Tiga
Lagu
Bandung
Mawardi ; Saudagar Buku
|
TEMPO.CO,
03 Juni 2014
Di
Komisi Pemilihan Umum, 1 Juni 2014, orang-orang berdiri dan melantunkan
lagu-lagu legendaris: Indonesia Raya, Padamu Negeri, dan Garuda Pancasila.
Dua pasangan calon presiden-wakil presiden berdiri, tampak bersemangat
melantunkan lagu: menguak imajinasi kebangsaan dan puja Indonesia. Lagu
mempertalikan mereka untuk bersetia dengan Indonesia, membuktikan janji-janji
memuliakan Indonesia. Persaingan merebut kekuasaan berlangsung bersama
lantunan tiga lagu, yang berisi sejarah dan doa.
Penonton
televisi bisa melihat adegan melantunkan lagu ibarat "ibadah
politik". Kita mengenang bahwa Indonesia Raya berlatar pergerakan
politik kebangsaan, sejak 1928. Indonesia Raya adalah puncak ekspresi
nasionalisme (B. Soelarto, 1993). Sejak mula, Sukarno berkepentingan dengan
lagu gubahan W.R. Soepratman, yang dimaksudkan untuk menjadi referensi bagi
identitas kebangsaan dan suluh membentuk Indonesia. Lagu pun berkumandang
dalam pelbagai rapat politik, memberi gairah melawan kolonialisme. Lagu
adalah alunan optimisme mewujudkan Indonesia!
Pihak
kolonial cemas! Lagu Indonesia Raya dianggap memicu gerakan-gerakan
perlawanan dari bumiputra. Di pihak kaum pergerakan, lagu Indonesia Raya
semakin bermakna dengan pengakuan "politis" dalam pelaksanaan
Kongres Rakjat Indonesia, 1 Oktober 1939. Peran lagu mendapat pengukuhan
prestisius pada masa pendudukan Jepang melalui pembentukan Panitia Lagu
Kebangsaan (1944), beranggotakan Sukarno, Ki Hadjar Dewantara, Muhamad Yamin,
Sanoesi Pane, dan Kusbini. Pengesahan politik tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Lagu
berjudul Padamu Negeri membuka
ingatan tentang Kusbini. Dulu, orang-orang mengenal Kusbini sebagai "buaja kerontjong".
Kegandrungan dalam bermusik mempertemukan Kusbini dengan Ibu Sud, penggubah
lagu anak-anak. Pertemuan pun berlanjut dengan kalangan sastrawan: Sanoesi
Pane, Achdiat K. Mihardja, dan Kirdjomuljo. Pada masa pendudukan Jepang,
Kusbini berhasil menggubah lagu Bagimu Negeri (1942), ikhtiar melantunkan
nasionalisme (Kamadjaja, 1979).
Lagu ini lembut dan elok, yang merangsang kita untuk selalu
"mengabdi" dan "berbakti" demi Indonesia.
Pada
ujung acara penetapan nomor urut pasangan capres-cawapres di KPU, orang-orang
tetap berdiri melantunkan lagu Garuda Pancasila (1956) gubahan Sudharnoto.
Lagu bernada patriotik. Kita mendapati pemaknaan penuh, bertepatan dengan selebrasi
Hari Pancasila, 1 Juni 1945. Ingat, lirik mengandung pesan besar: "Pancasila dasar negara, rakyat adil
makmur sentosa…" Lihatlah, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa melantunkan dengan semangat. Mereka mesti bisa
mewujudkan pesan dalam lagu Garuda
Pancasila.
Pemilihan presiden 2014 tak cuma pameran foto, slogan, baju, simbol,
angka, dan peci. Persaingan meraih jabatan presiden tak bisa ingkar lagu.
Kita sejenak mengartikan agenda demokrasi menggunakan referensi lagu. Kemauan
untuk melantunkan lagu-lagu nasional dan kebangsaan dalam pelbagai acara
tentu membuktikan ingatan atas sejarah pergerakan bangsa dan penghormatan
bagi para komponis. Politik memerlukan lagu. Hasrat berkuasa mesti bernada.
Lantunan lagu pun mengartikan kehendak memuliakan Indonesia, dari masa ke
masa. Ingat, lagu tak melulu bagian dari upacara! Lagu adalah ekspresi
berbangsa dan bernegara secara beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar