi Indonesia
mempunyai yield (imbal hasil) sebesar 5,26% per tahun. Thailand 3,61%, China
3,58%, Filipina 3,52%, dan Malaysia 3,48%.
Yang menarik adalah yield yang dibayar Indonesia (5,26%) jauh lebih
tinggi dari Filipina (3,52%). Padahal, demikian Ir Abdulrachim Kresno,
Pengamat Ekonomi-Politik dan mantan aktivis gerakan mahasiswa ITB 1977/78,
menurut lembaga rating internasional baik S&P, Fitch maupun Moody's
rating Indonesia di atas atau lebih baik dari rating Filipina. Seharusnya
negara yang ratingnya lebih tinggi dapat mengeluarkan obligasi yang yieldnya
lebih rendah.
Karena itu, ungkap Abdulrachim, menjadi janggal bila yield obligasi
Indonesia jauh di atas Filipina, apalagi dengan selisih sampai 1,74%.
Kelihatannya seperti kecil, tetapi harus diingat bahwa tenor obligasinya (jangka
waktu jatuh temponya) panjang, bisa sampai 20-30 tahun dan nilai totalnya Rp
812 Trilyun.
Sehingga bila diasumsikan tenornya 20 tahun selisih yield 1,74% akan
menyebabkan Indonesia membayar 34,8% atau Rp282,57 Trilyun lebih besar dari
pada seharusnya bilamana yieldnya sama dengan Filipina 3,52%. Artinya telah
terjadi pemborosan luar biasa dalam pembayaran yield Indonesia.
Tentu ini menimbulkan pertanyaan ada apa di balik kebijakan keuangan
yang ganjil ini ? Apakah ada transaksi-transaksi gelap di baliknya? Apabila
hal ini terjadi di negara maju tentu akan menimbulkan heboh luar biasa yang
bisa menimbulkan Pansus di Parlemen karena merupakan skandal kebijakan
keuangan. Tetapi di Indonesia yang diberitakan malah obligasi Indonesia
oversubscribed (kelebihan minat beli) dan diopinikan di media masa bahwa
dunia internasional mempercayai Indonesia. Ya tentu saja karena obligasinya
sangat menguntungkan asing.
Karena itu mudah dimengerti bila Sri Mulyani mendapat penghargaan
Finance Minister of the Year dari majalah Euromoney 2006 karena telah
memanjakan kepentingan asing.
Sebetulnya justru Menteri Keuangan Filipina yang layak untuk diberikan
gelar The Best Finance Minister karena telah mampu menjual obligasi dengan
yield yang murah karena bisa menyamai yield negara-negara Thailand, Malaysia,
China yang ratingnya di atas Filipina
Sungguh suatu ironi karena pemborosan Rp282,57 triliun dalam 20 tahun
atau Rp14,13 triliun per tahun adalah nilai yang besar. Itu setara dengan
setiap tahun membangun tiga jembatan setara Suramadu, jauh lebih besar dari
biaya membangun double track KA Jakarta-Surabaya yang "hanya" Rp10
triliun, hampir sama dengan anggaran belanja Kementerian Pertanian yang
Rp17,8 triliun.
Indonesia sulit maju dan selalu ketinggalan dengan negara-negara
tetangga Singapura, Malaysia, Korea, China dan Taiwan yang pada era 60-an
masih sama-sama miskin karena elit-elit pemerintahannya, yang berwenang
mengatur keuangan negara lebih mengabdi kepada kepentingan asing daripada
kepada ibu pertiwi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar