Rabu, 18 Juni 2014

Bergantung pada Cawapres

Bergantung pada Cawapres

Fachry Ali  ;   Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan
Pengembangan Etika Usaha (LSPEU)Indonesia
REPUBLIKA,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Jika syarat menjadi presiden adalah memahami ekonomi dengan komprehensif, maka kedua calon presiden (capres) Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) yang berdebat dua malam lalu sulit dinyatakan memenuhi syarat. Dengan caranya masing-masing, kedua tokoh ini melakukan simplifikasi masalah. Pertama, keduanya memulai dengan jargon "ekonomi kerakyatan" yang diajukan Prabowo di satu pihak, dan "kemandirian ekonomi" yang di ajukan Jokowi di pihak lain. Apa spesifikasi atau hal-hal spesifik yang memberi makna dan membedakan masing-masing jargon itu tidak dijelaskan. Sebagai akibatnya, bukan saja penjabaran jargon ke dalam program menjadi terkesan sebagai "daftar keinginan", melainkan juga terkesan exchangeable (bisa saling bertukar).

Contoh terang dalam hal changeable ini adalah program Prabowo tentang pengembangan koperasi dan usaha kecil yang tampaknya juga "cocok" ditempatkan sebagai program "kemandirian ekonomi" Jokowi. Sementara, program pembangunan pasar tradisional dan pedagang kaki lima Jokowi dengan mudah bisa dipindahkan ke dalam jargon "ekonomi kerakyatan" Prabowo.
Kedua, tampaknya, pangkal "kerancuan" ini adalah karena Prabowo dan Jokowi tidak bertolak dari sebuah paradigma pandangan ekonomi tertentu.

Electronic Oxford American Dictionary menyatakan bahwa paradigma adalah pandangan yang mendasari teori atau metodologi subjek ilmu pengetahuan tertentu. Dalam konteks ekonomi, asumsi yang harus diajukan adalah apakah masing-masing capres tersebut lebih melihat sistem atau mekanisme pasar sebagai sesuatu yang independen di dalam kinerja perekonomian nasional? Jika ya, apa konsekuensinya terhadap peran negara? Apakah negara dipandang sebagai bagian dari aktor ekonomi --jika ya, bagaimana keduanya harus mereduksi efek distorsi di dalam mekanisme pasar? Mengingat negara adalah juga non-market actor (aktor bukan pasar)-- Atau, keduanya menggunakan asumsi eklektik, atau menggunakan frasa Prof Didin Damanhuri, "heterodoks". Dalam arti bahwa keduanya berpandangan tidak terlalu penting menekankan mekanisme pasar atau perlunya intervensi negara ke dalam perekonomian. Keduanya bukan pilihan, melainkan akan dijalankan sepanjang mencapai tujuan.

Dengan pemaparan menggunakan asumsi-asumsi paradigmatik ini memungkinkan Prabowo dan Jokowi melihat persoalan secara lebih jernih. Yaitu, selain mampu melakukan evaluasi atas kecenderungan kebijakan ekonomi dan produk-produknya selama 10 tahun belakangan ini di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga melihat tempat Indonesia di tengah-tengah dinamika perekonomian global. Dan, berdasarkan penilaian ini, keduanya membuat kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi andai salah satu di antara mereka terpilih menjadi presiden mendatang.

Akan tetapi, seperti kita saksikan bersama, kerangka pandangan paradigmatik ini tidak terdengar dari Prabowo dan Jokowi. Sebagai akibatnya, dalam konteks program, kita tidak tahu apa arti paradigmatiknya pembangunan infrastruktur, pasar tradisional, penyediaan tempat pedagang kaki lima (program Jokowi) dan membentuk tabung haji, investasi anggaran kesehatan dan pendidikan, alokasi dana umum (DAU) dan dana khusus (DAK) dalam program ekonomi Prabowo bagi tahap-tahap pembangunan Indonesia ke depan. Maka, seperti telah disinggung di atas, sulit menghilangkan kesan bahwa program-program yang diajukan keduanya lebih terlihat sebagai "daftar keinginan" daripada susunan atau rancangan untuk mencapai suatu perkembangan ekonomi bersifat strategis bagi bangsa Indonesia ke masa depan.

Hal penting yang tak boleh luput untuk dicatat adalah jargon ideologis yang bersifat asal jadi: "nasionalisme ekonomi". Di sini, Prabowo berkali-kali menyatakan bahwa sebagian besar kekayaan Indonesia telah dibawa keluar oleh aktor-aktor asing. Anehnya, pernyataan ini dikaitkan dengan defisit perdagangan --yang secara teknikal sebenarnya berarti lebih sedikit ekspor Indonesia daripada impor.
Sementara, Jokowi bertekad menciptakan barriers (halangan-halangan) yang diperlukan melalui regulasi dan kebijakan Bank Indonesia (BI) terhadap aktor asing yang bermaksud menanamkan modal langsung (foreign direct investment) di sektor riil atau keuangan.

Pernyataan-pernyataan di atas menjadi contoh gamblang sifat "asal jadi" ideologi "nasionalisme ekonomi" di atas. Hal yang membuat dahi berkerenyit ini hanya mungkin terjadi karena secara konseptual mereka tidak membuat evaluasi paradigmatik tentang letak Indonesia di dalam perekonomian global. Bahwa, perkembangan (lepas dari maju atau stagnan) perekonomian Indonesia adalah akibat langsung dari pergeseran-pergeseran paradigma, kebijakan, perkembangan, dan krisis yang berlangsung pada tingkat global. Dalam arti kata lain, secara struktural Indonesia telah menjadi salah satu "pemain" di tingkat global.

Dan sebagai "pemain", bukan saja Indonesia terikat dengan aturan-aturan yang telah disepakati pada tingkat global, melainkan juga tidak terisolasi dari lainnya -kecuali bersedia mengambil risiko bersifat destruktif.

Secara "politik-praktis", pernyataan-pernyataan di atas hanya mungkin keluar untuk tujuan jangka pendek: sekadar mendulang simpati rakyat agar terpilih sebagai presiden. Kita ketahui semua, rakyat kebanyakan akan lebih mudah memahami jargon "gagah" dan "galak" daripada berusaha memahami realitas rumit perekonomian Indonesia.

Apa yang "menguntungkan"

Prabowo dan Jokowi adalah bahwa pengetahuan kompre- hensif tentang ekonomi tidak menjadi syarat bagi seseorang untuk menjadi capres. Karena itu, aktivitas kampanye keduanya bisa diteruskan secara absah dan tidak "melanggar" tata tertib pencapresan. Akan tetapi, jika pengetahuan ekonomi tak komprehensif mereka miliki, lalu bagaimana nasib Indonesia di masa depan --ketika salah satu di antara keduanya terpilih menjadi presiden. Di sinilah peran penting calon wakil presiden (cawapres).

Lepas dari apakah Jusuf Kalla dan Hatta Rajasa dipilih sebagai cawapres Jokowi dan Prabowo secara "kebetulan", keduanya telah mempunyai pengalaman mengurus ekonomi secara riil untuk sebuah bangsa sebesar Indonesia. Kalla, kita ketahui, bukan saja berlatar belakang pendidikan ekonomi, melainkan pengusaha sukses. Gabungan antara teori dan praktik telah membuat Kalla jauh lebih "matang" dibandingkan pejabat-pejabat negara yang mengurus ekonomi hanya dengan mengandalkan pengetahuan teoretis.

Apa yang membuat posisi Kalla tampak lebih istimewa adalah sepanjang pemerintah Yudhoyono pertama (2004-2009), Kalla, yang menjabat wakil presiden, bisa dinyatakan sebagai "arsitek utama" kebijakan ekonomi Indonesia. Keistimewaan Kalla kian dikukuhkan karena kinerjanya sebagai "arsitek utama" tersebut dilakukan ketika ia berada dalam posisi "puncak", yaitu wakil presiden. Karena Presiden Yudhoyono lebih berkonsentrasi di dalam bidang politik dan keamanan serta diplomasi internasional, maka secara praktis Kalla yang sepenuhnya bertanggung jawab di bidang kebijakan ekonomi. Karena itu, betapapun tak komprehensif pengetahuan Jokowi dalam bidang ini, jika keduanya terpilih, ia akan bisa mengandalkan Kalla dalam bidang yang pelik ini.

Hatta, di pihak lain, adalah ahli perminyakan dalam konteks latar belakang pendidikan. Pengetahuan ekonominya diperoleh melalui praktik langsung sebagai pengusaha skala menengah dalam bidang perminyakan. Karena partai politik, Hatta terintegrasi ke dalam elite negara dengan jabatan yang berpindah-pindah. Terakhir, sepanjang 2009-2014, Hatta menjadi arsitek kebijakan ekonomi sebagai Menteri Koordinator Ekonomi. Karena itu, Prabowo, andai terpilih, bisa mengandalkan pengetahuan Hatta tentang ekonomi yang diperoleh melalui praktik langsung.

Kendatipun demikian, semua ini bukan alasan bahwa kedua capres tersebut menghindar dari "pelajaran” ekonomi. Sebab, pada instansi terakhir, keduanya lah, andai terpilih, yang diminta pertangungjawabannya oleh rakyat. Wapres, secara konstitusional, hanya berfungsi sebagai pendamping.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar