Haruskah
Tarif Listrik Naik?
Maxensius
Tri Sambodo ; Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI;
Research Fellow di Institute of Southeast Asian Studies/ISEAS,
Singapura
|
KOMPAS,
19 Juni 2014
Tanggal 1 Mei 2014 pemerintah
telah menyetujui kenaikan tarif tenaga listrik. Penyesuaian ini terbagi dalam
dua tipologi, yaitu penyesuaian tarif bulanan dan kenaikan secara bertahap
tiap dua bulan. Penyesuaian tarif bulanan akan diumumkan oleh PT PLN
(Persero) setiap bulan dengan memperhatikan tiga indikator, yaitu kurs rupiah
terhadap dollar AS, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan inflasi.
Dengan formulasi di atas, maka
bagi pelanggan yang terkena dampak penyesuaian tarif bulanan akan mengalami
kondisi ketidakpastian karena besar penyesuaian tarif tidak diketahui. Di
samping itu bagaimana formulasi tiga indikator penentu tersebut terhadap
besaran tarif juga tidak dijelaskan.
Pada sisi lain untuk kenaikan
tarif setiap dua bulan, PLN telah menetapkan besar kenaikan. Misalkan antara
April dan November, golongan tarif I-3 yaitu industri skala menengah dengan
daya di atas 200 kilovolt ampere (kVA) dan dalam kategori perusahaan terbuka,
maka akan mengalami kenaikan 38,9 persen dan untuk perusahaan golongan I-4
yaitu industri skala besar dengan daya di atas 30 megavolt ampere (MVA) ke
atas, kenaikan tarif 64,7 persen.
Pengalaman negeri Singapura
menunjukkan bahwa pada 1 April 2014 hingga 30 Juni 2014 Otoritas Pengatur
Pasar Energi (Energy Market Authority/EMA) mengumumkan kenaikan tarif sebesar
0,3 persen. Misalnya, saat ini telah terjadi penyesuaian tarif listrik untuk
kelompok di atas 6,6 kV yang berada dalam kisaran Rp 1.411-Rp 2.316 per
kilowatt jam (kWh), sementara PLN mematok pada harga Rp 1.352 per kWh.
Jika diperhatikan batas minimum
tarif di Singapura yang berlaku pada saat di luar beban puncak (23.00-07.00),
tidak terpaut jauh dengan tarif di Indonesia. Sementara itu, pendapatan per
kapita Singapura sekitar 12,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
Indonesia.
Becermin pada kondisi tersebut,
pelanggan tentu mempertanyakan dasar kenaikan tarif tersebut. Perlu adanya
transparansi informasi mengapa tarif harus naik dan mengapa keputusan
tersebut harus diambil segera.
Melihat langkah kebijakan yang
dilakukan oleh SP Service Singapura (penyedia jasa publik listrik, gas, dan
air di Singapura) dan PLN dalam menetapkan kenaikan tarif jelas sangat
berbeda. SP Service mengomunikasikan kenaikan tarif secara terbuka dan
terukur, dan pihak rumah tangga dapat memperkirakan anggaran yang perlu
disiapkan karena kenaikan tarif.
Informasi tersebut diberikan
secara lengkap dan transparan melalui media cetak yang dapat diakses secara
mudah oleh masyarakat, seperti MediaCorp.
Belajar dari Singapura
Kembali belajar dari pengalaman
Singapura, dasar kenaikan tarif dikomunikasikan kepada masyarakat karena
naiknya harga gas alam dalam tiga bulan terakhir ini.
Lebih jauh pemerintah juga
menyampaikan bahwa kenaikan tarif hanya diberikan kepada pemilik pembangkit
sebesar 0,08 dollar Singapura per kWh, sementara untuk biaya jaringan, biaya
jasa penunjang pasar, dan biaya administrasi pasar, serta biaya operasi
sistem tidak mengalami kenaikan.
Hal ini mengindikasikan adanya
upaya dari pemerintah untuk berbagi beban kenaikan dengan meningkatkan
efisiensi pada jasa penunjang sektor ketenagalistrikan.
Tidak hanya itu, Menteri
Keuangan juga memberikan voucer atau potongan harga kepada 800.000 rumah
tangga yang tinggal di perumahan publik (housing
and development board/HBD) dengan nilai total mencapai 45 juta dollar
Singapura (Rp 415 miliar) untuk bentuk penghematan (utility save) yang dilakukan oleh rumah tangga.
Hal ini mengindikasikan
kebijakan tarif tidak hanya menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral ataupun PLN, tetapi kementerian lainnya harus mencoba mengambil peran
untuk membantu dan mendidik rumah tangga dan industri agar berhemat dalam
penggunaan listrik.
Menimbang pada besaran kenaikan
tarif serta dampaknya pada usaha bisnis, maka kementerian terkait perlu
mengambil langkah-langkah yang baik untuk menyelamatkan usaha bisnis dan
industri dari dampak terburuk atas kenaikan tarif tersebut.
Komponen yang tampaknya kurang
mendapat perhatian baik dari pemerintah dan PLN yaitu pentingya upaya
pendidikan energi.
Kenaikan tarif listrik dipandang
secara absolut ”memang tarif harus naik”.
Sementara itu, upaya kolektif yang
dapat dilakukan untuk mengurangi beban kenaikan listrik kurang mendapat
perhatian. Termasuk mekanisme insentif dan disinsentif dari upaya penghematan
listrik terutama bagi para pelanggan berdaya menengah dan tinggi.
Posisi PLN yang masih monopoli
dalam bisnis ketenagalistrikan menyebabkan keputusan menaikkan tarif listrik
selalu menimbulkan kecurigaan dari para pelanggan. Pengalaman di Filipina
menunjukkan bahwa Departemen Energi membentuk komite bebas (independent oil price review committee/IOPRC)
untuk mengkaji kebijakan harga minyak tahun.
IOPRC beranggotakan para
akademisi, komunitas bisnis, konsumen, ekonom, akuntan, dan perwakilan dari
badan transportasi publik. IOPRC membuat penilaian apakah penentuan harga
pasaran minyak telah dilakukan secara adil (fair pricing policy). Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan
harga energi perlu dilakukan secara terbuka dan dipahami semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar