Visi
Baru Pertahanan Indonesia
Achmad
Soetjipto ; Mantan KSAL; Ketua Persatuan Purnawirawan AL
|
KOMPAS,
02 Juni 2014
TAHUN
ini adalah akhir dari tahap pertama Rencana Strategis Minimum Essential Forces (MEF) suatu program untuk mengatasi
ketertinggalan pembangunan dan modernisasi sektor pertahanan. Ada rencana
terbaru memperkuat sektor ini seperti diungkapkan Menteri Pertahanan, Januari
lalu, yaitu akan dibentuk Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan).
Tujuannya untuk lebih memadukan dan memaksimalkan tugas operasional ketiga
matra TNI: Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Pembentukan
Kogabwilhan dianggap mendesak untuk memberikan daya gentar (deterrence) dan
sebagai upaya antisipasi meningkatnya ancaman terhadap pertahanan negara.
Struktur dan komando yang ada kini dipandang tak memadai untuk merespons
ancaman dengan segera.
Wilayah
Indonesia berbatasan darat dengan Malaysia (1.782 km), Timor Leste (228 km),
dan Papua Niugini (820 km). Indonesia juga berbatasan laut dengan India,
Thailand, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, dan Australia. Dengan posisi
ini, Indonesia menghadapi potensi ancaman dari 10 negara yang berbatasan
langsung meski dengan tingkat dan jenis berbeda-beda.
Belum
tuntasnya masalah perbatasan maritim dengan beberapa negara dapat saja
memantik sengketa sebagaimana mencuatnya berbagai insiden dengan Malaysia
belakangan ini. Di samping masalah perbatasan, Indonesia berkepentingan
menjaga empat choke point terpenting di dunia: Selat Malaka, Selat Sunda,
Selat Makassar, dan Selat Lombok. Gangguan juga bisa datang tak terduga
mengingat saat ini Indonesia sebenarnya telah terkepung kekuatan militer
besar.
Selain
Five Power Defence Arrangements yang terdiri dari Australia, Selandia Baru,
Malaysia, Singapura, dan Inggris yang sudah lama eksis, AS juga terus
mempererat persekutuannya dengan Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, dan
Singapura. Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan Sustaining US Global
Leadership: Priorities for 21st Century Defense, AS menempatkan sekitar 60
persen kekuatan armadanya di Asia Pasifik, di antaranya 2.500 marinir di
Darwin, Australia, dan pangkalan sementara bagi kapal-kapal Littoral Combat
Ships Armada Ketujuh di Singapura.
Australia
dengan The Australian Maritime Identification System telah pula melakukan
pengawasan sejauh 1.000-1.500 mil laut ke luar wilayah Australia yang berarti
memasukkan Indonesia dalam jangkauan pengawasannya. Timor Leste juga sudah
menyatakan membuka diri kepada Tiongkok untuk menggunakan wilayahnya sebagai
pangkalan militer. Sampai kini Tiongkok sangat agresif membangun aliansi
dengan beberapa negara dan dengan kebijakan blue water naval strategy
berambisi menandingi dominasi AS.
India
tak mau ketinggalan dan dengan kebijakan Look
East Policy, negara ini akan terus meningkatkan kehadirannya di kawasan.
Sementara atas alasan antisipasi meledaknya konflik Laut Tiongkok Selatan, negara-negara
tetangga kita seperti Malaysia, Filipina, dan Vietnam terus memacu
pengembangan dan modernisasi kekuatan militernya. Belum lagi Singapura yang
melihat diri sebagai Israel-nya Asia Tenggara tentu berupaya untuk secara
militer harus lebih kuat dari negara sekitarnya.
Mencermati
peta di atas, selayaknya strategi pertahanan Indonesia harus dirancang untuk
mampu menghadapi berbagai perkembangan dan dinamika tersebut. Kogabwilhan
adalah salah satu langkah responsif sekaligus strategi memperkuat diplomasi
terhadap negara sekawasan juga dengan Amerika, Tiongkok, India, dan
Australia. Atas alasan ini pula Kogabwilhan menurut Menhan akan diposisikan
di flashpoint seperti Aceh, Natuna, perbatasan Kalimantan berikut perairan
Ambalat, Papua, dan Atambua.
Doktrin pertahanan
Pertahanan
merupakan kepentingan nasional yang vital karena menyangkut kedaulatan
negara. Karena itu, pertahanan harus menjadi bagian utuh dari politik dan
kebijakan negara. Seluruh strategi pertahanan harus mampu menggambarkan visi
dan sikap negara, baik ke dalam maupun keluar. Pasal 30 UUD 1945 dan juga UU
No 3/2002 menggariskan bahwa sistem pertahanan semesta merupakan kebijakan
pertahanan negara. Karakter sistem ini memang masih diwarnai kebijakan inward looking dengan ciri doktrin mendasarkan
pada pertahanan di dalam (teritorial). Namun, Kementerian Pertahanan dan TNI
semakin sadar bahwa karakter, jenis, dan tingkatan ancaman terhadap
kedaulatan negara saat ini sudah sangat berbeda dan tentunya tidak bisa
dihadapi dengan cara-cara lama.
Meski
dapat tetap mempertahankan nilai-nilai inti sebagai suatu ”dogma”, dalam
praksisnya doktrin pertahanan harus dinamis dan adaptif dengan perkembangan
lingkungan strategisnya. Pembentukan Kogabwilhan yang tentunya diikuti
rencana pembentukan dan pengisian susunan kekuatan tempur organik dari ketiga
matranya, semisal armada yang baru berikut pengembangan Brigade Marinir
menjadi Divisi, adalah salah satu ikhtiar menyelaraskan strategi pertahanan
dengan karakter ancaman.
Langkah
ini sangat penting untuk segera diimplementasikan karena peta kekuatan
pertahanan tingkat regional sudah sedemikian jauh berkembang. Terutama
menghadapi ancaman meluasnya konflik senjata di Laut Tiongkok Selatan.
Penguatan postur pertahanan matra maritim dan udara pada hakikatnya sudah
tepat karena dalam pembangunan dan modernisasi alutsista, kondisi geografis
Indonesia sebagai negara kepulauan berikut lingkungan maritim yang
mengitarinya harus jadi acuan utama.
Gambaran
yang akan tampak jika strategi baru ini diterapkan adalah munculnya
kesenjangan antara postur pertahanan dan daya dukung alutsista. Paradigma
dasar MEF adalah mengisi kesenjangan, bukan memperbesar kekuatan. Fokus
Rencana Strategis MEF 2010 hingga 2024 masih diarahkan perwujudan kekuatan
pokok minimum. Artinya, sampai sepuluh tahun mendatang program pengembangan
TNI hanya berkisar pergantian alutsista yang sudah usang, sementara postur
kekuatan tempur tetap stagnan. Di sisi lain dikembangkan suatu komando
gabungan dengan cakupan maksimalis, yaitu beberapa Kogabwilhan yang
masing-masing membawahkan suatu theatre
command.
Inilah
pekerjaan rumah terbesar yang harus segera dicarikan titik temu: bagaimana
membangun postur komando maksimalis dan membangun postur kekuatan ideal yang
paling tidak mampu menimbulkan efek deterrence.
Hal ini penting mengingat agar dapat merespons segala bentuk ancaman militer
dibutuhkan kekuatan yang tak saja untuk kebutuhan defensif, tetapi juga
berkemampuan ofensif. Artinya, dengan dinamika kawasan seperti sekarang di
kala diplomasi jadi buntu dan kepentingan nasional jadi taruhan, Kogabwilhan
harus mampu melancarkan pertempuran salvo pertama dibarengi gebrakan perang
kilat tuntas (sharp shorten war)
guna meraih kemenangan awal dan merebut posisi paling menguntungkan sampai
hadirnya kekuatan penengah, keterlibatan pihak ketiga yang datang melerai.
Sistem komando efektif
Selanjutnya,
untuk dapat berjalan efektif, pembentukan Kogabwilhan harus dilengkapi
struktur komando yang efisien, responsif, dan cepat. Problema selama ini,
kendala TNI melakukan respons cepat terhadap setiap gangguan di wilayah
terluar adalah karena sistem birokrasi yang gemuk dan ribet. Sistem yang
berlaku saat ini harus segera disudahi terutama menyangkut perangkat
pemrosesan dan K3I untuk kecepatan pengambilan keputusan, kemandirian
logistik untuk keunggulan manuver, serta bagaimana Kogabwilhan dapat
melakukan gelar tempur pada medan tempur tertentu tanpa terkendala sistem
komando birokratis. Tanpa dibekali kewenangan dan sarana mutakhir untuk
melaksanakan, peran Kogabwilhan akan sama dengan operasi gabungan selama ini,
yang berarti tak ada hal baru dari Kogabwilhan. Keberadaan Kogabwilhan malah
akan memperpanjang mata rantai komando dan pemborosan anggaran.
Kemungkinan
lain yang perlu dicermati, muncul duplikasi komando dalam suatu ruang tempur
antara Kogabwilhan dengan kompartemen strategis dan komando reguler yang ada
bahkan dengan kesatuan siaga atau standing
forces. Akibatnya, tujuan efektivitas komando dan efisiensi anggaran jauh
dari sasaran.
Yang
harus dihindari, pembentukan Kogabwilhan jangan mengulang kemubaziran
pembentukan Kowilhan yang hanya jadi komando di atas kertas, serta jangan
sampai pembentukan Kogabwilhan justru mendistorsi proses modernisasi
alutsista TNI pada program MEF. Karena tanpa penuntasan program MEF sementara
pembentukan Kogabwilhan terus berjalan, ini hanya akan menjadikannya macan
ompong. Pembentukan Kogabwilhan harus didukung sebagai pintu restrukturisasi
organisasi TNI dan media pembaruan doktrin pertahanan dari inward looking ke
outward looking. Tak kalah penting adalah bagaimana membangun kesiapan
politik luar negeri, karena sudah pasti perubahan strategi pertahanan
Indonesia akan mendapat respons dari negara-negara tetangga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar