Rabu, 04 Juni 2014

“Legitimasi” Kudeta

“Legitimasi” Kudeta

Anna Yulia Hartati  ;   Peneliti pada lab diplomasi, Dosen Hubungan Interna­sional FISIP Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
’’DEMOKRASI dari atas tank’’ (Trias Kuncahyono, 2006), kira-kira itulah komentar yang tepat  untuk menggambarkan situasi politik dan pemerintahan Thailand saat ini. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Prayuth Chan-ocha melakukan kudeta pada Kamis 22 Mei 2014. Ia kemudian menunjuk dirinya sebagai perdana menteri (PM) sementara.

Kudeta seperti menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah politik di Negeri Gajah Putih. Sejak Revolusi Siam 1932, negeri itu dilanda berbagai kudeta, baik kudeta berdarah maupun tidak berdarah. Sejak 1932 sampai 2014 tercatat 12 kali kudeta secara berturut-turut, yaitu tahun 1932, 1933, 1947, 1957, 1957, 1958, 1971, 1976, 1977, 1991, 2006, dan 2014.

Kudeta militer Thailand merupakan tamparan keras bagi ASEAN. Selama ini ia menjadi salah satu model negara ASEAN dengan sistem demokrasi yang menjamin partisipasi rakyat secara luas, dan sudah berlangsung 14 tahun. Sistem demokrasi di negeri itu dimulai tahun 1992 setelah setahun sebelumnya rakyat menumbangkan kekuasaan militer hasil kudeta.

Dengan demikian, sebenarnya sistem demokrasi di Thailand mendahului Indonesia, yang dimulai dengan tumbangnya Presiden Soeharto tahun 1998. Sejak itu banyak warga ASEAN sadar demokrasi menjadi satu-satunya jalan untuk berpolitik. Namun sekarang banyak kalangan khawatir gaung kudeta Thailand menginspirasi sejumlah elite di negara-negara ASEAN untuk kembali mempertanyakan demokrasi yang ternyata tak bisa mengatasi semua persoalan.

Mengapa kudeta di Thailand menjadi legitimate dengan dukungan rakyat, bahkan kelas menengah yang notabene ìmusuhî militer? Tidakkah juga ironis melihat rakyat yang telah bersusah payah menjauhkan militer dari politik kini kembali “merestui” campur tangan mereka?

Krisis dalam suatu negaara akan menyebabkan hilangnya legitimasi lembaga pemerintahan (Habermas, 2004). Akhirnya kita sampai pada preposisi bahwa demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak rakyat dan bertujuan mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama. Karena itu, demokrasi mesti berkaitan dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat.

Jika kehendak perwakilan itu gagal menjalankan tugas mewakili rakyat maka rakyat juga yang akan menuntaskannya. Pemerintahan selegal apa pun akhirnya digulung oleh masyarakat, walaupun meminjam tangan militer. Apa pun hasilnya, rakyat Thailand merasa puas dengan kerja militer. Orang di luar mungkin sulit memahami.
Tahun 1950 John F Embree menulis artikel berjudul ’’Thailand: Aloosely Structured Social System’’ dalam American Anthropologist nomor 54. Sebagaimana layaknya antropolog Embree berusaha mengamati tingkah laku sekelompok masyarakat Thailand dan kemudian mengambil kesimpulan karakter mereka.

Menurut Embree, masyarakat Thailand punya karakter yang disebutnya lossely structured yang kurang lebih bisa diartikan masyarakat yang punya nilai-nilai yang longgar.  Secara singkat juga bisa diartikan masyarakat yang bertingkah laku individualistik, tidak disiplin, kurang menghormati peraturan, kurang menghormati aturan main yang disepakati,  dan kurang menekankan akan pentingnya kewajiban dalam keluarga.

Mengubah Sikap

Karakter itu terbawa pula dalam berpolitik dan dalam pemerintahan. Karena terlalu individualistik maka orang Thailand kurang bisa berorganisasi dengan baik dan bekerja dalam kerangka sebuah tim. Dalam berpolitik pun mereka begitu mudah mengubah sikap dan teman aliansinya. Orang yang sekarang jadi kawan, boleh jadi lusa menjadi lawan politiknya.

Maka jika rakyat Thailand mendukung kudeta oleh militer, yang semula menjadi lawan, juga bukan hal aneh karena memang karakter masyarakat seperti itu, dan akhirnya terbawa dalam konteks politik. Untuk memahami kelas menengah yang juga mendukung kudeta militer bisa menggunakan karakteristik masyarakat Thailand.

Masyarakat negara itu juga bersifat permisif, mudah memaafkan kesalahan orang lain. Seperti yang kita lihat, pelaku kudeta yang gagal di Thailand jarang yang dijatuhi hukuman berat. Perilaku itu mungkin bisa berdampak positif bagi perkembangan demokrasi mengingat demokrasi hanya dapat tumbuh dalam budaya yang menolerasi ketidakseragaman.

Seperti dikatakan Samuel Huntington bahwa pencapaian demokrasi memerlukan beberapa tahap. Pertama; faksionalisasi, kedua; polarisasi, ketiga; ekspansi, dan keempat;  institusionalisasi. Seperti juga dikatakan William Liddle bahwa demokrasi hanya akan berjalan bila ada security relationship yaitu adanya jaminan keamanan (nyawa, harta benda, dan karier politik selanjutnya) bagi orang-orang yang akan turun dari kekuasaannya.

Masyarakat Thailand mempunyai sebagian dari syarat-syarat itu. Orang yang pernah jatuh dari kekuasaannya, bisa kembali diterima oleh rakyatnya bahkan untuk kembali memerintah. Bahkan mereka bisa memaafkan orang-orang yang pernah terlibat kudeta, dan memulihkan  kedudukannya dalam jajaran militer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar