Senin, 02 Juni 2014

Pancasila dan Etika Politik

Pancasila dan Etika Politik

Haryatmoko  ;   Pengajar di Universitas Sanata Dharma
dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
KOMPAS,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DARI segi konseptual, baik pendekatan sejarah, filosofi, maupun ketatanegaraan, Pancasila sudah banyak dibahas. Soekarno, Muhammad Yamin, dan tak terhitung intelektual lain dengan kesungguhan mencoba mengembangkan Pancasila.
Aspek yang kurang mendapat perhatian ialah Pancasila sebagai etika politik. Etika adalah ilmu praktis yang harus berperan dalam mengarahkan tindakan bersama. Maka, dari perspektif etika politik, Pancasila harus bisa dijabarkan menjadi norma-norma bertindak yang jelas.

Suatu gagasan bisa mendorong tindakan kolektif jika mampu membentuk opini. Untuk bisa menjadi opini, rigoritas gagasan harus melemah menjadi lebih sederhana dan mudah ditangkap. Jadi, agar mempunyai efektivitas sosial, sistem pemikiran harus berubah menjadi sistem keyakinan. Apabila sudah menjadi keyakinan, untuk berubah menjadi tindakan kolektif tinggal satu langkah lagi. Dalam mekanisme ideologi, proses penyederhanaan ini disebut skematisasi (Ricoeur, 1986).

Aspek bahasa dan teladan

Setiap pernyataan mengandung tiga aspek bahasa (Austin, 1975): pertama, setiap wacana mempunyai maksud dan makna (locutionary), artinya setiap wacana mau menyampaikan suatu pesan; kedua, wacana mempunyai implikasi terhadap pewicara, seperti memerintah, meminta, membujuk, menuduh, bertanggung jawab, dan tepat janji (illocutionary). Dengan demikian, pesan memiliki kekuatan persuasi; dan ketiga, setiap wacana memberikan pengaruh/dampak terhadap lawan bicara, pendengar, pembaca, atau pemirsa (terharu, semangat) dan kemampuan wacana mencipta realita (perlocutionary).

Kekuatan aspek perlocutionary membuat yakin lawan bicara, lalu mendorong agar melakukan sesuatu. Teks mempunyai dampak atau konsekuensi sosial, politik, kognitif, atau moral. Jadi, dalam merumuskan nilai-nilai Pancasila, perlu memperhitungkan aspek perlocutionary sehingga pilihan kata atau pembentukan kalimat mudah mendorong ke tindakan. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila yang masih abstrak bisa mudah dipahami dan diterapkan ke kehidupan sosial-politik.

Aspek illocutionary menyingkap implikasi tindakan: mengarah/tidak  ke tanggung jawab, kejujuran, atau satunya kata dan perbuatan. Tindakan seorang Pancasialis diharapkan memberikan teladan bagi masyarakat dengan menawarkan model nyata kehidupan, teladan sifatnya, tidak menggurui sehingga mudah menumbuhkan motivasi diri.

Pancasila jadi etos bangsa

Perumusan nilai-nilai Pancasila pada dasarnya masih abstrak. Sebagai konsep, kelima sila Pancasila itu masih lemah dalam hal representasi dan identifikasi. Ada tiga fungsi konsep, yaitu untuk identifikasi, pengakuan, dan representasi. Identifikasi berperan untuk mengidentifikasi obyek yang ada dalam pengalaman/ realitas; pengakuan berarti persepsi bisa datang dan pergi, tapi kita tetap percaya bahwa obyek itu ada dan bisa mengenali kembali; representasi artinya sesuatu bisa dipersepsi dengan menggunakan gambar, deskripsi, atau tanda.

Dari kelima sila itu, orang tidak bisa langsung menangkap realitas apa yang mau direpresentasikan sehingga sulit diidentifikasi. Masih diperlukan perantara untuk mengidentifikasi nilai-nilai Pancasila supaya merepresentasikan sesuatu dalam hidup nyata bermasyarakat. Kemudahan dalam identifikasi akan membantu mengubah gagasan menjadi keyakinan. Maka, perlu penyederhanaan: dari konsep diurai ke dimensi-dimensinya, dari dimensi-dimensi tersebut bisa diturunkan menjadi indikator-indikator sehingga nilai-nilai Pancasila lebih ortopraksis.

Pancasila sebagai nilai masih abstrak. Nilai dipahami sebagai sesuatu yang berharga  secara pribadi/sosial sebab meningkatkan kualitas hidup. Jadi, Pancasila sebagai nilai bermakna karena memberikan bobot dalam menentukan pilihan dan berperan sebagai pengarah perilaku kolektif.

Pancasila memberikan motivasi tindakan kolektif jika bisa menjadi habitus, lebih tepatnya etos bangsa Indonesia. Ukuran keberhasilan tampak jika sudah menjadi prinsip-prinsip, nilai-nilai bersama yang dipraktikkan atau bentuk moral yang dibatinkan meski tidak harus selalu mengemuka dalam kesadaran, tetapi efektif mengatur perilaku sehari-hari. Nilai-nilai hidup bernegara bisa berupa hormat pada martabat manusia, solidaritas, ekonomi yang adil, toleransi, kejujuran, kesetaraan, belarasa, kebebasan, tanggung jawab, dan menerima pluralitas.

Model penjabaran Pancasila

Untuk menentukan dimensi harus jelas statusnya, sila Pancasila mau digunakan untuk memecahkan masalah apa. Sebagai contoh, sila ketiga Pancasila (Persatuan Indonesia) sangat relevan untuk menghadapi masalah diskriminasi dan konflik antaragama/suku. Rumusan masalah ini menentukan dimensi-dimensi ”Persatuan Indonesia” mana yang relevan, yaitu pertama, budaya inklusif; kedua, bangsa sebagai bangunan keyakinan, loyalitas, dan solidaritas; ketiga, status semua warga negara sama di depan hukum, artinya hak dan kewajiban yang sama diakui.

Dari dimensi-dimensi di atas, ditentukan indikator pengukurnya. Misalnya, ada jaminan bahwa tidak ada diskriminasi agama, etnis, dan jender untuk akses ke  pekerjaan dan jabatan publik. Adanya hak serta kesempatan sama dalam pendidikan dan pekerjaan. Selain itu, semua bentuk diskriminasi terselubung mendapat sanksi hukum dan tidak ada pembatasan akses ke sumber daya budaya, ekonomi, dan politik. Tampak upaya pencegahan segregasi sosial atas nama agama/etnis.

 Dari dimensi budaya inklusif, ada toleransi terhadap yang beragama/suku berbeda dengan jaminan hukum, perbaikan sikap/perlakuan terhadap kelompok minoritas, menjamin representasi,  partisipasi, dan orientasi politik kewarganegaraan. Selain itu, ruang publik juga harus terbuka untuk semua, ada akses setara ke media, dan menjamin penerapan kebijakan multikultural serta pengakuan/hormat terhadap identitas setiap komunitas.

Dari dimensi bangsa, ada bangunan keyakinan, solidaritas, kepedulian terhadap yang miskin, terpinggirkan, dan korban bencana atau musibah. Ada distribusi kekayaan terhadap saudara sebangsa yang berpendapatan lebih rendah, menepati perjanjian, dan menjamin kohesi sosial untuk solidaritas dan bela rasa. Indikator lain adalah komitmen untuk mencegah, tidak melupakan/mengulangi ketidakadilan/kekerasan, serta sanggup minta maaf dan mengampuni.

Cara penjabaran di atas menerapkan R Quivy et L Van Campenhoudt, Methodes en sciences sociales, 1995: 111.

 Melalui indikator-indikator itu, bisa diukur apakah Pancasila memang berperan dalam kehidupan bersama. Sila-sila lain juga perlu dijabarkan dengan metode yang sama agar Pancasila mudah dipahami untuk menjadi dasar/acuan bertindak dalam kehidupan berbangsa, karena:

Pertama, model penjabaran Pancasila itu menghindari penafsiran sewenang-wenang oleh kelompok dominan. Maka, kriteria penafsiran tidak boleh menjauh dari lintasan makna Pancasila sebagai etika politik, yaitu upaya hidup baik ”bersama dan untuk orang lain” dalam memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Ricoeur, 1990).

Kedua, ketiga langkah proses penjabaran Pancasila di atas memungkinkan pemahaman bersama berkat pendasaran pada argumentasi untuk menyetujui isi proposisi. Persetujuan ini mengantar ke pelaksanaan norma-norma hidup bersama karena tahu apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, warga negara bisa menuntut akuntabilitas pejabat publik karena jelas apa yang harus dipertanggungjawabkan, dikontrol, dan dikoreksi.

Ketiga, indikator-indikator itu membuat isi sila Pancasila mudah dipahami sehingga membantu memberikan persetujuan yang rasional tentang prinsip-prinsip keadilan dan persatuan yang mengendalikan kehidupan bersama (platform politik). Hasrat untuk persetujuan merupakan dasar moralitas politik (Weale, 2013:10).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar