Jumat, 06 Juni 2014

Lawanlah Permulaannya!

Lawanlah Permulaannya!

Seno Gumira Ajidarma  ;   Wartawan
TEMPO.CO,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Mengapa militerisme yang diterapkan ke dalam dunia politik perlu mendapat pengawasan? Bagaimanakah faktor kekerasan, sebagai unikum dalam militerisme, akan (dapat) dihilangkan? Jawabannya terdapat dalam perbincangan totaliterisme.

Seperti diketahui, totaliterisme merupakan monster, yang dalam sejarah telah dipraktekkan oleh Nasional-sosialisme Jerman, Komunisme Uni Soviet, ataupun Khmer Merah di Kamboja. Apakah bedanya pemerintahan totaliterisme dengan despotisme, tirani, kediktatoran, dan otokrasi?

Suatu usaha teoretisasi atas totaliterisme berikut memang nyaris seperti menyamakannya: (1) ideologi totalistik; (2) partai diperkuat polisi rahasia dalam fungsi teror; (3) kontrol monopoli atas: (a) komunikasi massa; (b) persenjataan operasional; (c) organisasi rencana ekonomi terpusat (Friedrich dalam Barber, 1969: 126).

Meskipun perumusan itu tampak sudah seperti totaliterisme, tetap saja mendapat kritik seperti ini: (1) hanya merupakan konsep relatif, yakni bisa sama saja dengan kediktatoran totaliter, yang seperti gejala politik lain, tidak merupakan istilah absolut; (2) masih mirip dengan konsep para tetangganya: otokrasi, kediktatoran, dan tirani, ketika seharusnya berbeda; (3) meskipun obyek teoretisasinya adalah pemerintahan dan rezim, perumusannya terlalu umum, sehingga bisa diterapkan bagi khalayak luas dan pemerintah aktual mana pun; (4) terbangun dalam formulasi sentimen moral, karena istilah “teror” dan “negara polisi” jelas mengimbaskan ketidaksetujuan (Orr dalam DeCrespigny & Cronin, 1975: 138-9).

Jadi, apa yang luput dari teoretisasi itu, setelah polemik seru antara Hayes, Brzezinski, Friedrich, dan Schapiro, dalam diskusi khusus tentang totaliterisme, yang dianggap begitu perlu setelah melahirkan makhluk-makhluk mengerikan seperti Hitler, Stalin, dan Pol Pot?

Hannah Arendt (1906-1975) memang telah mengusut asal-usul totaliterisme sebagai ideologi dalam sejarah, dimulai dari kasus antisemitisme, yang sangat menarik sebagai esai, tapi belum juga menjadi jawab atas pertanyaan: mengapa suatu rezim bisa menjadi totaliter?

Penyelidikan dari sudut bahasa ternyata menemukan asal-usul yang relevan: istilah totalitar digunakan pertama kali di Jerman pada 1930, oleh Ernst Juenger, bagi pengertian mobilisasi militer! (Schapiro, 1972: 13). Dengan referensi ini, terbangun suatu “dalil”: totaliter = mobilisasi militer.

Apabila dalil ini dipertimbangkan bagi gagasan khalayak termobilisasi (mobilized society), ternyata hasil perumusannya mampu memisahkan pemerintahan totaliter dari sindroma sentralisasi rezim, seperti despotisme, tirani, kediktatoran, dan otokrasi. Dengan kata lain, sumber empirik totaliterisme adalah pengalaman perang modern.

Dalam teoretisasi berikut, terlacak bagaimana militerisme telah menjadi sumbernya: (1) partai monopolistik, tempat para perwira memiliki komando eksklusif; (2) khalayak massa sebagai bawahannya; (3) keterpisahan partai dan massa dikurangi sampai menjadi hubungan setara berdasarkan tujuan-dan penolakan atas “sesuatu”-bersama; (4) tujuan dan penolakan bersama, menghadirkan “musuh”, baik eksternal maupun internal, kepada siapa “perang” dilancarkan, dimulai dari negara lain, revisionis, sampai kemiskinan; (5) suatu ideologi diperlukan untuk melakukan identifikasi kawan dan lawan, untuk memuji maupun mengutuknya; (6) arah ekonomi terpusat, sesuai dengan standar perang modern.

Nah, ke manakah terserapnya kekerasan dalam militerisme?

Disebutkan bahwa khalayak totaliter bukanlah tentara, tapi dipahami sebagai seperti tentara yang siaga. Tentu lantas menjadi rancu, mana tentara termobilisasi, mana khalayak sipil (Orr, ibid.:142).

Itu teorinya, adapun prakteknya, sejarah mencatat bahwa totaliterisme akan selalu berkecenderungan: (1) berusaha menaklukkan dunia; (2) tidak peduli hukum dan tanpa merasa bersalah melanggar hak asasi manusia; (3) mendirikan kamp tahanan kolosal; (4) tidak menghitung jumlah korban demi ideologinya; (5) melaksanakan kejahatan nyata yang lebih kreatif dari imajinasi awam; (6) atas nama utopia, hak-hak sipil-bahkan hak-hak manusia-secara sistematik dilecehkan [Ballestrem/Magnis-Suseno dalam Arendt, 1995 (1979): xiii].

Harap diperhatikan, rezim totaliter tumbuh dari situasi non-totaliter. Memang terdapat kondisi sosial ekonomi yang mendukungnya. Situasi mematangkan itu ada, bahkan dibuat seperti tampak matang melalui agitasi, propaganda, dan kampanye hitam!

Akan halnya tendensi-tendensi totaliter, orang Romawi kuno memberi jalan untuk mencegahnya: principiis obsta!-lawanlah permulaannya! (Magnis-Suseno, ibid.: viii-xxii). Jangan sampai ada rezim totaliter (lagi!) di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar