Minggu, 22 Juni 2014

Inang Baru Perguruan Tinggi Bukan Solusi

Inang Baru Perguruan Tinggi Bukan Solusi

Budi Widianarko  ;   Rektor Unika Soegijapranata
KOMPAS, 20 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Di tengah kerinduan sebagian kalangan perguruan tinggi untuk memiliki inang baru pengganti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saya sepakat dengan rumusan hasil diskusi Forum Rektor Indonesia bekerja sama dengan Kompas. ”...persoalannya bukan lagi sebatas perguruan tinggi di bawah kementerian yang mana. Namun, lebih soal perumusan tata kelola yang memampukan perguruan tinggi untuk lebih lentur dan lincah menjalankan perannya dan menghadapi ragam tantangan tersebut. Tanpa kelincahan dan fleksibilitas, perguruan tinggi akan terus menghadapi masalah serupa apa pun kementeriannya”, (Kompas, 9/6/14).

Tuntutan inang baru hanya karena perguruan tinggi (PT) menjalankan fungsi riset adalah argumen yang tidak kokoh. Apalagi ketika dibandingkan dengan negara-negara lain. ”Sebagai perbandingan, negara-negara yang maju industrinya memasangkan pendidikan tinggi dengan riset teknologi dan inovasi dalam satu kementerian. Sebut saja, Perancis dengan Ministry of Higher Education and Science, Jerman dengan Federal Ministry of Education and Research, serta Jepang dengan Ministry of Education, Culture, Sport, Science, and Technology”, (Kompas, 9/6/2014).

Dari contoh yang ditampilkan, hanya Perancis yang memiliki kementerian yang secara eksplisit menggunakan frasa ”pendidikan tinggi”. Sisanya tetap menggunakan kata ”pendidikan” yang dilengkapi dengan unsur-unsur lain sesuai konteks masing-masing.

Dari penelusuran cepat di situs web, penulis menemukan beberapa negara yang menggunakan frasa ”pendidikan tinggi” untuk nama kementerian yang jadi inang PT, yaitu Malaysia, Sri Lanka, Afganistan, Uni Emirat Arab, Mesir, Arab Saudi, Kenya—selain Perancis. Adapun sejumlah negara yang maju dalam penelitian justru nama kementeriannya diawali dengan kata ”pendidikan”, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Italia, Belanda, Swedia, Denmark, Jepang, dan Korea Selatan. Bahkan Finlandia, salah satu ”raksasa” riset dan inovasi, menggunakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ministry of Education and Culture) seperti Indonesia. Jadi jelaslah bahwa nama kementerian bukanlah isu utama.

Masalah utama PT kita adalah pengaturan berlebihan yang mengunci kelincahan dan kelenturan. PT kita disibukkan oleh perkara prosedural yang menyita energi, seperti pengisian Pangkalan Data Perguruan Tinggi sebagai laporan semesteran, laporan kinerja dosen, pengurusan jabatan akademik dosen, dan terakhir Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD). Sungguh ironis, Indonesia sebagai negara demokrasi, rezim pendidikan tingginya dilanda ”jawatanisasi” menjadi sentralistik dan otoriter.

Kisah PTS

”Jawatanisasi” (Satryo Soemantri Brodjonegoro, Kompas, 8/3/2013) bukan hanya melanda PT negeri (PTN). Meski bertolak belakang dengan watak keswastaannya, PT swasta (PTS) juga larut dalam arus besar ”jawatanisasi”. Bagi PTN, otonomi adalah harapan PTN, sedangkan bagi PTS itu hanya ilusi. Jangankan guru besar, ”sekadar” mengangkat asisten ahli—jabatan fungsional akademik terendah—sekalipun, PTS tidak berwenang.

Dari perdebatan otonomi PT, PTS memang cenderung terpinggirkan. Padahal, Elfindri (Kompas, 21/3/2013) menunjukkan 70 persen mahasiswa menuntut ilmu di PTS. Ada kesan dengan kekuatan anggaran yang meraksasa, pemerintah mengabaikan PTS. Padahal, PTS telah hadir sebagai penyedia akses pendidikan tinggi ketika anggaran pendidikan masih sangat terbatas. Bahkan tidak sedikit PTS yang lahir lebih dahulu ketimbang PTN dan menjadi lahan persemaian ilmu pengetahuan hingga kini.

Menurut Elfindri, meningkatkan akses dengan cara memperbesar daya tampung PTN (bukan menguatkan PTS) adalah langkah yang sangat keliru. Pemerintah hanya mengandalkan asumsi bahwa PTS yang lebih dari 3.000 itu biar beroperasi melalui mekanisme pasar. Pemerintah menjalankan peran bak ”satpam” yang aktif dalam ”operasi” penertiban belaka.

Pengelompokan

Meskipun Satryo Soemantri Brodjonegoro (Kompas, 8/3/1013) yakin bahwa otonomi lembaga pendidikan tinggi dan otonomi profesi insan kependidikan akan menghapus dikotomi lembaga pendidikan negeri dengan swasta, terlalu naif jika otonomi sepenuh-penuhnya diberikan kepada semua PTS (lebih dari 3.500) tanpa terkecuali.

Adalah terlalu naif pula jika otonomi penuh diberikan kepada semua PTN tanpa memperhitungkan status perkembangannya. Pemberian otonomi semestinya dilakukan berjenjang, sesuai kondisi obyektif kinerja dan mutu PT. Ini memang tantangan berat, terutama ketika faktor politis masih sering menjadi faktor pertimbangan pengambilan keputusan.

Keragaman ukuran, kinerja, dan mutu dari ribuan PTS dan hampir 100 PTN tentu saja harus disikapi oleh pemerintah dengan strategi pengembangan yang jelas dan konsisten. Demi daya saing PT Indonesia, terutama riset, pemerintah seharusnya berani mengelompokkan PT berdasarkan kinerja dan mutu.
Tahun 2007, pemerintah berani menetapkan ”50 promising Indonesian Universities”. Tiga tahun sebelumnya Jerman menetapkan sembilan PT elite untuk menjadi ”pemain utama” pendidikan tinggi global, tentu saja melalui proses seleksi yang rumit dan panjang (baca Barbara M Kehm, IHE-fall 2009). Yang berbeda adalah, kesembilan PT lantas mendapat suntikan dana besar selama lima tahun dari Federal Ministry of Education (bukan Higher Education) and Research.

Di Indonesia, pengelompokan 50 PT tidak ditindaklanjuti dengan dukungan habis-habisan dari pemerintah berupa sumber daya dan otonomi akademik. Padahal, hanya dengan pengelompokan kinerja riset PT bisa dipacu, karena sungguh mustahil memacu ribuan PT sekaligus. Tanpa keberanian meneruskan prakarsa pengelompokan lengkap dengan peta-jalannya, daya saing PT kita tidak akan beranjak dari sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar