Senin, 02 Juni 2014

Pendidikan Karakter sebagai Landasan

Pendidikan Karakter sebagai Landasan

Anita Lie  ;   Profesor dan Direktur Program Pascasarjana
Unika Widya Mandala, Surabaya
KOMPAS,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
KARAKTER adalah apa yang kita lakukan ketika tidak ada orang lain yang melihat. Dalam pemaparan visi misinya dan revolusi mental baru-baru ini, capres Joko Widodo menyampaikan alokasi yang besar untuk pendidikan karakter (dalam kurikulum SD, 80 persen pendidikan karakter, etika, dan budi pekerti serta 20 persen ilmu pengetahuan; tingkat SMP, 60-40 persen untuk pendidikan karakter; tingkat SMA 20 persen).

Karakter akan menentukan arah peradaban bangsa yang sedang kita bangun.  Ketika suatu peradaban sudah kehilangan jiwanya, harapan bangkit dari keterpurukan dan pembaruan akan ditentukan oleh karakter yang masih tersisa pada sebagian anggota masyarakat.  Harapan disandarkan pada pendidikan—bukan karena ada orang-orang terdidik yang berperan sebagai guru dan pamong di sekolah—melainkan karena ada tunas-tunas muda yang masih berpotensi menumbuhkan nilai-nilai etis.

Sebagian studi mengenai pendidikan karakter menelaah proses pertumbuhan nilai-nilai moral dan etis dalam individu dan norma kelompok atau budaya.  Karakter suatu masyarakat memengaruhi—tetapi tak menentukan—karakter warganya.  Dalam eksperimen dompet hilang (Thomas Lickona, 2004), tingkat kejujuran paling tinggi ada di Norwegia dan Denmark (100 persen pengembalian) serta paling rendah di Meksiko (21 persen).

Dikotomi semu

 Nilai-nilai kejujuran yang sudah menjadi norma dalam suatu masyarakat akan meneguhkan pertumbuhan nilai-nilai itu dalam setiap warga.  Namun sebaliknya, ketika nilai-nilai kejujuran sangat lemah dan tidak bisa menjadi norma dalam suatu masyarakat, toh masih ada segelintir warga yang memegang teguh nilai-nilai kejujuran.  Ini berarti harapan selalu ada untuk meningkatkan norma dan karakter para anggota masyarakat.

Saya berharap alokasi persentase untuk pendidikan karakter dalam kurikulum, seperti disampaikan Jokowi, tidak diterjemahkan menjadi pembagian jam pelajaran, kisi-kisi, teritori guru bidang pelajaran, serta penyekatan kurikulum dalam implementasi di sekolah, tetapi sebagai ajakan menelaah kembali apa yang telah hilang di sekolah-sekolah kita.  Dengan tekanan yang dihadapi dalam kehidupan profesional seorang guru, mulai dari target angka kelulusan ujian, standar mutu, kompetisi untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan siswa, sampai kebutuhan guru atas kesejahteraan yang tak tercukupi, pendidikan karakter telah tersisihkan.

Padahal, pengembangan karakter adalah landasan bagi prestasi akademik yang berkelanjutan.  Menjadi seseorang yang berkarakter berarti menjadi yang terbaik yang bisa dicapai.  Tumbuh dalam karakter berarti menumbuhkan, baik potensi intelektual maupun etis. Pertumbuhan karakter meliputi kapasitas untuk mengasihi dan kapasitas untuk berkarya.  Nilai-nilai seperti empati, kasih sayang, pengorbanan, loyalitas, dan pengampunan menjadi bagian dari kapasitas untuk mengasihi.

Nilai-nilai seperti usaha keras, inisiatif, keuletan, dan disiplin adalah bagian dari kapasitas untuk berkarya dan menjadi kompeten dalam kehidupan.  Jadi, etos kerja dan kompetensi tidak bisa dipisahkan dari karakter.  Seberapa baik seseorang melakukan pekerjaannya adalah salah satu cara dia mengembangkan potensi dirinya secara optimal dan memengaruhi kualitas kehidupan orang lain.

Kerangka, prinsip, strategi

Kepemimpinan nasional yang berkomitmen pada pendidikan karakter perlu untuk membangun kerangka dan merumuskan prinsip pendidikan karakter.  Dalam konteks pendidikan nasional kini (ketika peran pemerintah masih sangat kuat dalam penyelenggaraan pendidikan), kepemimpinan nasional diharapkan bisa menjaga koherensi   visi-misi dengan kebijakan pendidikan yang menimbulkan implikasi praksis di tataran sekolah.

Pendidikan karakter yang efektif harus melibatkan kemitraan keluarga dan sekolah dalam prosesnya.  Studi longitudinal atas 12.000 remaja kelas VII-XII di 80 sekolah di AS pada 1997 menemukan dua faktor pelindung dari perilaku berisiko (kenakalan, kekerasan, seks bebas, dan alkoholisme serta narkoba), yakni kedekatan dengan orangtua dan dengan orang-orang di sekolah.  Selain itu, pendidikan karakter yang sukses terjadi di semua area kurikulum (formal dan tersembunyi serta inti dan ekstra).  Artinya, koherensi tujuan pendidikan karakter dan praksis pendidikan menuntut kebijakan kurikulum dan penilaian belajar yang holistik.  Baik-buruk karakter peserta didik tak bisa diukur dari tipe tes kertas dan pensil.

Praksis ujian nasional harus dihentikan karena nilai-nilai ekonomis (target angka kelulusan, sistem insentif dan hukuman bagi para guru, serta pengukuran prestasi sekolah dan daerah berdasarkan kelulusan ujian nasional) yang melandasi penyelenggaraan UN telah menggerus nilai-nilai etis dan moral.

Selama bertahun-tahun berbagai manipulasi dalam penyelenggaraan ujian nasional yang tak lagi bisa diatasi birokrasi pendidikan/aparat kepolisian telah merusak karakter anak, karakter sekolah, dan karakter masyarakat secara masif.  Keterlibatan puluhan guru dalam pencurian soal-soal UN di Jawa Timur merupakan fenomena pucuk gunung es kerusakan karakter bangsa yang sedang terjadi.

Kerangka dan prinsip pendidikan nasional bisa dirumuskan pada tingkat nasional.  Namun, pada tataran strategi dan implementasi, inisiatif daerah atau bahkan satuan pendidikan akan membuat gerakan pendidikan karakter lebih hidup dan relevan dengan konteks setiap satuan pendidikan.  Nilai-nilai pendidikan karakter bisa digali dan dikaitkan dengan berbagai sumber: ajaran agama, Pancasila, nilai-nilai budaya lokal, atau karakter masyarakat setempat.

Nilai-nilai dasar karakter bersifat universal, tetapi kontekstualisasi yang sesuai kekhasan setiap satuan pendidikan akan membuat pendidikan karakter lebih bermakna dan dinamis.  Bahkan, keberhasilan pada tingkat lokal akan bisa jadi inspirasi di seluruh Nusantara.  Model pendidikan Taman Siswa yang dimotori Ki Hajar Dewantara dengan model among dan pamong menjadi inspirasi secara nasional dan perlu diberi ruang kembali pada tingkat akar rumput. Beberapa bangsa telah berhasil melakukan transformasi sosial dan bangkit dari keterpurukan.  Ketika bangsa Indonesia bersiap untuk (kembali) menjadi bangsa besar, karakter bangsa menjadi modal etis dan intelektual.  Pendidikan merupakan ranah yang diperhatikan karena ada anak-anak muda dengan potensi karakter yang menentukan keberhasilan atau kegagalan Indonesia jadi bangsa besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar